Setelah mengantar Diah yang marah padanya, Rifan segera kembali ke kamar asrama dengan wajah dingin. Malam ini adalah malam yang kesekian kalinya dia melawan perentas itu tetapi dia memiliki keyakinan penuh bahwa bisa mengalahkannya hari ini. Dia sudah mengetahui susunan kode yang digunakan perentas itu dan memiliki rencana untuk menanganinya.
"Akhirnya lo kembali Fan," ujar Reynaldi yang tengah berbaring di ranjangnya sambil memainkan ponselnya.
Rifan melepaskan dasinya dan membuka kancing kemeja, ia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Ia sudah tidak tahan sejak tadi karena berkeringat saat pelajaran olahraga, tapi sayang sekali dia tidak bisa mengalahkan Diah.
Tak berselang lama, Rifan akhirnya keluar dengan selembar handuk yang menutupi bagian bawahnya. Ia berjalan menuju lemari untuk mengambil pakaian kemudian dengan santai menggantinya di depan temannya. Lagipula mereka sama-sama laki-laki jadi tidak perlu malu.
"Ckckckckckā¦. Tubuh lo emang kayak tusuk lidi ya," ejek Reynaldi saat melihat tubuh kurus Rifan. "Untung aja gue rajin olahraga." Ia mengangkat bajunya dan melihat perut kotak-kotaknya hasil nge-gym.
Rifan memberikan tatapan tajam ke arah Reynaldi dan dengan kesal melempar handuk di tangannya, dia suka sekali mengejeknya dan memamerkan perut kotak-kotaknya yang selalu membuat Rifan iri. Memang di antara mereka bertiga, Rifan adalah yang paling kurus.
"Sialan lo!" Reynaldi melemparkan handuk itu kembali ke arah Rifan.
Abi yang membaca buku tidak terusik oleh pertengkaran mereka, ia malah menikmati pemandangan itu dengan tenang. "Fan lo udah punya cara buat kalahin perentas itu?"
Rifan melemparkan handuknya ke dalam keranjang kotor. "Ya," ucapnya tegas.
Selama dia melakukan hal sesuai persis dengan perhitungannya maka dia yakin bisa mengalahkan perentas itu, karena dia sadar perentas itu selalu menggunakan pola yang sama saat menyerangnya walaupun sangat tidak ketara.
Dia hampir terkecoh olehnya.
"Sialan lo!" Reynaldi melempar kembali handuk itu ke arah Rifan.
"Sampai sekarang gue masih kagum sama otak lo, selain bisa mengingat segala hal dalam sekali lihat, lo juga dapat menemukan pola rumit di dalam kode program dan mencari pemecahan masalahnya." Abi menggelengkan kepalanya merasa kagum dengan kemampuan Rifan. "Lama-lama otak lo mirip kayak prossesor komputer."
Abi tidak tahu apakah ini adalah hal baik atau malah hal yang buruk bagi Rifan, kemampuannya yang bisa mengingat segala apapun dalam sekali lihat memang mengagumkan sekaligus menakutkan. Dia bisa memecahkan kode program yang sangat rumit dalam kurung waktu pendek tanpa bantuan orang lain.
Tapi ada hal yang dikhawatirkan oleh Abi, jika Rifan terlalu memaksakan kemampuannya, apakah di masa depan nanti akan menimbulkan efek samping yang berbahaya untuknya?
Rifan hanyalah manusia biasanya yang seharusnya memiliki rentang pendek untuk mengingat sesuatu karena otak manusianya yang terbatas berbeda dengan kinerja mesin komputer yang bekerja tanpa lelah. Tetapi bahkan suatu hari mesin komputer juga bisa rusak dan sangat sulit untuk memperbaikinya atau malah tidak bisa diperbaiki, dan itulah yang dikhawatirkan oleh Abi.
"Sekali-kali lo harus konsultasi ke psikolog," saran Abi. Kemampuan Rifan kemungkinan besar akan mempengaruhi mentalnya jadi dia perlu konsultasi dengan psikolog.
"Gue gak gila," sahut Rifan dengan cepat.
"Gue gak bilang lo gila, tapi lo terlalu maksain diri buat menggunakan kemampuan lo." Abi hanya bisa menghela nafas.
"Lagian psikolog dan psikiater itu beda, lo gak akan dikatai gila karena lo konsultasi ke psikolog." Abi ingin meluruskan pengertian psikolog dan psikiater yang sering salah kaprah karena mengira hal itu adalah sama, padahal sejatinya berbeda.
Psikolog dan Psikiater memang mendalami ilmu kejiwaan dan perkembangan manusia. Keduanya pun memiliki konsentrasi praktik yang hampir sama seperti penanganan, pencegahan, diagnosa dan terapi. Tetapi Psikiater boleh memberikan terapi berupa obat-obatan atau farmakoterapi. Sedangkan Psikolog lebih fokus ke aspek sosialnya, seperti memberikan konsultasi psikologis.
Rifan tidak memperdulikan saran Abi dan berjalan menuju mejanya kemudian menyalakan komputer.
Melihat Rifan mengacuhkannya Abi hanya memberikan peringatan terakhir. "Lo harus ingat ada harga yang harus dibayar jika melakukan sesuatu yang berlebihan." Setelah mengatakan itu dia berjalan menuju pintu untuk mencari udara segar dan tidak ingin mengganggu Rifan.
"Woy lo mau kemana?" Reynaldi tidak ingin tinggal di kamar asrama dengan Rifan yang akan mulai bertarung dengan perentas itu. "Gue ikut Bi." Lebih baik dia pergi bersama Abi.
Rifan yang tengah fokus dengan laptopnya tidak memperhatikan kepergian temannya, ia tengah asyik menulis serangkaian kode program yang akan dia gunakan untuk melawan perentas itu.
"I'm here."
Rifan melirik jam digital di sampingnya yang sudah menunjukan pukul sembilan malam, waktu biasanya perentas itu mengganggu Rifan.
"Lets play together!"
Rifan menyeringai melihat kemunculan perentas itu, ia telah menunggu-nunggu kehadirannya dan tidak sabar mengunakan rencana untuk mengalahkannya.
"Lets play!"
oOo
Waktu tak terasa terus berlalu dan ini sudah menunjukan waktu tengah malam, Rifan masih berkutat dengan serangan perentas itu dan jarinya menari di atas keyboard. Matanya tidak lepas dari layark komputer dan dengan seksama memperhatikan pola serangannya. Tebakannya benar bahwa perentas itu akan menggunakan pola serangan yang sama walaupun dia terus mengganti kode program.
Satu jam yang lalu Abi dan Reynaldi telah kembali tetapi saat mereka melihat Rifan masih bertarung dengan perentas itu mereka segera mengurungkan niat untuk istirahat di kamar asrama. Mereka tidak ingin mengganggu Rifan dan akhirnya pergi ke rumah Reynaldi untuk tidur. Untung saja Reynaldi memiliki kunci cadangan rumahnya sehingga mereka tidak harus menginap di luar sana karena tidak satupun dari mereka membawa uang, sebab dompet berada di kamar asrama.
Keringat mengucur deras dari dahinya dan membasahi wajahnya, matanya sudah memerah karena tidak lepas dari layar laptopnya. Tangannya juga mulai lelah karena sejak tadi terus bergerak untuk menghalang dan melawan serangan dari perentas itu. Walaupun kondisinya cukup buruk tetapi dia tidak berhenti, ia masih dengan sabar menunggu celah kecil yang bisa dia manfaatkan.
Menyadari kegigihan Rifan membuat perentas itu tidak mau kalah, dia mengeluarkan semua kemampuannya untuk mengalahkan Rifan dengan cepat. Tetapi sayang sekali dia membuat kesalahan kecil yang telah dilihat Rifan, dan dia terlambat menyadarinya.
Rifan menarik sudut bibirnya ke atas karena perentas itu melakukan kesalahan kecil, dia tidak akan melewatkan kesempatan ini dan segera memasukkkan virus yang sudah dia siapkan sejak tadi. Virus itu akan dengan kejam menghancurkan seluruh data di komputernya tanpa sisa dan mengirim alamat IP si perentas. Ini adalah pembalasan dari Rifan karena telah memprovokasinya selama ini.
Melihat tidak ada balasan dari perentas itu akhirnya Rifan bernafas lega, rencananya telah berhasil dan dia bisa merenggangkan tubuhnya yang telah lelah dan kaku karena berjam-jam melawan perentas itu.
"You lose!" Rifan mengirimkan pesan kepada perentas.
Ada sedikit jeda kemudian Rifan menerima balasan dari perentas itu, ia mengakui kekalahannya dan kagum pada Rifan karena telah menemukan kesalahan kecilnya dalam waktu yang singkat. Dia menawarkan undangan agar bertemu dengan Rifan disebuah restoran yang tidak jauh dari kotanya.
Rifan mengerutkan dahinya karena perentas itu ingin bertemu denganya, sebenarnya hatinya sangat gatal untuk mengetahui siapa perentas itu sehingga dia tidak menolak undangannya.
"Ruang VVIP no 5, Restoran Angelis."
oOo
Hari ini Rifan tidak berangkat ke sekolah karena ada janji dengan perentas itu. Ia mengenakan pakaian kasual dengan hoddie hitam dan celana jeans biru yang membungkus kaki jejangnya. Pakaiannya yang sederhana membuatnya dipandang remeh oleh pelayan restoran dan hampir saja di usir, sebab Restoran Angelis adalah restoran bintang lima yang dikunjungi oleh orang kaya.
Tapi saat Rifan mengatakan ruangan tempat janjian, membuat pelayan sangat terkejut dan langsung memperlakukannya dengan sopan. Dia dibimbing menuju lantai 3 karena sebagian besar ruangan VVIP terbaik berada di lantai tersebut.
Rifan duduk dikursi dan memainkan ponselnya sambil menunggu perentas itu datang. Tidak ada ekspresi khawatir atau takut pada wajah Rifan tapi malah ada antisipasi yang terpancar dari matanya. Dia benar-benar tidak sabar mengetahui siapa perentas itu.
"Maaf telah membuatmu menunggu."
Rifan mendongakkan kepalanya dan melihat orang yang baru datang mengenakan pakaian serba merah, ia melihat ditangannya memegang kipas lipat dengan warna senada yang sangat cocok dengan penampilannya. Saat dia menyipitkan matanya untuk melihat wajah asli dari perentas itu yang tersembunyi di bawah topi merahnya membuat Rifan sangat terkejut.
Karena dia pernah bertemu dengannya!
"Kau adalah-"
-TBC-