Chereads / Hasrat Genderuwo / Chapter 34 - Pergi ke Alas Blora

Chapter 34 - Pergi ke Alas Blora

Perjalanan dari Bungurasih ke Terminal Cepu memakan waktu kurang lebih lima jam. Aku melirik ke arah ponsel yang menunjukan jam dua siang. Ardi mengajakku turun di terminal cepu untuk beristirahat sejenak, sebelum melanjutkan ke Alas blora

"Capek ya?"

"Lumayan." Dengusku. Jujur sudah cukup lama aku tidak naik Bis. Sempat merasa mual, karena tergoncang oleh Bis yang melaju kencang. Mungkin Sudah menjadi kebiasaan supirnya yang mungkin kejar setoran.

Namun, di luar dari itu semua, aku merasa was-was, takut kalau orang suruhan Sugeng atau apapun itu mengintaiku. Ardi sepertinya mengerti dengan kekhawatiranku.

"Jangan khawatir, tidak ada tanda-tanda mereka datang ke sini." Ucapnya menenangkanku. Aku menoleh ke arahnya. Lagi-lagi, dia menampilkan senyum yang menentramkan hati meski bibirnya terlihat pucat karena berpuasa.

"Yuk, kita beli makan." Ajaknya.

"Tapi, kan kamu puasa."

"Udah, Ayo."

"Aku enggak enak sama kamu, Ardi. kamu 'kan puasa. Aku juga puasa deh."

"Sudah, santai saja, aku udah biasa puasa kok. Kalau Cuma godaan makan aku tidak tertarik."

Dia membawaku ke warung Mie ayam yang terletak di sudut terminal. Lalu memesan satu mangkok Mie ayam dengan sawi yang banyak dan es jeruk untukku. Ternyata, dia masih ingat makanan favoritku secara detail. Aku memang paling suka Mie Ayam dengan campuran sawi yang banyak. Entah kenapa, Sepertinya Ardi membawaku ke masa-masa nostalgia kami berdua.

"Kamu beneran enggak pa-pa?" tanyaku lagi ketika pesanan sudah datang. Sumpah aku beneran enggak enak sama dia. Makan di depan orang yang puasa adalah hal yang sangat intoleran. Tetapi, Ardi hanya tersenyum simpul, dari sorot matanya terpancar keteguhan imannya.

"Aku makan ya?" Aku kembali meminta izin. Lagipula cacing-cacing di perutku sudah sangat berisik, meminta makanan. Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung meraih sumpit untuk memakannya. Ardi sama sekali tidak tergoda. Dia justru memandangiku sembari senyum-senyum.

"Kenapa senyum-senyum?"

"Ternyata kamu tidak berubah dari dulu, Masih manis aja"

Aku tersedak dan terbatuk-batuk. Lalu, kuraih gelas berisi es jeruk, menegaknya tanpa sedotan. Ardi yang melihat kelakuanku tertawa terpingkal-pingkal.

"Ih, Ardi kok kamu ketawa sih? jahat banget." tukasku yang masih terbatuk-batuk.

"Hahaha, Maaf, lagian kamu lucu. Masa baru dibilang manis, udah salah tingkah kayak gitu." Dia masih tertawa geli sembari memegangi perutnya. Mulutku manyun sebal dengan tingkahnya.

Tiba-tiba, dia berhenti. Lalu memandangiku dengan sorot mata yang dalam. Aku yang menyadarinya pun gelagapan, terlebih ketika dia mengulurkan tangannya ke pipiku. Jantungku berdegup kencang. Wajahku bersemu merah. Perasaan ini kembali menarikku kepada masa ketika bersama dengan Ardi.

"Kamu gemukan ya?" tanyanya diluar ekpektasiku.

"Ih.. Ardi, apaan sih? aku kurus tau." Aku paling sensitif kalau ditanya hal seperti itu. susah payah aku mengatur pola makan supaya tubuhku tetap ideal dan cantik.

"Tuh kan ngambek lagi. Manisnya jadi hilang deh." ucapannya kini berhasil membuatku hampir tertawa. Tapi, aku lebih menahan ego. Aku masih membuang muka.

"Ya Sudah, kamu lanjutin makannya dulu ya. Aku mau pergi ke Musola sebentar. Kamu enggak usah khawatir, Tidak ada tanda-tanda anak buah Sugeng berada disini. Aman deh pokoknya." Ujarnya seraya berbalik arah. Tapi baru beberapa langkah, dia kembali menghadapku.

"Kamu mau ikut ke musola."

"E...e.... Maaf Di, aku lagi halangan. Baru saja tadi pagi. " Sahutku. Tadi habis bangun dari tidur, aku datang bulan. Untung, aku selalu bawa pembalut di tas selempangku. Jadi tidak perlu khawatir. Dia menganggung mafhum. Aku hanya menatap punggungnya yang tegap. Garis melengkung menghiasi wajahku.

"Andai waktu bisa kuputar..." ucapku lirih, lalu kembali melanjutkan makan. Hati ini tidak menampik kalau masih ada getar-getar aneh setiap kali dekat dengannya. Ardi, orang yang kucampakan begitu saja, ternyata kini mau membantuku secara tulus, membuatku semakin berdosa kepadanya.

***

"Kita kehilangan jejaknya bos!" kata seseorang dari telefon.

"Bodoh kamu! nangkap dua orang saja tidak becus!" Gertak Pak Sugeng yang sepertinya kehabisan kesabaran. Dia habis sampai ratusan juta untuk menyewa puluhan Preman untuk mencari keberadaaan Ardi dan Dina. Uang hasil menggadaikan sertifikat tanah dan tempat usaha Gym tanpa sepengetahuan istrinya. Namun hasilnya nihil.

"Tadi kita sudah menunggu sampai mereka check out dari hotel Pak Bos, tetapi sampai kelewat jamnya mereka tidak kunjung keluar. Kami curiga mereka keluar diam-diam ketika ada keributan di depan hotel tadi." kilah seseorang di seberang sana.

"Banyak alasan kamu, saya sudah bayar kalian mahal ya. Pokoknya saya enggak mau tahu, mereka harus ketemu sore ini juga." Seru Pak Sugeng yang tersungut-sungut. Dia tidak habis pikir kenapa Ardi dan Dina bisa lolos, padahal semua orang suruhannya sudah dia kerahkan untuk berjaga di area hotel, supaya lebih gampang menangkapnya. Pria Tua itu duduk di kursi sembari memijit kepalanya yang terasa pening.

"Sugeng."

"II..iya Tuan." Pak Sugeng tergeragap ketika mendapati Sosok tinggi besar itu berjalan ke arahnya. Pria tua itu berdiri dengan panik. Apalagi saat melihat mimik muka Anton yang begitu mengerikan seakan ingin memakannya hidup-hidup.

"Bagaimana? Apa mereka sudah berhasil di temukan?" tanyanya dengan suara datar. Tapi menurut Sugeng itu seperti sebuah intimidasi. Tubuhnya bergetar ketakutan.

"Belum Tuan, kata orang suruhan saya, mereka berhasil kabur dari hotel itu."

Seketika Anton mengeram. Seakan tubuhnya dialiri kekuatan yang hebat. Dia membanting semua perabotan yang ada di rumah itu membabi buta. Meja, kursi, gucci antik luluh lantak, tidak berbentuk. Sementara Sugeng yang ketakutan beringsut sampai punggungnya mengenai dinding, matanya terus tertuju kepada Manusia jadi-jadian itu yang sedang mengamuk.

"Ini semua pasti gara-gara bocah sialan itu! Dia melindunginya dengan kekuatan putihnya yang tidak seberapa itu. Bedebah!" rutuknya terus menerus.

Setelah puas menghancurkan barang-barang di ruang tamu. Dia berhenti. Punggungnya yang kokoh naik turun. Sejurus kemudian, Dia melirik tajam ke arah pria tua yang sedang bersandar di tembok ketakutan.

Dia mendekati pria tua itu. Tubuh Pak Sugeng seolah terkunci. Dia Pasrah saat manusia jadi-jadian dengan aura mistis yang kuat itu mendekatinya. Terlebih sepasang mata merahnya yang semakin menegaskan kesan mengerikan.

Tiba-tiba, tubuhnya terangkat. Lehernya seperti tercekik. Pak Sugeng memegangi tangan kekar Anton yang mencekik lehernya itu. kakinya yang pendek berusaha menendang-nendang Sugeng. Tapi itu percuma saja.

"Le...paskan saya Tuan." Pinta Pak Sugeng.

"Dengar ! Kamu harus temukan Dina secepatnya, atau nyawamu yang akan menjadi gantinya." Ancamnya membuat Pak Sugeng mengangguk cepat. Namun, Hal itu tidak membuatnya segera melepaskan cengkramannya, membuatnya harus menahan sakit lebih lama.

Tiba-tiba, angin berhembus masuk ke dalam rumah lawas itu. sebuah bayangan hitam mendekat ke arah Anton. Seperti membisikan sesuatu. Beberapa saat kemudian dia tersenyum. Secara refleks, melepaskan cengkramannya kepada Pak Sugeng sampai dia terjatuh di lantai sambil terbatuk-batuk.

"Hahaha, Sekarang aku tahu dimana kamu sekarang Dina?"

bersambung

Note:

Aduh, ternyata Anton sudah tahu keberadaan Dina dan Ardi. Gimana ya Nasib mereka?