"Ayolah, aku hampir bener nebaknya, 'kan?"
Rafi tak mau mengalah. Ia terus saja melontarkan berbagai spekulasi mengenai hal yang dianggapnya sebagai 'Misteri Buku Astrologi'. Andi hanya membiarkan sahabatnya itu terus berbicara, ngelantur ke sana kemari dengan semua teorinya. Sementara ia sendiri lebih fokus pada sepiring nasi goreng yang sudah dipesannya beberapa saat yang lalu. Ia sudah melewati antrian panjang untuk itu, tapi saat ini Rafi tak membiarkannya menikmati makan siang dengan tenang.
"Ngomong aja terus, kapan aku makannya?" balas Andi ketus.
"Setelah salah satu teoriku benerlah."
Kantin sekolah cukup dipadati orang-orang yang membutuhkan asupan energi baru dari berbagai makanan yang disajikan oleh para ibu kantin. Salat Jumat telah selesai lima belas menit yang lalu dan ini adalah Jumat terakhir sebelum pelaksanaan kegiatan Penilaian Akhir Semester. Normalnya para murid masih akan melewati sisa dua jam pembelajaran KBM, hanya saja tidak untuk kali ini. Setelah istirahat pertama, seluruh warga sekolah diwajibkan untuk membersihkan lingkungan sekolah untuk mempersiapkan PAS. Sekarang, semua kegiatan telah selesai. Hanya saja, Andi dan Rafi masih menikmati makan siang serta obrolan mereka yang makin tak tentu arah.
"Ya udah, teori kamu yang kedua belas barusan bener," sahut Andi mengalah.
"Halah, sekarang kamu yang asal-asalan jawab," balas Rafi dengan nada menggoda.
Nasi goreng Andi hanya berkurang setengah porsi, sedangkan semangkuk mie instan milik Rafi telah ludas sedari tadi. Setidaknya, mereka masih memiliki selera yang sama soal, "Es teh melengkapi setiap hidangan dan obrolan."
"Serius ya. Tapi emang nggak sepenuhnya benar sih." Selera makan Andi telah hilang sepenuhnya, kini ia hanya menyeruput es teh miliknya dengan tatapan kosong ke depan.
"Kamu pinjam buku astrologi punya Bu Ninis karena kamu kecelakaan semalem. Dari teoriku barusan, bagian mana yang bener dan bagian mana yang salah?"
Andi sengaja membuat Rafi menunggu sedikit lebih lama, ia senang melihat sahabatnya itu sekarat karena penasaran. "Emang bener, aku pinjam buku itu karena semalem itu bener-bener masa yang berat buat aku."
"La? Apa hubungannya sama astrologi?"
Andi hanya melirik Rafi dengan malas dan berkata, "Aku suka astrologi, Raf."
"Owh ...." Rafi terdiam sejenak. Bola matanya melirik ke atas seraya memiringkan kepala, tampaknya ia sedang berpikir keras. "Terus, yang salah bagian mana?"
"Buku itu bukan punya Bu Ninis karena Bu Ninis cuma suka sama ilmu murni."
Rafi tak habis pikir. Ia benar-benar dibuat penasaran oleh teka-teki Andi. Semakin ia mencari tahu, jawaban yang ia inginkan justru semakin sulit dicari. "Tinggal dikasih tahu, apa susahnya sih?"
Melihat kelakuan Rafi yang semakin jengkel dengan sikapnya, Andi pun hanya menahan tawa. "Haha ... lagian kamu ini, kurang kerjaan banget."
"Ya aku gabut," gerutu Rafi pada akhirnya. Ia hanya terdiam menahan kesal layaknya anak perempuan yang sedang merajuk meminta mainan.
"Iya deh, kukasih tahu." Andi mendekatkan diri ke arah Rafi, ia memasang tatapan tajam seolah apa yang akan ia katakan adalah rahasia tingkat tinggi. Tak lama berselang, ia berbisik, "Buku itu punya suaminya, guru PAI kita ...."
Dari arah belakang, seseorang menepuk bahu Andi dan membuat dirinya sangat terkejut. Ia tak langsung mencari tahu siapa yang ada di belakangnya, untuk sesaat ia dan Rafi hanya bertukar pandang.
"Ini buku yang kamu cari, bukan?"
Barulah setelah suara itu terdengar memecah keramaian kantin, Andi menoleh dan mendapati Pak Fahmi yang sudah menyodorkan sebuah buku yang cukup tebal dengan warna kertas kekuningan. Tanpa sadar, Andi menggumam, "Pak Fahmi, panjang umur."
Pak Fahmi lantas mengerutkan keningnya. "Saya panjang umur gimana? Tapi ... amin."
Melihat kejadian itu, Rafi langsung mendorong bahu Andi dengan cukup kuat hingga Andi hampir jatuh terjungkal dari kursi panjang tanpa sandaran yang mereka duduki. Sebelum menyadari apapun, Andi hanya melirik Rafi dengan ekspresi bingung. Barulah setelah Rafi memberi isyarat tentang keberadaan salah satu guru mereka itu, Andi kembali terkejut.
"Eh ... Pak Fahmi. Siang, Pak," kata Andi sambil tersipu malu.
"Maaf, Pak. Temen saya ini kadang emang aneh," celetuk Rafi kemudian.
Mereka bertiga tertawa bersama. Andi tak bisa menyembunyikan rasa malunya lagi sekarang, sedangkan Rafi dan Pak Fahmi hanya melihatnya keheranan. Pak Fahmi melangkah memutari meja, lalu mengambil posisi duduk tepat di hadapan kedua sahabat itu. Ia meletakkan buku yang digenggamnya di atas meja dan menerima salam hangat cium tangan dari Andi dan Rafi.
"Istri saya tadi bilang, kamu tertarik sama astrologi. Kebetulan saya bawa satu yang menurut saya paling sederhana untuk dimengerti remaja seusia kamu," jelas Pak Fahmi menerangkan buku yang dibawanya itu.
"Sebenarnya, bukan apa-apa, Pak. Nggak tahu, saya penasaran aja dengan salah satu koleksi Bapak," balas Andi berterus terang.
"Ya udah. Itu bukunya kamu bawa pulang, nggak usah dikembalikan."
Mata Andi langsung berbinar, ia sangat senang dengan kebaikan hati Pak Fahmi. "Wah. Terima kasih banyak, Pak."
"Tapi, kamu harus ingat. Belajar astrologi sendirian itu bahaya, sama kaya saat kita belajar filsafat tanpa pendamping yang lebih tahu. Astrologi beda jauh sama astronomi, Nak."
"Hmm, iya juga ya."
Pembicaraan mereka sempat sempat terhenti. Pak Fahmi tahu rasa keingintauan salah satu muridnya ini cukup tinggi. Sebagai seorang guru ia hanya bisa memfasilitasi, tapi tentu saja ia tak bisa sepenuhnya mendampingi. Di sisi lain, Andi kembali memutar otak. Di mana ia bisa menemukan seseorang yang tahu benar tentang seluk-beluk astrologi? Andi tidak merasa memiliki teman yang sepemikiran dengannya soal hal semacam ini.
"Kenapa nggak Pak Fahmi aja yang jadi pendamping Andi, Pak?" celetuk Rafi di tengah-tengah jeda pembicaraan.
"Waduh, saya nggak pinter astrologi," ujar Pak Fahmi sedikit menyangkal.
"Tapi, bener juga kata kamu, Raf. Pak Fahmi, saya nggak butuh orang yang pinter astrologi. Anggap aja ketertarikan saya ini cuma sekadar iseng cari tahu. Setidaknya, saya kira Pak Fahmi udah tahu dasar-dasarnya." Andi mulai mengemukakkan argumennya.
Pak Fahmi tak bisa membantah pendapat Andi. Muridnya itu memang selalu pandai berargumen. "Ya udah. Kalau kamu mau tanya dan saya bisa jawab, ya kenapa enggak? Kalau saya nggak tahu ya maaf, saya nggak bisa bantu."
"Itu udah lebih dari cukup, Pak. Sekali lagi, terima kasih banyak."
Ponsel Andi bergetar beberapa kali, sepertinya ada yang 'memberondong' dirinya dengan pesan teks yang cukup banyak. Ketika ia periksa, ternyata itu dari Siska.
"Raf, aku udah ditungguin Siska nih di tangga lingkar."
"Ya ayo pulang. Mau ngapain kita di sini?"
"Kan kamu yang mulai tadi. Gimana?"
"Udah-udah. Kalian langsung pulang aja, jangan mampir ke mana-mana. Persiapkan PAS dengan baik." Pak Fahmi berusaha melerai pertengkaran kecil di antara Andi dan Rafi.
Lagi-lagi, ketiganya tak bisa menahan tawa. Sebelum beranjak, seperti biasa Andi dan Rafi mencium tangan Pak Fahmi seperti yang mereka lakukan kepada semua guru di sekolahnya itu. Saat melihat Andi ingin melangkah pergi, tiba-tiba Pak Fahmi teringat akan sesuatu.
"Eh, Andi. Omong-omong, gimana kabar ayah kamu?"
"Alhamdulillah Ayah baik, Pak."
"Kira-kira kapan ya saya bisa main ke rumah kamu?"
"Kalau Bapak mau ketemu Ayah yang jelas jangan hari ini, Pak, karena Ayah lagi pergi ke luar kota."