Chereads / A Tired Love / Chapter 29 - 29. Beribu Alasan

Chapter 29 - 29. Beribu Alasan

Bel pulang berbunyi nyaring. Kelas Bahasa Inggris otomatis langsung berakhir, padahal sang guru masih hendak menjelaskan bab berikutnya. Guru Bahasa Inggris itu masih muda, baru berusia 24 tahun. Tinggi bersih dengan memakai kacamata model premium yang populer dikalangan muda. Anak sekolah bisa memanggilnya dengan sebutan Mr. Hans.

Mr. Hans orangnya bukan orang bule ataupun blasteran. Lelaki yang bekerja sebagai guru Bahasa Inggris dan mengajarkan TOEIC atau TOEFL itu asli orang jawa kelahiran kota Solo. Orangnya sopan dan ramah pada semua murid. Dan yang pasti, Mr. Hans masih jomlo alias single. Banyak murid kelas 12 yang ingin dekat dengan beliau, menempuh suatu cara dengan mengikuti bimbang belajar tambahan setelah pulang sekolah.

"Dy, gak ikut kelas TOEIC hari ini?" Tanya Steffani yang satu bangku dengan Audy.

Audy nyengir, gadis itu menggelengkan kepala dan sudah selesai membereskan segala buku dan peralatan tulisnya. "Gak deh, gue skip aja hari ini. Mau pulang."

"Dih, kegantengan Mr. Hans tuh gak boleh dilewatin." Ceramah Steffani.

"Lo aja Steff yang menikmati kegantengannya. Gue udah puas kok." Ujar Audy sambil memakai tas ranselnya di punggung.

"Lo emangnya mau ke mana? Ada yang jemput?" Tanya Vallen yang sedang memasukkan alat tulisnya. Sementara Valdi yang duduk sebangku dengan Vallen itu hanya bisa mendengarkan saja.

"Hehe.. i-iya.."

"Dijemput siapa? Bukannya tadi pagi lo cemberut kalau Kak Bita balik ke apartemennya yang deket kampus? Aahh, lo balik sama Alan yah?" Tebak Vallen.

Audy hanya meringis kecil. Tidak memberikan jawaban iya atau tidak pada Vallen. "Hehe ya udah gue cabut ya.. selamat menikmati kegantengan Mr. Hans hari ini." Ucapnya dan langsung meninggalkan kelas begitu saja.

"Gue juga cabut. Gue kan gak ikutan kelas tambahan." Sahut Valdi sambil membawa tas ranselnya dengan satu tangan.

"Iya kalau lo mah cabut ya cabut aja sono!" Ujar Vallen tidak peduli. Dan hanya dibalas dengusan sebal oleh Valdi.

***

Kedua langkah kaki Audy berjalan dengan santai hingga menuruni anak tangga ke lantai satu. Melewati lorong kelas 10 IPA yang sudah sepi, karena kelas 10 memang pulangnya lebih awal.

Audy sedikit celingukan karena takut kalau ada yang memergokinya lewat gerbang belakang. Namun tanpa sepengetahuannya, Valdi membuntutinya dari belakang dengan jarak 3 sampai 4 meter. Tentu saja Valdi berjalan dengan hati-hati.

Sedari tadi Valdi memang agak aneh dengan sikap Audy yang setiap kali menjawab pertanyaan Vallen atau Steffani terlihat berbohong. Valdi hafal betul bahasa tubuh Audy, karena ia bersahabat dengan Audy juga sudah cukup lama sejak mereka di bangku SMP.

Benar saja, Valdi melihat Audy belok ke kiri setelah melewati lorong kelas 10 IPA. Seharusnya kalau mau pulang, belok ke kanan dan melewati ruang guru sampai menuju ke satpam dan gerbang depan. Hendak saja Valdi ingin berlari kecil menyusul Audy yang hilang di belokan tembok, Alan tiba-tiba keluar dari pintu gerbang gedung basket indoor.

Otomatis kedua kaki Valdi berhenti melangkah. Pandangannya menatap lurus Alan yang mencekal pergelangan tangan Audy. Itu sudah cukup menjelaskan baginya. Di mata Valdi, Audy memang sedang bertemu diam-diam dengan Alan. Dan hal itu cukup jelas baginya untuk harus berbalik ke arah lain dan segera pergi.

*

"Lepasin." Pinta Audy ketika pergelangan tangannya dicekal kuat oleh Alan.

"Nggak akan. Sebelum lo jelasin ada apa sama lo?"

"Ada apa sama gue? Gue gak kenapa-napa kok Al. Emang kenapa?" Tanya Audy berpura-pura tidak ada apa-apa.

"Kenapa lo menghindari gue?" Tanya Alan.

"Gak tuh. Biasa aja gue."

"Bohong."

"Gak. Gue gak bohong." Sangkal Audy dengan berani menatap kedua mata Alan dengan terang-terangan. Agar Alan percaya bahwa jawabannya benar. Padahal, Audy rasanya sudah ingin memeluk Alan sekarang ini. Ingin bercanda lagi dengan Alan meskipun tidak ada respon dari Alan.

"Waktu itu lo ke mana?"

"Kapan?"

"Setelah lo nolak untuk pulang sama gue padahal gue udah tunggu lo di parkiran sebrang. Dan besoknya lo gak masuk sekolah."

Audy langsung teringat. Itu hari di mana ia diancam oleh Bianca di toilet. "Bukan urusan lo." Ucap Audy dengan menghentakkan tangannya dari cekalan Alan.

"Urusan gue juga!!" Bentak Alan.

Audy kaget bukan main. Baru kali ini ia melihat Alan emosi. "Ke-kenapa itu jadi urusan lo? G-gue bukan siapa-siapanya lo." Ujarnya dengan tergagap.

"Kalau gitu lo bisa jadi siapa-siapa buat gue."

Mendengar itu Audy terhenyak keheranan. Apa maksud perkataan itu? Apa Alan ingin dirinya menjadi pacarnya?

"G-gue gak bisa!!" Ucap Audy dengan cepat. Kedua tangannya sudah meremas pinggiran roknya dengan erat.

Alan terdiam. "Kenapa?"

"Karena untuk jadi siapa-siapa buat lo, itu buruk bagi gue."

"Maksudnya?"

"Alan, bisa gak lo gak usah cari gue lagi?" Tanya Audy yang lebih dominan sedang meminta persetujuan.

Alan mengernyit heran. "Kenapa? Bukannya lo suka gue cari-cari?"

Dengan sangat memberanikan diri, Audy meremas pinggir rok seragamnya semakin erat. Ingin sekali ia menangis sekarang juga.

"Udah nggak. Udah beda. Ada di dekat lo, nggak aman dan nggak nyaman buat gue. Lo dingin, cuek, kaku. Dan gue gak bisa lo gituin terus-terusan. Lo juga gak mudah bergaul. Dipegang aja lo gak suka. Jadi, gue udah gak mau lagi jadi siapa-siapa buat lo. Gue dan lo juga gak pernah sahabatan. Hanya deket aja dari kecil."

Mendengar itu Alan terdiam. Reaksi wajahnya tetap saja datar. Alan memang tidak bisa harus berekspresi lain-lain seperti orang kebanyakan.

"Oke. Alasan lo terlalu banyak. Sorry udah ganggu lo, Audy." Ucap Alan begitu dingin. Menusuk. Dan rasanya Audy seperti sedang berada di daerah kutub utara.

Alan membalikkan badannya dan berjalan menjauh dengan menenteng tas ransel hitamnya. Sedangkan Audy hanya bisa menatap kosong punggung Alan yang bergerak menjauh dari jaraknya berdiri. Semakin jauh dan semakin jauh. Hingga akhirnya sosok Alan menghilang di belokkan jalan menuju lorong gedung ruang guru.

"Ckckck.. hebat ya lo. Janjian sama gue di gerbang belakang, malah nemuin siAlan." Komentar Dirga yang tiba-tiba nongol dari balik tembok gedung basket indoor.

Audy langsung membalikkan badannya. Terkejut dengan keberadaan Dirga di sana. Cowok itu terkekeh sambil memainkan kunci mobilnya dengan melempar ke atas dan ditangkap lagi.

"Lo denger apa aja kak?" Tanya Audy was-was.

"Emmm apa yaaa? Banyak loh dialog kalian."

Audy langsung cemberut, mukanya merah padam. "Iiiiiiihhhhh lo denger apa? Bagian mana? Lo nguping yaaa??!!" Tanyanya dengan memukuli Dirga dengan tas ranselnya.

"Duh..aduh!!! Santai dong! Gak usah mukul kan bisa." Sungut Dirga.

"Salah lo sendiri udah nguping pembicaraan orang."

"Ini sekolah. Banyak kuping juga. Horor lagi kalau ada yang denger kecuali gue. Mau lo?"

Mendengar itu Audy menggeleng kecil.

"Ya udah buru. Keburu makin sore. Gue laper." Ucap Dirga yang langsung mengajak Audy lewat gerbang belakang.

Sementara itu, ada perempuan lain di balik gerbang pintu gedung basket indoor. Dia mendengar semua percakapan dari awal. Kedua tangannya meremas pegangan pompom cheerleader. Di bagian pergelangan tangan kirinya ada sebuah gelang khusus berbahan karet dengan tulisan 'Leader'.

***