Chereads / The Return of Baphomet / Chapter 20 - Dua Sejoli

Chapter 20 - Dua Sejoli

"Mia, aku pusing. Istirahat bentar dong."

Dengan malas, Danang menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Ia membiarkan buku catatannya terbuka begitu saja dengan pulpen serta penggaris yang tergeletak sembarang di atas meja. Wajahnya menengadah ke langit-langit ruangan, beberapa tarikan napas panjang tak juga membuat sakit kepalanya mereda. Akhirnya, ia hanya bisa memejamkan mata.

"Oke deh," balas Mia.

Gadis itu kini mengambil posisi duduk lebih dekat dengan Danang. Dengan penuh simpati, ia menatap Danang seraya memeluk kedua lututnya sendiri.

"Aku nggak suka fisika," keluh Danang.

Mia hanya tersenyum mendengar hal itu. Tak seperti orang-orang di sekeliling Danang yang cenderung ekstrovert luar biasa, Mia adalah satu-satunya orang terdekat Danang dengan kepribadian jauh lebih tertutup dari remaja pada umumnya. Mungkin memang sedikit aneh, kenapa Danang lebih memilih gadis pendiam alih-alih mengejar cinta dengan salah satu gadis populer yang suka cari perhatian dengan semua orang. Yang jelas, Danang selalu mengikutsertakan Mia setiap kali mereka berkumpul dengan kawan satu geng. Tak ada yang berani menghakimi Mia karena Danang adalah orang paling berpengaruh dalam lingkaran pertemanannya.

"Kalau kamu?" lanjut Danang

"Aku pelajari semua yang harus dipelajari di sekolah, nggak ada pelajaran yang benar-benar aku benci. Ini semester lima, tahun depan kita udah banyak try out dan ujian ini dan itu. Sebentar lagi kita lulus, Nang." Mia kembali tersenyum saat mengucapkan kalimat terakhirnya. Kali ini sampai tampak gigi gingsulnya.

"Kayaknya kamu bakal masuk SNMPTN."

"Amin. Semoga aja gitu, Nang."

"Jelas masuklah, kamu rajinnya kelewat batas! Hahaha."

Danang tertawa keras, sedangkan Mia masih bertahan dengan senyum kecilnya. Ia menyukai Danang karena dapat menaungi dirinya dengan baik. Awalnya, ia hampir tak percaya saat Danang mengutarakan perasaanya di hadapan banyak orang. Lagipula, anak populer bukan tipenya. Tapi, ternyata Danang sangat berbeda. Dari luar dia memang pandai bergaul dengan anak populer, menjadi salah satu dari mereka, dan cukup mendominasi. Tak ada yang menyangka jika ia lebih menginginkan pasangan yang lebih tenang dan tak banyak bicara.

"Kamu juga pinter kok. Nggak ada yang bisa ngerjain penilaian Sejarah Indonesia dan dapet nilai seratus."

"Hahaha! Itu cuma kebetulan aja yang kubaca itu ternyata soal yang keluar."

"Hm, iya deh. Percaya aku."

"Dih. Mulai lagi ya kamu, Mia."

Jari tangan Danang mencubit kecil pipi cabi Mia karena gemas. Mereka kembali tertawa senang seolah dunia serasa milik berdua. Biasa, drama kisah kasih sekolah.

"Udah sembuh nih ceritanya? Katanya barusan sakit kepala," ucap Mia sebelum seraya mengamb jus alpukat dari atas meja.

"Ada kamu, jadi langsung sembuh deh," sahut Danang menahan tawa.

Lantas, Mia pun hanya menaikkan sebelah alisnya tanda terheran-heran. "Terserah kamu deh. Eh, Nang? Mau nambah jus lagi?"

"Boleh deh, Sayang."

"Bentar, aku buatin dulu."

Sambil menunggu Mia kembali dari dapur, dengan malas Danang membuka beranda WA. Banyak percakapan yang belum ia baca di sana, mungkin mencapai puluhan. Kebanyakan pesan dari grup OSIS SMANSA yang sudah ia bisukan sejak sebulan lalu. Sebagian yang lain hanya berisi sapaan random dari teman-temannya. Ada yang menanyakan perihal PAS, posisinya sekarang, atau ajakan untuk sekadar berkumpul bersama. Danang terlihat tak tertarik dengan semua itu.

Jempolnya menggeser layar ponsel ke kiri, kini terlihat sederet story WA berbagai rupa. Danang sampai bosan melihat teman-teman ambisnya pamer buku baru dan masuk bimbingan belajar ternama. Ini memang sudah mendekati pendaftaran SNMPTN, dilanjutkan SBMPTN. Semua orang bersiap menghadapi itu, hanya saja Danang tak terlihat begitu.

"Aku bukan budak PTN," lirih Danang lesu.

"Memang bukan."

Sudah beberapa hari belakangan, Danang mendapat sahabat baru di kepalanya. Ia selalu mendukung apapun yang dilakukan Danang. Saran-saran darinya, semua terasa masuk akal. Walau beberapa memang bertentangan dengan gaya kebanyakan orang, Danang malah semakin menikmatinya. Ia sering mengajak bicara suara itu layaknya sedang bersama salah satu teman satu gengnya.

"Aku ngga minat daftar SNMPTN, apalagi SBMPTN. Pertama, emang karena nilaiku biasa aja. Kedua, aku ngga ikut bimbel manapun. Ketiga, ya itu ... aku bukan budak PTN. Almamater bukan penentu kesuksesan."

"Setuju."

Danang meletakkan ponsel di samping buku tulisnya. Ia hanya terdiam, tanpa sadar merenungi perkataanya sendiri.

"Kamu tahu? Aku penasaran, kenapa kamu baik banget sama aku. Aku ini bukan siapa-siapa lo. Kamu jawab semua kebimbangan aku, kamu selalu nemenin aku di saat-saat kaya gini," ujar Danang dengan tatapan menerawang ke kejauhan.

"Aku selalu tahu apa yang kau butuhkan, itu saja."

Danang berpikir sejenak, mencoba mencerna apa maksud dari sahabatnya itu. "Kalau aku minta buat jadi lebih populer di sekolah gimana? Ini kan udah hampir kelulusan, aku pengen dikenang di SMANSA sebagai salah satu siswa paling mengesankan di mata guru dan teman-temanku. Aku memang bukan anak super pintar dan rajin macam Mia atau Andi. Tapi, aku pengen meninggalkan bekas yang berkesan. Kamu bisa ngelakuin itu?"

Beberapa menit Danang hanya terdiam, menunggu respon dari suara di kepalanya itu. Hanya saja, sepertinya ia sudah pergi. Memang suara itu tak bisa diprediksi kapan datang kapan hilang. Tapi, ia selalu datang di saat yang tepat. Ia pergi setelah melakukan suatu obrolan dengan Danang.

"Wong edan ... wong edan," gumamnya lagi.

"Siapa yang edan?"

Tanpa Danang sadari, Mia sedang berjalan menuju meja ruang tengah dengan nampan berisi dua gelas jus alpukat lengkap dengan campuran susu cokelat di dalamnya. Ia meletakkan kedua gelas itu sambil melirik Danang penuh tanda tanya.

"Ditanyain juga," imbuhnya.

"Itu tadi story temenku, ada yang bikin video Tiktok ngitung beras satu-satu pake sumpit. Apa itu ngga edan?" jawab Danang santai, ia kembali menggenggam ponsel pintarnya.

"Kurang kerjaan banget itu orang. Kalo dia di sini, udah kusuruh bersihin rumahku ini dari ruang tamu sampai balkon lantai dua. Itu lebih berguna dan lebih bermutu, daripada ngitung beras yang sama sekali nggak ada faedahnya."

"Hahaha, iya. Bener banget. Makin lama makin banyak aja yang cuma cari sensasi di media sosial."

"Ya itu paling, cuma ngejar followers. Kalo dah banyak kan banyak endors-an masuk."

"Eh, ujung-ujungnya cari duit juga."

Sekali lagi, tawa keduanya pecah begitu saja. Ya, begitulah mereka menghabiskan waktu bersama. Sekolah tak dilupakan, tapi waktu bersama pasangan tetap berjalan. Tangan Danang bergerak mengambil gelas jus dan menyeruput isinya sampai setengah kosong.

"Yok, lanjut lagi. Eh, tapi aku mau tanya. Orang tua kamu pulang kerja kapan?"

"Masih nanti sore, sekitar jam 6. Ini masih jam 3."

"Owh, oke oke."

"Ya udah. Sekarang kita belajar Termodinamika."

***