"... berkesimpulan bahwa putra Bapak juga harus dimintai keterangan," tegas Arum pada akhirnya.
Di sisi sofa yang lain, Jaka terlihat mendengarkan celotehan panjang lebar dari Arum dengan sabar. Sedari awal perempuan itu berbicara, dirinya menyalakan sebatang rokok dan terus menghisapnya hingga kini yang tersisa hanyalah putung filter-nya saja. Setelah keheningan tercipta beberapa saat kemudian, ia mematikan bara rokoknya di sebuah asbak kayu di atas meja. Tangannya beralih menyambar segelas teh yang dihidangkan Inem dan menghabiskan sisa isinya. Lalu, setoples camilan kacang telur menjadi penutup yang sangat renyah.
"Pak Jaka, Bapak denger saya ngomong nggak sih?" Sepertinya, Arum mulai tersulut emosi dengan sikap Jaka yang seolah-olah selalu mengabaikannya.
"Aiptu Arum, jangan jadi polisi di rumah saya."
Sontak wanita itu terdiam membisu. Itu adalah kalimat pertama yang terlontar dari mulut Jaka setelah Arum menjabarkan rincian maksud sebenarnya ia datang ke kediaman Jaka. Peristiwa sebesar yang terjadi di RS Islam tentu akan menarik perhatian pers dan kepolisian. Publik mungkin juga akan turut mencari tahu apa yang terjadi, tapi dua unsur tadi tentu memiliki pengaruh paling besar. Usut punya usut, Arum adalah seorang penyidik kepolisian berpangkat Aiptu. Ia datang memenuhi tugasnya untuk meminta keterangan mengenai kasus tersebut. Nama Andi dan Jaka terlanjur tercantum dalam berkas perkara.
"Pak, saya capek debat sama Bapak."
"Bukan maksud saya untuk menghalangi penyidikan polisi," kata Jaka berusaha bersikap kooperatif. Ia melihat Arum sama sekali belum menyentuh gelas tehnya, jelas wanita ini butuh sedikit perhatian lebih. "Sebelumnya, terima kasih udah mau menuruti permintaan saya. Nggak seharusnya Andi tahu soal ini sekarang."
"Kenapa Bapak seolah akan 'menyembunyikan' putra Bapak?" tanya Arum penuh curiga.
"Saya nggak bilang begitu. Pertimbangan saya adalah pertama, Andi masih di bawah umur. Mungkin dia baru bisa buat KTP awal tahun depan. Kedua, Andi sedang tidak dalam kondisi yang benar-benar sehat, baik secara fisik maupun mental."
"Tapi saya lihat barusan dia udah pulih." Arum kembali menyanggah perkataan Jaka dengan penuh ambisi.
"Saya itu ayahnya. Yang tahu kondisi Andi lebih dari siapapun ya saya sendiri, bukan orang asing." Jaka mengambil jeda singkat untuk melihat reaksi dari lawan bicaranya itu. Ternyata, ia tampak sama sekali tak terpengaruh dengan penjelasan Jaka. "Yang terakhir, dia ada Penilaian Akhir semester mulai Senin ini. Saya mau dia fokus belajar dan saya nggak mau ada hal-hal yang bisa memecah konsentrasinya."
Kali ini, semangat Arum sedikit tergerus. Seolah-olah tidak ada celah lagi untuk menyanggah setiap kata-kata Jaka, tapi ia takkan menyerah semudah itu. Beberapa pengalaman bertemu dengan 'orang penting' dalam pemerintahan yang dimilikinya mungkin bisa membantu.
"Baiklah, sekali lagi saya akan menuruti permintaan Bapak. Tapi, saya tidak mungkin pulang dengan tangan kosong malam ini," jelas Arum seraya mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan aplikasi perekam suara yang telah terbuka. "Bisa dinyalain sekarang?"
"Sebentar, saya butuh kopi. Mbak Arum juga diminumlah tehnya, nanti Inem kecewa. Dikira tehnya kurang manis atau apa," celetuk Jaka tiba-tiba.
Arum meminum tehnya yang hampir dingin itu dengan tatapan aneh. Ia melihat setiap gerak gerik Jaka mulai dari memanggil Inem, memintanya untuk membuat kopi hitam pahit yang sangat kental, mengambil kembali beberapa butir kacang telur, hingga kopinya datang dan disuguhkan di meja. Jaka sedikit menyeruput kopi panasnya, lalu bibirnya berdecak pelan. Setelah itu, barulah ia mempersilakan Arum untuk menyalakan perekam suara.
"Pak Jaka, jawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan jelas dan terperinci. Apa saja yang Bapak lakukan semenjak jam delapan malam sebelum sampai setelah kejadian?"
Tentu saja ini akan menjadi malam yang panjang, pikir Jaka.
"Jam delapan malam saya ada di ruangan persis di sebelah kamar Andi, lebih tepatnya di lantai dua rumah ini. Saya tenggelam dalam aktivitas saya sampai-sampai nggak sadar ponsel saya bergetar banyak kali. Sekitar jam sembilan, baru saya buka ponsel dan nemu banyak notifikasi dari Andi. Saya juga baru sadar, itu anak jam segini kenapa belum pulang? Kadang Andi memang nganterin pacarnya dulu, tapi nggak pernah semalem ini. Saya telpon balik dia, langsung saya pergi ke RS. Di sana saya sempet ketemu sama seorang perawat buat tanya posisi Andi di mana, dari sana kita ketemu juga."
"Saya pergi dari sana sekitar setengah sepuluh," tambah Arum di sela-sela penjelasan Jaka.
"Setelah Mbak Arum pergi, saya berusaha ngobrol sama Andi. Intinya saya berusaha jadi ayah yang baik di sana. Sampai kira-kira tengah malam, Andi ngajak pulang ke rumah. Dia bersih keras buat tetep masuk sekolah karena ada penilaian harian. Ya saat itu juga kami pun pulang."
"Bukankah kejadiannya juga terjadi sekitar tengah malam?"
"Biarkan saya selesaikan omongan saya dulu, Aiptu."
Jaka berusaha keras untuk tidak tersulut emosi karena menghadapi penyidik bawel yang tidak sabaran itu, atau pernyataannya sudah tidak objektif lagi.
"Waktu kejadian itu, saya sama Andi udah ada di halaman RS. Andi sempat kena pecahan kaca, begitu juga saya." Jaka menunjuk sebuah goresan berwarna ungu kehitaman yang memanjang di sekitar lehernya. "Saya nggak mau Andi dalam bahaya, kami langsung pergi dari sana. Lalu, kebetulan kami melewati jalan pulang yang sama, tempat Andi jatuh dari motor. Kami berhenti sebentar, itung-itung menenangkan diri. Saya habis rokok sebatang. Baru kami pulang ke sini, saya ingat betul lihat arloji saya. Waktu itu udah jam satu lebih seperempat. Saya minta Inem bikinin nasi goreng buat anak saya biar dia sekalian minum obat, baru istirahat. Kalau saya sendiri minta Inem bikin kopi semacam ini, terus saya ngerokok di meja makan ruang tengah yang itu sampai jam dua. Baru saya tidur."
Jaka menutup pemaparannya dengan menyeruput kopi hitamnya hingga hanya tersisa setengah. Ia juga kembali menyulut sebatang rokok sebelum mempersilakan Arum untuk menanggapi. "Saya tahu Mbak Arum punya banyak pertanyaan."
Wanita itu masih membisu di sisi sofa terjauh, tempatnya duduk semenjak dirinya berjumpa dengan Andi. Sebenarnya, Arum merasa heran dengan perawakan Jaka. Ayah Andi itu memiliki postur badan yang tegap dan tinggi semampai. Ia melihat urat-urat di tangan Jaka menyembul keluar layaknya seorang pekerja lapangan. Kulitnya terbakar matahari, rambutnya sedikit bergelombang, dan tatapan tajamnya mengintimidasi. Untuk seorang Sekretaris Daerah, Jaka adalah salah satu contoh yang paling tidak relevan dengan pekerjaan kantor. Bekas luka di lehernya menguatkan penilaian wanita itu. Ia lebih cocok menjadi Kepala Penyidik di kesatuan tempat Arum bernaung daripada menjadi pembantu para wakil rakyat di kantor DPRD Wonosobo.
Arum mematikan aplikasi perekam suara dan mematikan ponsel. Maksudnya adalah ia benar-benar membuka case bagian belakang, mengeluarkan baterai ponselnya, dan meletakkannya semua itu di salah satu sudut meja. Kemudian, badannya agak condong ke depan karena dirinya mulai berbicara dengan volume yang jauh lebih kecil.
"Aku boleh panggil nama aja nggak?" Jaka membalas dengan anggukan pelan tanda setuju. "Jaka, apapun yang kamu sembunyikan, aku sama sekali nggak tertarik. Yang jelas, tugas aku di sini udah selesai. Biarkan orang lain yang menangani kasus ini lebih jauh. Aku cuma menangani kalian berdua karena aku memang lihat kalian di lokasi kejadian. Setelah ini, aku mau pamit aja. Nggak tahu untuk ke depan kita bisa ketemu lagi atau nggak. Aku paham posisi kamu sebagai ayah ...."
"Dan aku paham posisi kamu sebagai penyidik. Kita lupain semuanya, anggap aja nggak pernah terjadi."