Chereads / Elbara : Melts The Coldest Heart / Chapter 21 - Ini Tanggung Jawab El

Chapter 21 - Ini Tanggung Jawab El

"Udah baikan?"

El membantu meminumkan segelas teh hangat untuk Alvira, menahan kepala belakangnya. Alvira ini pingsan sampai jam pelajaran terakhir dan sekarang sudah waktunya pulang. Dia memang seperti itu, sosok cewek yang terbilang lemah, maka El sangat menjaga ketat semua yang berhubungan dengannya.

Alvira tersenyum, menampilkan senyuman terbaiknya walaupun kepala masih terasa sedikit pening. "Baik lah, emang Alvira kenapa?" jawabnya dengan senyuman yang memperlihatkan deretan gigi yang putih dan rapih.

"Wah amnesia nih El, buruan deh bawa ke RS nih adik lo takutnya kenapa-kenapa kepalanya." ucap Mario sambil kelimpungan, ia mengecek suhu tubuh Alvira di kening menggunakan punggung tangannya. "TUHKAN PANAS, GUE BILANG JUGA APA!" sambungnya dengan pekikan.

"Yang sakit itu lo deh kayaknya, Yo." ucap Reza sambil mengusap wajah, Mario yang bertingkah tidak jelas tapi dirinya yang malu. Ya wajar saja, ia harus menjaga perilaku berhubung ada Alvira disini. Kalau tidak, sudah pasti ia akan menimpali Mario karena mereka berdua memang nyaris sebelas dua belas.

"Yeh bisa aja lo mentang-mentang ada doi alias sok kalem mlempem kayak kerupuk. ucap Mario sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia menaik turunkan alisnya, seolah-olah bertingkah sedang menggoda Reza. Sekarang ia tau kelemahan sahabatnya itu, sekali di senggol tentang Alvira pasti Reza langsung saja terdiam, sama seperti saat ini.

"Sialan lo, sok tau banget jadi orang belum pernah di ajak gelud." gumam Reza dengan sedikit ketus.

Alvira terkekeh melihat tingkah mereka berdua, ia bahkan tidak bosan dengan tingkah Mario dan Reza selama menjadi sahabat akrab yang dimiliki oleh El. Baginya, kedua cowok itu sangatlah humoris dalam berbagai situasi. Jadi, apapun kondisinya pasti bisa cair dengan kehadiran mereka.

"Kak Mario sama Kak Reza lucu banget deh." ucap Alvira dengan lembut, ia mengambil helaian rambut yang menghalangi pandangannya untuk di letakkan ke belakang telinga karena cukup mengganggu.

"Gue mah emang selalu lucu dari lahir, sampai gede aja gue nih masih lucu-lucu. Tapi kalau khusus Reza, lucunya sih amit-amit deh." ucap Mario sambil menyibakkan jambul kebanggaannya. Ia bahkan tidak segan-segan untuk bertingkah dengan tingkat percaya diri yang tinggi.

"Mulut lo minta gue semprot pakai minyak wangi Priska. Belom pernah kan lo ngerasain?" balas Reza sambil tersenyum kemenangan, tiba-tiba saja ia teringat dengan wangi parfum milik Priska yang sangat menyengat indra penciuman. Mungkin bagi Priska terasa wangi seperti bidadari kayangan, tapi menurut Mario dan dirinya terasa seperti wangi kembang kuburan. Maaf-maaf saja, tapi biasanya laki-laki selalu benar, iya kan?

"DIH NAJIS, BARU NYIUM AJA UDAH NGERUSAK PENCIUMAN GUE. PARFUM NENEK LAMPIR, EW."

Dengan heboh, Mario bergaya seperti orang yang mual-mual. Ia sangat tidak anti dari wangi parfum milik Priska. Entah apa merk parfum itu, tapi menurut Mario parfum apapun yang di pakai Priska tiba-tiba saja wanginya berubah menjadi tidak enak. Ya mungkin sudah bawaan ketidaksukaan dengan cewek yang satu itu.

"Berisik." ucap El dengan nada tenang. Untung saja bel pulang sudah berbunyi dari lima belas menit yang lalu jadi tingkah mereka berdua tidak akan di dengar banyak orang, dan juga tak mengganggu dengan kebisingan yang mereka ciptakan berdua --hanya Mario Reza yang heboh--.

"Eh iya, tadi gimana lo? Jadi ambil tasnya Nusa di Bian?" tanya Mario sambil menarik kursi yang di dudukinya supaya lebih mendekat dengan El.

El mengangguk singkat. Ia mengingat saat dirinya masuk ke dalam kelas Bian, dengan tidak permisi langsung saja mengambil tas milik Nusa yang berada tepat di atas meja cowok itu. Tanpa memperdulikan tatapan sinis yang di layangkan Bian, ia kembali keluar dari kelas yang di tempati cowok yang selama ini selalu menjadi puncak emosinya.

Alvira yang mendengar kata Bian dan Nusa pun menjadi tertarik ingin tau dengan apa yang sebenarnya terjadi, ia mungkin ketinggalan berita? "Kakak apain Kak Bian lagi?" tanyanya dengan wajah lugu.

Mario dan Reza serempak tutup mulut. Mereka tidak pernah ingin ikut campur mengenai urusan El dan Alvira.

"Gak." jawab El dengan singkat.

Berusaha menelusuri untuk masuk ke dalam manik mata sang kakak, ia memberikan tatapan penuh menyelidik. "Jujur Kak Bara, kakak apain Kak Bian lagi?" tanyanya seperti detektif yang tengah menginterogasi sosok di sampingnya.

"Gue tonjok doang." jawab El lagi, selain dengan singkat tapi kali ini di tambah dengan asal-asalan.

"Ih berapa kali, kak? Kakak udah buat masalah terus sama Bara cuma gara-gara aku loh." Alvira meringis kecil.

"Gak ngitung." balas El dengan sedikit enggan menimpali topik pembicaraan sang adik.

Alvira menghembuskan napasnya secara perlahan. Sudah berkali-kali ia katakan pada El, untuk apa yang terjadi dengan dirinya tidak perlu di selesaikan dengan luapan emosi yang sampai menyakiti fisik orang lain. Tapi sepertinya El sudah terbiasa melindungi dirinya dengan cara seperti ini, jadi sulit untuk di berikan masukan.

"Alvira harus bilang berapa kali lagi sih?" tanyanya dengan nada sebal, seperti ingin memukul dada bidang El untuk menghukum sang kakak, namun ia tahan.

"Gak tau." balas El.

"Minta maaf ya sama Kak Bian, mau?"

El berdecih tidak sudi. Jelas-jelas Bian yang salah karena dengan wajah tidak berdosanya melempar bola ke arah Alvira. Walaupun tidak sengaja, seharusnya sekarang cowok itu ada disini untuk meminta maaf atas kejadian tadi, tapi sayangnya tidak.

"Gak."

"Ih biarin aja nanti Kak El dosa loh masuk neraka, jangan sukar maaf-maafan dong sama orang."

"Oh gitu.."

Menyebalkan, bukan? El hanya menjawab segitu saja. Walaupun terkadang bisa menjadi sosok yang hangat, namun laki-laki satu itu bisa menjadi sangat teramat menyebalkan saat membalas dengan kalimat-kalimat yang padat, singkat, dan jelas.

Seberapa banyak Alvira membicarakan tentang hal ini, sebanyak itu juga El menentang keras. "Yaudah, yuk pulang aja, kalau kelamaan di sekolah keburu malam deh." ucapnya pada akhirnya.

El mengangguk. "Lo pulang sama Reza ya? nih gue bawa tas isi bom nanti lo kenapa-kenapa." ucapnya sambil mengecup kening Alvira dengan sayang. Tidak lupa juga ia mengelus puncak kepala adik kesayangannya itu.

"Loh mau kemana? terus itu tas siapa?" tanya Alvira.

"Nusa, tadi kan gue dah bilang."

Menaikkan sebelah alisnya, ia penasaran setengah mati. "Kak Nusa emang kenapa?" tanyanya dengan satu alis yang kembali terangkat.

Mario bangkit dari duduk lalu merenggangkan kedua tangannya ke udara. "Hoam, jelasinnya nanti aja deh ya Alvira ku sayang. Sekarang pulang yuk, gue udah laper nih mau makan di rumah lo." Dengan tidak tahu dirinya, ia berbicara seperti itu diiringi dengan senyuman konyol andalannya. Untung saja ganteng, kalau tidak lebih baik Mario di buang saja ke planet lain.

"Gak tau diri dasar lo, udah numpang rumah.. numpang makan juga." ucap Reza sambil menjitak pelan kepala Mario, memang tak tau malu sahabatnya itu.

Mario meringis, lalu menatap Reza seolah-olah merasa tersakiti. "Lah kalau gue gak tau diri, ini ngapain gue berdiri?" tanyanya dengan cengiran konyol.

Reza menganggukkan kepalanya dengan pasrah saja, tidak ada niatan untuk membalas ucapan Mario. Menurutnya, meladeni cowok itu tidak ada habisnya.

"Jagain adik gue." ucap El kepada Reza sambil menepuk pelan pundak sahabatnya. Ia melempar tas miliknya ke Mario, lalu memakai tas milik Nusa ke punggungnya. "Bawain tas gue pulang. Hati-hati ya, gue duluan." sambung El sambil bangkit dari duduknya dan berjalan keluar UKS dengan wajah datar. Ia mulai melangkah memasuki area parkir, menaiki motor besar kesayangannya sekalian memakai helm supaya aman dalam perjalanan.

Dalam pikirannya saat ini, kenapa cewek lugu seperti Nusa sangat lemah? Padahal terlihat dari luar cewek itu sangat ceria bahkan selalu penasaran pada apa yang menjadi daya tariknya. Tapi ternyata di dalamnya tidak semulus yang terlihat di luar. Ia juga cukup terkejut mengenai Nusa yang berstatus sebagai adiknya Rehan. Ya ini memang salahnya sih cuek dengan keadaan sekitar, bahkan ia tidak ingin tahu bagaimana latar belakang Rehan selama ini.

Ia memang dekat dengan Rehan cukup lama. Tapi baru hari ini ke rumah cowok itu, dan ya atas dasar permintaan sang Paham --mungkin kalau tidak, ia tak akan ke rumah cowok yang bekerja di kedai Paman-nya--. Pantas saja ia tidak pernah tau jika Rehan memiliki seorang adik.

Dengan cepat, ia melajukan motor meninggalkan sekolah. Entah apa yang ia pikirkan sampai-sampai rela menyetujui ucapan Nusa untuk mengantarkan tas yang berisi beberapa buku paket ini. Ah ia menjadi sangat kepikiran tentang keadaan cewek itu yang menjadi kabar keributan hari ini di sekolah, sungguh malang.

'Tau apa lo tentang Nusa yang disiram satu ember penuh air dingin ke badannya sama nih cewek? tau apa lo?! lain kali gak usah jadi cowok yang sok tau segalanya, lo ketinggalan banyak dari gue jadi jangan ngerasa paling berada di atas.'

Ucapan Bian memenuhi isi kepalanya, ia merasa pusing dengan semua kejadian ini. Dan sejak kapan juga kepalanya memikirkan hal seperti ini? ah menyebalkan, sejak hadirnya Nusa di kehidupannya, menjadikan segala hal tak stabil.

Priska, lagi-lagi tentang cewek menyebalkan itu. Mungkin ia akan memberikan sedikit peringatan kecil untuk cewek satu itu yang selalu kelewatan saat mem-bully, kalau perlu ia menegaskan supaya dia tidak melakukan hal tercela itu lagi. Karena seharusnya sifat semena-mena tidak boleh di budayakan, harus segera di basmi.

Ia memang tidak ingin terlihat seperti seorang pahlawan, tapi melihat korban Priska yang semakin hari semakin beragam jenis bully-annya membuat ia mau tidak mau harus turun tangan sebagai cucu dari pemilik SMA Adalard ini.

Menyalah gunakan kuasa? tidak. Justru ia memakainya untuk hal bermanfaat seperti menegur murid yang seharusnya tidak pantas sekolah di sekolah milik keluarganya.

"Ini tanggung jawab gue, iya kan?"

...

Next chapter