Chereads / Elbara : Melts The Coldest Heart / Chapter 15 - Sifat Random Mario Reza

Chapter 15 - Sifat Random Mario Reza

Banyak hal yang bisa dilakukan ketika sedang bermain bersama sahabat. Contohnya bermain ular tangga dengan serius ditemani beberapa camilan yang di curi dari dalam kulkas milik El, itu adalah sebuah kebiasaan yang selalu berjalan sampai pada saat ini.

"Yaelah gue turun mulu ke makan ular, heran gue gak menang-menang dah ini mah." ucap Reza sambil mengacak rambutnya dengan kasar. Ia benar-benar tidak mengerti bagaimana bisa dirinya selalu kalah dalam segala aspek permainan, kan memalukan. Kemarin ia kalah bermain ludo, sekarang ular tangga. Nasibnya tidak pernah bagus.

Mario tertawa lebar kala melihat dadu yang baru saja ia lempar menunjukkan angka 6, yang berarti mendapatkan kesempatan sekali lagi untuk menjalankan gilirannya. "Yes! udah ketauan ini mah siapa yang menang, sombong mah perlu buat kemenangan." ucapnya dengan bangga sambil memukul pelan dada bidangnya.

El yang melihat itu hanya mereka memutar kedua bola matanya. Bermain ular tangga adalah pilihan yang sangat membosankan menurut dirinya. Hei, untuk apa membuang-buang waktu untuk melempar dadu demi mendapatkan posisi kemenangan? terlebih lagi harus melewati ular yang tak nyata namun di permainan peraturannya bisa memakan dan mengakibatkan pion pemain harus merosot.

"Udahan ah." ucap El sambil menidurkan dirinya di lantai dengan karpet bulu di bawahnya. Ia memejamkan mata, lalu terlintas wajah Nusa yang banyak tanya itu.

Mario menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa si El? Ah gak asik lo, kan kalau lo kalah gue bisa dapet pizza lima box gitu sebagai hadiah kemenangan. ucapnya dengan lesu. Ia sudah mati-matian mengatur strategi dari bagaimana cara menjalankan pion sampai melempar dadu yang benar. Oke, anggap saja Mario berlebihan.

"El ayolah kita butuh asupan makanan." ucap Reza menimpali ucapan Mario. Memangnya siapa yang tidak mau di traktir makanan?

El membuka matanya lalu menunjuk beberapa bungkus makanan ringan yang tergeletak memenuhi atas karpet miliknya. "Itu semua kurang?" tanyanya.

Mario mengangguk dengan semangat. "Kurang banget El, kalau malem-malem begini sih biasanya gue makan pizza bareng bokap ditambah lagi yang lain-lain loh." jawabnya dengan bersemangat, kali saja kalau dirinya bercerita, El berinisiatif membelikan semua apa yang dikatakannya.

"Gak nanya." ucap El seadanya.

Reza tertawa terbahak-bahak melihat wajah kecut Mario saat El membalas ucapannya dengan wajah datar dan nada yang sinis. "Rasain lo, lagian disamain sama suasana rumah, makan tuh 'gak nanya' bwahaha."

Mario menaikkan bahunya. "Ya kan rumah El rumah gue juga. Jadi ya mau gak mau El harus sediain apa yang biasa gue makan, gitu dong konsepnya."

"Ngelunjak lo ya lama-lama." ucap Reza sambil melempar dadu ke arah Mario dan tepat mengenai kening cowok itu.

"KDRT nih sial Reza!" ucap Mario sambil balik melempari wajah Reza dengan pion miliknya.

"Wah ngajak perang nih anak, ayo kalau begitu kita perang! siapa takut?!"

Reza bangkit dari duduknya, lalu berjalan mengambil bantal yang terdapat di kasur empuk berukuran king size milik El. "Perang bantal!"

Mario dengan cepat langsung berdiri, mengambil bantal lainnya untuk di jadikan senjata. "SERANG JANGAN KASIH KENDOR!!"

El yang merasa sebentar lagi kamarnya akan mirip kapal pecah pun langsung bangun dari tidurnya, memilih menepi dari mereka. Ia berjalan keluar kamar membiarkan kedua sahabatnya itu melakukan aktifitas konyol seperti biasanya. Jika ditanya apakah ia merasa cemburu dengan kedekatan Mario dan Reza? Jawabannya tidak. Dirinya sama sekali tidak merasa jika kedua cowok itu lebih dekat satu sama lain jika dibandingkan dengannya. Ia memilih jalan seperti ini, dan lagipula juga cukup merasa bahagia memiliki sahabat seperti mereka.

Bahagia dalam artian El adalah bahagia yang tidak perlu ditunjukkan dan di umbar pada siapapun. Cukup dirinya sama Tuhan yang tau, dan pasti Mario dab Reza juga merasakan hal yang sama padanya.

Ia mengetuk pintu kamar Alvira yang berada tepat di sebelah kamarnya. Pintu yang di hias dengan hiasan bunga-bunga palsu, terlihat sangat cantik seperti sang pemilik kamar. Ditambah lagi nama besar 'ALVIRA' terukir jelas di tengah pintu tersebut.

Pintu kamar terbuka dan terlihat Alvira yang memakai piyama stitch yang menggemaskan saat dilihat, berwarna biru bercampur dengan warna kulitnya yang putih terlihat begitu serasi.

"Kak Bara? Ada apa kesini? bukannya di kamar ada Kak Mario sama Reza, ya?"

El mengusap lembut puncak kepala Alvira, ia menatap dalam cewek yang ada di hadapannya saat ini. "Kamu keganggu gak sama suara mereka?" tanyanya.

Terselip nada perhatian yang mendalam, namun tetap saja ekspresi dingin itu tidak pernah meninggalkan wajah El yang terlihat tampan.

"Enggak kok kak, lagian juga gak kedengeran banget dari kamar Alvira. Ya kalau berisik wajar, toh kan mereka cowok pasti lebih ramai kalau sedang seru-seruan." ucap Alvira sambil tersenyum manis.

El bergeming, tidak tau ingin mengatakan hal apalagi. Bahkan ia tidak berniat untuk meninggalkan Alvira, entah apa alasannya.

"Kak Bara ngapain lagi? masih ada yang mau di omongin sama Alvira, atau bagaimana?"

"Gak tau."

"Makan es krim yuk sama Alvira, sekarang."

"Males."

"Kalau bermain PS? Kita main bola kayak orang-orang gitu kak. Kan seru nanti kalau gol--"

"Gak."

"Terus kakak maunya apa?"

Alvira sudah menahan untuk tidak menjitak kepala El yang dalam artian sudah pasti tidak sopan melakukan hal tersebut pada sang Kakak.

"Keluar yuk."

El mengambil pergelangan tangan Alvira, menarik cewek itu supaya mengikuti langkahnya. Ia membuka sedikit pintu kamarnya berniat untuk izin kepada Mario dan juga Reza kalau dirinya ingin keluar.

"Rio, Za, gue keluar bentar sama Alvira." ucapnya sambil meraih jaket miliknya yang memang tergantung di dekat pintu kamarnya.

Tanpa mendengarkan balasan dari Mario ataupun Reza, ia segera menarik pelan tangan Alvira untuk menuruni tangga.

"Udah malam Kak Bara, kita mau kemana?"

"Ketempat yang jadi alesan kenapa gue selalu datang mepet jam masuk sekolah, lo mau tau kan alasannya?"

Alvira menaikkan sebelah alisnya. Apa kakaknya ini baru saja berbicara dengan kalimat yang panjang pada dirinya? Apa ia perlu merayakannya untuk hal ini? ah sepertinya tidak, karena saat ini bukan waktunya untuk membahas hal tersebut.

Sedangkan di dalam kamar El, Mario dan Reza sudah menghentikan aksi perang bantal konyol mereka. Menatap satu sama lain seperti sedang melakukan telepati, saling bertukar pikiran seolah-olah mengerti.

"Lah terus apa manfaatnya kita nginep di rumah El kalau yang punya kamar aja cabut-cabutan?" tanya Reza sambil melempar tubuhnya ke atas kasur empuk yang terdapat di kamar ini. Ia menatap langit-langit kamar, menerawang atap yang berwarna putih bersih itu.

Mario melempar bantal yang ada ditangannya ke wajah Reza, belum puas mendapatkan balasannya. "Terserah dia kali, toh tadi dia sama Alvira. Bisa jadi aja tuh adik kecil yang cantiknya melebihi Cinderella minta dibeliin sesuatu, tau sendiri kalau Alvira merajuk tuh susah banget di bujuknya gila."

"Yeh sialan lo ngapain lempar-lempar muka gue pakai bantal segala? Mahal nih muka, cuma ada satu di dunia." Ucap Reza sambil menyibakkan jambulnya ke atas, dengan gaya penuh percaya diri yang membuat Mario mendadak merasa mual.

"Sok ganteng lo gila. Iya muka lo limited edition, alias gak ada cowok yang mau nyamain muka lo karna ewh bukan standar ya sori-soru aja."

Saling mencela satu sama lain, namun tak ada yang di masuki ke dalam hati. Ya, itu kehebatan hubungan Mario dan juga Reza sebagai sahabat.

"Lah gue emang ganteng, kalau gak ganteng mana mungkin mantan gue segudang." ucap Reza dengan bangga, mengoleksi mantan adalah hobinya. Siapa yang ingin kenalan dengan Reza? siap-siap menjadi koleksi selanjutnya ya sayang.

Mario tertawa keras. "KALAU LO GANTENG, GAK MUNGKIN SEKARANG LO JOMBLO!"

Reza menatap Mario dengan kesal. "Gue itu lagi nunggu orang yang tepat, cape juga kali jadi playboy."

"Halah nunggu yang tepat apanya. Cewek nembak lo aja lo langsung terima, gak ada proses seleksi ah, cemen."

"Ya emang lo pernah di tembak cewek?"

"Pernah lah, emangnya siapa yang gak mau sama cowok ganteng plus humoris kayak gue? semua cewek tuh mohon-mohon sama gue, asal lo tau."

"Sayangnya gue gak tau dan gak mau tau."

"Kalau lo tau, pasti lo bakalan terpesona deh!"

Baiklah topik percakapan mereka sekarang sudah semakin tidak terarah. Berniat ingin membicarakan mengenai El yang keluar rumah, malah menyambung sampai masalah percintaan.

Kira-kira kalian punya gak temen yang se-random itu?

"HUEK!!" Reza berakting mual.

Mario memutar bola matanya. "Gak usah sok gitu deh, lo malu kan ngakuin gue lebih ganteng daripada muka lo."

Reza melempar bantal ke arah Mario. "Tau ah ngantuk gue, lo gak jelas ah mending sono tidur di luar kamar." ucapnya dengan tangan yang berlagak mengusir Reza.

"Siapa yang suruh malah ngeladenin gue?"

"Lah lo kalau di diemin malah makin berisik kayak petasan, ngomong sendiri kayak lagi ngobrol sama angin."

"Wah mulut lo ngatain gue petasan. Belom pernah kan lu di hajar pake kekuatan pillow?"

Reza menaikkan sebelah alisnya. Otak Mario semakin lama semakin geser. Ada saja tingkah lakunya. "Apaan tuh?"

"NIh!"

Mario mengambil beberapa tumpuk bantal yang di susun di atas sofa yang berada di dalam kamar ini, lalu dengan ganasnya ia lempari ke tubuh Reza. "Rasain lo makanannya jangan berani-berani sama Mario." ucapnya dengan senyum lebar menghiasi permukaan wajah.

"Nih bocah beneran ngajak perang lagi, liat nih ya gue yang bakalan menang."

Dan ya, sekali lagi tanpa rasa lelah mereka kembali mengadakan aksi perang bantal. Dengan sangat tidak memiliki rasa bersalah, mereka sudah membuat kamar El menjadi berantakan. Untung saja El orangnya baik kepada mereka, jika tidak mungkin sudah di tendang keluar rumah dan tidak akan pernah membiarkan Mario dan Reza menginap dirumah dirinya.

"Kalau gue yang menang perang bantal ini, traktir gue pizza ya, gak ada penolakan apalagi di PHP-in."

...

Next chapter