Pagi ini Nusa dengan langkah gontainya mulai menuruni tangga, sudah memakai seragam lengkap dengan tas serukuran standar yang sudah berada di punggungnya. Ia mengusap kedua mata, lalu menguap karena di landa kantuk yang sangat. Tadi malam ia menonton film kartun sampai tidak sadar jika jam sudah menunjukkan lewat dari tengah malam, dan ya ia menyesali hal itu karena membuat paginya yang cerah menjadi pagi yang membosankan.
"Pagi Kak Rehan." ucapnya dengan lesu menyapa Rehan sambil duduk di kursi makan, menatap sang Kakak yang kini dengan lihainya menggoyang penggorengan dengan satu tangan kekarnya. Cowok itu kini sedang membuat dua porsi nasi goreng untuk di santap oleh dirinya sendiri dan juga Nusa sebagai bekal ke sekolah atau ke tempat kerjaan. Kakak yang baik dan pengertian.
"Pagi juga cewek kebo, kok jam segini baru bangun. Malah Kakak-nya yang siapin sarapan plus bekal, dasar." balas Rehan tanpa menolehkan kepala ke arah Nusa. Ia terkekeh kecil, hanya bercanda saja lagipula ia tak pernah membiarkan adik kecilnya itu menyentuh kompor --kecuali memang terpaksa--.
"Eh enak aja, Nusa tuh kebablasan bukan kebo. Itu beda artian ya Kak, disama-samakan terus nyebelin!"
Rehan menggelengkan kepalanya, ia lelah menasihati adiknya yang terbilang sangat susah di beritahu itu untuk tidak melakukan hal yang tak jelas sampai membuat jam tidur terkikis. "Pasti tidur kemaleman lagi, iya kan?" tebaknya.
"Enggak kok, jangan nuduh-nuduh Nusa ih dosa!"
Bohong, Nusa memang tidak pandai berbohong. Buktinya kini cewek itu tengah menenggelamkan kepala di lipatan tangannya yang berada di meja makan. Jam masih menunjukkan pukul setengah 6 pagi, wajar saja semangat sekolah Nusa belum sepenuhnya terkumpul.
"Tuhkan, sarapan dulu Nusa sayang." Rehan menghampiri Nusa --keadaannya nasi goreng sudah di letakkan ke dalam dua kotak bekal yang berbeda--, lalu duduk di samping cewek itu dengan kedua tangan yang sudah memegang masing-masing satu porsi roti bakar buatan dirinya. Hanya roti bakar dengan selai cokelat dan di beri sedikit madu, itu saja untuk menu sarapan pagi ini.
"Nusanya gak ada, tenggelam di mimpi. Jadi jangan ajak ngomong, pip." gumam Nusa yang sama sekali tidak berniat untuk menegakkan tubuhnya dan memakan sarapan dengan segera karena jam semakin berjalan. Ah sepertinya cewek itu benar-benar merasakan kantuk yang luar biasa. Jangan sampai ia tidur di kelas lagi dan berujung di UKS bersama El, oh tidak jangan sampai terjadi lagi!
Dengan cepat, karena mengingat hal itu Nusa langsung saja menegakkan tubuhnya, lalu menyambar roti bakar yang dibuatkan Rehan untuk dirinya. Sedangkan Rehan, jangan ditanya seberapa herannya dia dengan adik satu-satunya ini.
"Kamu kenapa? tiba-tiba jadi ingin makan,"
"Gak apa-apa Kak Rehan. Aku cuma gak mau aja kalau nanti masuk UKS ditemani sama kulkas, sangat canggung."
Kulkas?
Belum sempat bertanya lebih lanjut mengenai tingkah aneh Nusa, bel rumah mereka berbunyi. Rehan membiarkan supaya Nusa tetap tenang sarapan, sedangkan dirinya mulai bangkit dari duduk dan melangkah kaki menuju pintu utama rumah ini.
"Pagi, Han."
Rehan menaikkan sebelah alisnya kala melihat sosok El sudah berdiri dihadapannya dengan wajah datar, benar-benar datar seperti papan menggilas pakaian. Terlihat cowok itu tengah membawa sebuah kotak berwarna hitam yang dibungkus sangat cantik, tepat berada di kedua genggaman tangannya.
"Pagi Tuan Muda. Ngapain lo kesini? tumbenan banget mau sekolah tapi mampir dulu ke sini." ucap Rehan dengan nada heran.
El menaikkan sebelah alisnya, lalu menyodorkan kotak tersebut ke arah Rehan yang di terima baik oleh cowok itu.
"Tadi Uncle ke rumah, dia bilang gue gue dan nitip biar ke rumah lo karena lo di suruh nganterin ini." ucap El sambil menyibakkan rambutnya ke belakang, jambul itu menambahkan poin positif dari wajahnya yang sudah sangat menawan.
"Kenapa harus gue? kenapa gak lo? kan sekalian gitu,"
"Gue sekolah, stupid."
"Oh gue kira lo mulung, habisnya baju kusut banget kayak gak pernah di setrika. Lama-lama gue bilang nih sama Nyokap lo, udah di sediain baju cakep malah yang lusuh."
Rehan terkekeh puas saat melihat wajah kecut El. Ini adalah salah satu kegemaran yang dimilikinya, menjahili El dengan kata-kata. Untung saja El tidak masalah akan hal itu, dan menganggap semua ucapan Rehan hanya angin semata.
"Uncle minta jam 7 udah sampe di alamatnya." ucap El sambil menunjuk sebuah space lokasi yang di tempel di atas kotak tersebut, supaya bisa di cari dengan ponsel.
"Loh, terus adik gue gimana?" tanya Rehan sambil menaikkan sebelah alisnya. Tentu saja ia tak bisa membiarkan Nusa untuk jalan ke sekolah sendiri, ia adalah cowok yang paling over sedunia terhadap sang adik.
"Adik?" tanya El mengulang.
"KAK REHAN LAMA BANGET SIH, NANTI NUSA KEBURU KETIDURAN DI MEJA MAK-- Loh El?"
Nusa mengecilkan volume suaranya kala melihat sosok cowok yang beberapa hari ini menjadi pusat fokusnya, ia menggaruk pipi yang tidak gatal. Astaga apa-apaan tadi sifatnya seperti sedang berada di hutan rimba, teriak-teriak tidak jelas seperti itu.
Lain halnya dengan Nusa, El hanya menaikkan sedikit alisnya. Kenapa ia selalu bertemu dengan gadis ini di suatu waktu yang tidak disengaja?
Rehan yang melihat hal itu hanya mengulum senyum, lalu menepuk pelan pundak El. "Anterin adik gue ke sekolah ya, kan samaan tuh sekolahnya sama lo." ucapnya sambil tersenyum hangat. Ia membalikkan badan menatap Nusa yang kini tengah mematung menyaksikan ketampanan El pagi ini, astaga sangat menyejukkan hati.
Jangankan Nusa loh, mungkin para cewek-cewek kalau di suguhkan seorang cowok yang seperti El, pasti tidak akan di biarkan jauh dari pandangan saking sempurnanya.
"Kakak anterin pesanan dulu ya, kayaknya orang yang punya alamat ini pesan kue ulang tahun, jad--"
Belum sempat Rehan menyelesaikan ucapannya, Nusa sudah menarik tangan cowok itu untuk sedikit menjauhi El karena ingin berbicara empat mata.
"Kak, kok kakak kenal dia sih?" bisik Nusa dengan nada sepelan mungkin. Tapi sayang, ucapannya masih terdengar oleh El. Cowok itu hanya menghembuskan napasnya. Lagipula siapa yang ingin diberi amanah? Terlebih lagi amanah termasuk tanggung jawab yang mau tidak mau harus di lakukan. Ya hitung-hitung absen tidak datang ke ENCIKOPI pagi ini, ia masih kesal mengenai masalah kemarin saat dirinya bertemu dengan Priska disana.
"Ya emangnya kenapa? kan sudah Kakak jelaskan waktu itu, tidak ingat?" tanya Rehan balik berbisik. Ia tidak mengerti dengan Nusa yang tiba-tiba merasa gugup.
Nusa berdecak kecil, lalu menekuk senyumannya. "Ya gak apa sih, tapi kenapa gak bilang-bilang sama Nusa? Mana dekat banget sama El, pakai acara panggil Tuan Muda. Kenapa gak cerita sih ih nyebelin Kak Rehan!" ucapnya sambil mengerucutkan bibir.
"Kenapa juga harus bilang-bilang sama kamu, hm?"
"Ya Nusa kan gak ma--"
"Jadi sekolah gak?"
Nusa dan Rehan serentak menoleh ke arah El yang kini sudah menatap mereka dengan tatapan lebih dingin daripada sebelumnya, bertanya dengan singkat namun berhasil membuat Nusa terkesiap.
"Eh iya ini aku mau sekolah, dadah Kak Rehan, sampai jumpa love you." ucap Nusa dengan tergesa-gesa --takut di tegur El lagi karena kelamaan--, mencium singkat pipi kiri dan kanan milik Rehan. Ia segera berjalan ke arah El. "Ayo."
El tidak merespon ucapan Nusa, cowok itu langsung membalikkan badannya lalu berjalan keluar rumah tanpa mengucapkan satu kalimat sedikitpun untuk pamit dengan Rehan yang tengah mengulum senyuman geli ke arah mereka berdua.
Dengan cepat karena tidak ingin tertinggal, Nusa berlari kecil menyusul setiap langkah El yang terbilang sangat cepat. "Tungguin aku, Bara."
"Jangan panggil gue Bara."
Nusa menaikkan sebelah alisnya, masih bingung. "Loh, itu kan nama kamu? memangnya ada yang ngelarang ya manggil kamu Bara?"
El lagi-lagi tidak merespon ucapan Nusa. Ia langsung saja menaiki motor besarnya, lalu memakai helm berwarna merah hitam --kombinasi warna yang manly-- yang sangat serasi dengan warna motornya saat ini.
"Cepet naik atau gue tinggal."
Nusa dengan heboh langsung naik ke jok motor belakang milik El. "Udah siap." ucapnya sambil memegangi tali tas kepunyaan cowok dingin itu, ibarat sedang berpegangan.
"Hm."
El mulai melakukan motornya meninggalkan pekarangan rumah Nusa, ia melirik kaca spion miliknya yang menampilkan wajah lugu Nusa. Mulai berpikir karena tidak pernah ada cewek yang berani menduduki jok motornya selain Alvira. Bahkan ia pernah memaki Priska karena cewek itu dengan sangat tidak sopannya loncat ke atas motor besarnya dan langsung melingkari tangan pada pinggangnya. Terasa saat itu El benar-benar ingin memaki Priska habis-habisan karena selalu bertindak berlebihan.
Mungkin menyukai seseorang itu wajar. Tapi sudah tidak wajar lagi jika rasa suka itu terlalu di paksakan, menimbulkan rasa risih juga dari seseorang yang di suka.
Dug
Dug
El kembali melirik kaca spionnya, kini menampilkan wajah mengantuk Nusa yang sudah ingin tertidur saat ini juga. Kepala cewek itu sudah beradu berkali-kali dengan helm yang di pakainya saat ini.
"Ngerepotin doang bisanya." gumam El.
Cowok itu mulai mengambil tangan kiri Nusa dengan tangan kirinya, melingkarkan tangan mungil itu tepat di pinggangnya. Tidak membiarkan pelukan itu lepas sama sekali, ia takut Nusa terjatuh karena posisinya yang seperti ini dan berakhir dirinyalah yang di salahkan Rehan.
"Nusa, lo senderan aja deh di gue." ucapnya pada akhirnya. Entah Nusa mendengarnya atau tidak, tapi tubuh cewek itu kini sudah bersandar di punggungnya. Tepat pada lampu merah, ia berhenti lalu mengambil kedua tangan Nusa untuk memeluk tubuhnya dan di tahan dengan satu tangan yang tidak ia pakai berkendara.
Merepotkan. Satu kata untuk Nusa yang berhasil melekat pada pikirannya. Sedangkan cewek itu, kini sudah tersenyum kecil merasakan El yang ternyata tidak semenyeramkan yang ia bayangkan. Ia mulai memejamkan matanya. Perjalanan dari rumah ke sekolah memakan waktu setengah jam, jadi ia cukup untuk tidur dalam beberapa menit sebelum sampai di sekolah.
"Makasih ya Bara, kulkas berjalannya aku."
...
Next chapter