Masa lalu, seperti momok yang amat mengerikan bagi sebagian orang. Beberapa masih terkurung dalam lingkaran dendam dan murka, yang lain bahkan tak selamat dari jeratan memori kelam. Begitu berpengaruhnya masa lalu terhadap kehidupan sampai-sampai ikut memengaruhi takdir dan pola pikir. Di sisi lain, ada juga yang beranggapan derita yang telah dialami merupakan harta yang tak ternilai harganya. Kau tahu kata orang, "Pengalaman adalah guru terbaik." Tak ada salahnya memang, melihat masa lalu untuk melangkah menuju masa depan yang lebih baik. Merekalah yang selalu disinari cahaya kebaikan dan akan selalu begitu. Mungkin memang tak semudah yang dibayangkan, sebagian kecil masih terbawa arus waktu dan mengulangi kesalahan yang sama walau mereka tahu jika itu hanya akan membawa keburukan. Namun, pola pikirnya telah menerima apa yang telah diajarkan masa lalu. Tinggal mau atau tidak, serta seberapa kuat niatan mereka untuk bebas.
Sejujurnya, Jaka sama sekali tidak memerhatikan jalanan dengan benar selama dirinya berkendara menuju Balai Kota Surakarta. Pikirannya dipenuhi terlalu banyak dugaan, baik mengenai Andi atau makhluk yang kini tengah mengincar keluarganya itu. Selama tiga jam lebih perjalanan ia habiskan dengan menyusun langkah demi langkah pasti untuk melawan musuhnya. Ia sampai di tempat tujuan saat matahari hampir berada tepat di atas kepala, sekitar jam sebelas lebih lima. Saat mobilnya melewati gerbang masuk balai kota, sesuatu yang cukup janggal terjadi. Entah kenapa, pandangannya langsung tertuju pada sebuah tempat di sekitar sana. Ia tak tahu apa itu, yang jelas ada sesuatu yang menginginkan kehadiran Jaka. Setelah memarkirkan kendaraannya, sambutan dari seorang teman mengalihkan perhatiannya.
"Pak Sekda? Apa kabar?" sapa seorang kakek tua dengan gunting rumput di tangannya.
"Alhamdulillah, baik. Mbah sendiri sehat?"
"Ya sehatnya orang tua beginilah, kadang masuk angin." Mbah Tanto, begitu orang-orang menyapanya. Dia selalu tersenyum ramah kepada siapapun yang ditemuinya.
"Udah lama saya nggak ke sini. Nanti temenin saya ke Bunker lagi ya, Mbah?"
"La? Jauh-jauh dari Wonosobo ke sini cuma buat lihat ruangan kosong," celetuk Mbah Tanto sambil menyeringai.
"Saya ada urusan sebentar sama Pak Sekda sini. Selain itu, berhubung ada suatu hal yang perlu diselesaikan dan saya butuh 'pencerahan' juga, mungkin lebih baik saya minta bantuan ke Leluhur."
"Oh, begitu. Ya, nanti saya temani. Sekarang, jumatan dulu."
"Nggeh, Mbah. Mari."
Bisa dibilang Mbah Tanto adalah 'juru kunci' dari komplek Loji Gandrung. Ya, bangunan yang kini menjadi Balaikota Surakarta ini dulunya merupakan sebuah loji. Namun, informasi ini takkan ada di buku sejarah maupun media masa. Kalau pun ada, pasti itu bersumber dari sang saksi sejarah itu sendiri. Bangsa ini cukup tua dan sangat muda, terlalu tua untuk ditelusuri sampai pada Zaman Perunggu serta sangat muda untuk bisa dikatakan, "Sejarahnya sudah terkubur." Bangsa ini lebih unik dari yang dipikirkan kebanyakan orang. Kau baru akan menyadarinya ketika telah memiliki dedikasi tinggi untuk mencari tahu.
"Hari ini Bunker tutup ya, Mbah?" tanya Jaka saat ia dan Mbah Tanto mulai menuruni beberapa anak tangga menuju lorong bawah tanah yang panjang.
Sebelumnya, mereka sempat menikmati kupat tahu yang dijajakan pedagang kaki lima di pelataran masjid, tempat mereka menunaikan ibadah salat Jumat. Beberapa hal telah mereka perbincangkan, kebanyakan hanya sekadar obrolan santai antar sesama teman. Mereka baru akan menyinggung hal-hal yang lebih berat ketika telah sampai di tempat yang tepat.
"Iya, makanya nggak ada orang selain kita di sini."
"Oh ya, baguslah."
Kini, mereka berjalan melalui lorong setinggi kurang lebih dua meter dengan dinding berwarna keabu-abuan. Langit-langitnya terlihat seperti setengah lingkaran dan Jaka merasa sangat tidak nyaman di sana. Entah karena efek dari struktur bangunan yang sempit dan fentilasi yang minim, atau memang ada semacam energi yang cukup kuat yang dirasakan Jaka. Sekujur tubuhnya serasa ditekan dari segala arah, seperti seseorang yang sedang berjalan di dalam air. Lehernya juga mulai dibasahi keringat karena ia memang merasa cukup kepanasan. Mereka berdua terus berjalan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, sampai Mbah Tanto menyadari jika rekan seperjalanannya itu merasakan sesuatu yang janggal.
"Di sini padat ya, Ka?" tanya Mbah Tanto.
"Padat banget, Mbah," jawab Jaka singkat sambil menyeka keringat yang ada di wajahnya.
Setelah melewati beberapa belokan, keduanya sampai di sebuah ruangan kosong yang cukup luas. Tak ada apapun di sana, hanya kubus raksasa dengan pencahayaan yang minim. Cahaya matahari menyusup melalui celah sempit di bagian atas, tapi tak cukup terang untuk menyinari setiap sudut ruangan. Mbah Tanto terlihat memerhatikan gerak-gerik Jaka. Semenjak keduanya menginjakkan kaki di ruangan itu, raut wajah Jaka langsung berubah. Matanya memang terlihat menerawang sekitar, hanya saja dengan tatapan tajam. Berkali-kali pandangannya menjelajah setiap jengkal ruangan itu, tampaknya ia telah menemukan beberapa hal yang cukup menarik. Mbah Tanto akan membiarkan Jaka melakukan apapun yang dirasa perlu.
Sebuah dorongan dari dalam dirinya membuat telapak tangan Jaka bergerak menyentuh dinding ruangan. Secara mengejutkan, seketika ia merasakan berbagai macam energi yang tertanam di sana. Sebagian besar berasal dari emosi mereka yang pernah bernapas, yang lain merupakan tanggapan dari dimensi lain terhadap kehidupan manusia. Ia serasa dibawa ke masa lalu, bukan hanya saat Bunker ini masih menjadi tempat pertahanan, tapi juga ketika digunakan untuk suatu hal yang lebih gelap.
Tak ada yang menyangka jika Jaka akan mendapat gambaran yang sedetail dan sejelas itu. Ia melihat banyak orang bersetelan mahal berkerumun membentuk dua lingkaran, satu berukuran lebih kecil dan yang lain berada di belakang barisan pertama. Semuanya menatap pada satu titik pusat utama, yaitu dua orang berjubah. Ada yang membakar dupa, sedangkan satunya memiliki sebuah buku. Mereka terlihat merapal sesuatu dan semua orang memperhatikan keduanya dengan seksama. Tak lama berselang ada satu orang yang melangkah maju, keluar dari barisan menuju orang-orang berjubah. Ada sesuatu yang baru Jaka sadari, semua orang yang ada di sana adalah laki-laki, kecuali orang yang baru saja keluar dari barisan.
"Angkuh ... tamak ... iri ... murka ... nafsu ... rakus ... malas ...." Jaka menyebutkan satu per satu berbagai sifat buruk manusia dengan jeda waktu yang panjang.
Jaka ingin mengetahui lebih banyak soal orang yang keluar dari barisan itu. Dia satu-satunya wanita di sana, cukup muda untuk diikutkan dalam sebuah prosesi sakral, juga peran yang dimainkan olehnya sangatlah tidak wajar. Pasalnya, saat wanita ini sampai di pusat 'lingkaran persaudaraan' ia terlihat memanipulasi setiap obor yang ada di ruangan itu dan mulai menyerang semua orang dengan sambaran api. Seketika visi Jaka berubah menjadi tragedi mengerikan hingga merenggut kesadarannya juga.