Bukan capt echi ya.
"Gak mudah?" Ujar Jane dengan suara yang sedikit takut.
Tiga orang dihadapanku kini saling melihat satu sama lain, melemparkan tatapan seolah bertanya ada apa sebenarnya. Memang, mulai hari ini semua hari hariku, dan hari hari mereka yang masuk dalam lingkaran hidupku akan berubah.
Siapapun yang berhubungan denganku benar benar harus aku lindungi. Pasalnya, hidupku tidak berada dijalur yang sepantasnya, yang otomatis membuat orang orang yang berada dekat denganku akan mendapatkan akibatnya.
"Gue udah bilang, kalo kalian mau deket sama gue, harus pikirin konsekuensinya." Ujarku dengan nada datar.
"Gue udah pikirin itu Sa. Jadi gue gak akan mundur!" Ucap Jane yang sudah memasang raut wajah serius.
"Lan, lo bakal balik ke bandung kan?" Tatapanku kini beralih pada Wulan yang masih bersikap tenang.
Wulan mengangguk seraya menjawab pertanyaanku, aku tersenyum simpul, dan kembali beralih menatap Jane. " Jen, kali ini yang datang bakal lebih parah." Ucapku yang kini sedang saling menatap dengan Jane.
"Apapun itu, gak ada yang mustahil buat ditaklukin kalo gue yakin bisa." Balas Jane menunjukkan Smirknya yang Khas.
"Rencana lo? Kak?" Ujar Rehan.
Aku menarik nafas panjang, rencana yang sudah kususun rapih tidak boleh berantakan. Satu minggu baru awal, kita tunggu minggu berikutnya, mereka pasti akan menunjukkan, siapa 'mereka' sebenarnya.
"Jen, Lu jaga disini, bawa alat yang udah pernah gue kasih. Jangan izinin siapapun buat masuk ke dalem Cafe, sekalipun dia 'rekan' kerja baru gue." Jelasku yang dibalas anggukkan oleh Jane.
"Lan, berhubung lo mau balik ke Bandung." Sambil menatapnya, aku mencoba untuk melanjutkan ucapanku. "Lo Jagain Cabang gue yang Di Bandung. Disana lo bakal ketemu sepupu gue, Kak Sinta sama Mas Agung. Jangan lupa lo lakuin hal yang sama kayak yang gue bilang ke Jane." Ucapku melanjutkan penjelasannya.
"Gue ngerti." Balas Jane dan Wulan secara bersamaan.
Dua orang dihadapanku, mereka termasuk orang yang aku percaya sejak Sekolah Menengah Pertama. Kami sudah mengetahui latar belakang satu sama lain, walau aku tahu tetap ada yang namanya 'privasi' dalam persahabatan kami betiga.
"Kalian juga jangan lupa kejadian tahun lalu." Ucapku sekali lagi, seraya mengingatkan tragedi tidak mengenakan.
Flashback.
Satu minggu ini, aku sedang disibukkan dengan pekerjaanku. Pasalnya aku harus membantu para 'polisi' untuk mengungkap sebuah kasus 'pembunuhan'. Ternyata ini tidaklah semudah yang aku kira, apalagi aku harus 'menutupi' identitasku sebagai seorang pelajar.
Ini semua tak luput karena paksaan dari Kakak Sepupuku. Kak Agung. Dia memaksaku untuk ikut menyelidiki kasus pembun*han beserta mutil*si ini.
"Sandra, Mas percaya kamu pasti bisa bantuin kami, soalnya kamu itu cerdik Sandra, jadi tolong, bantu kami, ya?" Ucapannya yang masih terngiang ngiang dikepalaku.
Alhasil, karena bantuanku kasus ini sudah berjalan sampai 80 persen. 20 Persennya adalah menemukan kunci dari langkah yang masih tergembok, yaitu pelakunya. Dan karena kemajuan ini juga, 'dia' meneror rumah dan usahaku selama penyidikan berlangsung.
"Satu minggu kedepan, gue titip Cafe ini kekalian, ya?" Ucapku memohon pada Jane dan Wulan.
"Nih, kalo ada apa apa pake ini, jangan lupa hubungin gue langsung." Lanjutku memberikan peralatan yang kubeli secara mendadak.
"Gilasih! Listrik setrum!!" Seru Jane kegirangan.
Eh tunggu, Listrik setrum dia bilang?
"Lo ngomong apa tadi, Jen?" Tanyaku sambil menyengritkan dahi.
"Listrik setrum" Jawabnya dengan wajah polos tak berdosa dan senyum indah diwajahnya.
'HAHAHAHAHAH'
Tawaku dan Wulan lepas sekita, Listrik itu salah satu kegunaannya memang untuk menyetrum. Pasalnya yang dia pegang sekarang itu adalah.
"Itu L I P S T I K SETRUM. Bukan L I S T R I K SETRUM!" Dengan wajah jengkelnya, Wulan memperbaiki perkataan Jane.
"OIYA SALAH HAHAHAHAH!" Tawa Jane mulai terdengar keseluruh sudut jalanan ini.
Aku dan Wulan hanya bisa meratapi nasib kelolaan Jane. Sekarang hanya dia yang sedang tertawa keras, dibantu kami yang tertawa pasrah.
Tak lupa aku menaruh beberapa alat perekam, dan kamera kamera kecil, siapa tahu Tersangka pembun*han itu datang kesini untuk menerorku, dengan tujuan agar penyidikkannya dihentikan.
Mas Agung yang bernotabe sebagai Polisi saja masih meminta bantuanku untuk menyelidiki kasus ini. Lantas bagaimana denganku? Pada siapa aku harus minta bantuan?
"Kalo kita liat dari luka gores yang ada beberapa bagian tubuh korban, kayaknya pelaku itu kidal." Ucap Letnan C sambil memperhatikan ulang foto foto itu.
"Terus tambahan nih Pak, dilokasi penemuan k*ki dan k*pala korban yang dig*ntung, ada kursi yang tingginya sekitar 50 Centimeter, kemungkinan digunakan pelaku untuk mengg*ntung kedua bagi*n tub*h korban." Sambungku.
"Berarti buat sampai keatas sana biar bisa mengik*tnya, Pelaku butuh 175-180 Centimeter lagi." Lanjut Mas Agung menambahkan.
"Nah, berarti pelaku punya tinggi sekitar 175-180, Tapi kemungkinan besar tingginya adalah 175 cm, karena dia juga pasti kebantu sama tangannya." Timpalku lagi memberi teori.
"Tali ini belum disentuh orang lain kan? selain Letnan C yang motong?" Tanya Polisi A.
"Iya, hari itu saya yang potong, tapi pake sarung tangan." Jawabnya seraya menunjukkan sarung tangan yang ia gunakan dalam foto.
"Bagus, sekarang kita amankan talinya, setidaknya dalam tali itu ada sidik jari pelaku." Ucapku sambil memperhatikan Petugas yang keluar dari ruangan.
"Sambil mencari bukti lain, kira kira dimana Pelaku menyebunyikan bagian p*rut sampai kemal*an korban?" Ujar Letnan C yang membuat kami semua diam sejenak.
"Bagian itu, sepertinya memang disembunyikan secara khusus." Balas Mas Agung.
"Dimana pelaku berada, maka..." Kata kataku terpotong saat melihat ada seseorang yang sedang menulis menggunakan tangan kiri.
Namun tingginya tidak sampai 175 cm, dan dia seorang perempuan. "Ada apa? Nak?" Tanya Polisi A padaku seraya mengikuti rah pandangku.
"Kidal." Ujar Kak Farrah, rekan kerja mas Agung.
"Tapi....dari beberapa saksi yang berbicara, terakhir korban terlihat bersama seorang lelaki. Dan terlebih lagi, dari kesaksian warga, korban sebelumnya pernah melakukan hubungan sex. Tapu kita tidak tahu hal itu memang kemauannya atau bukan." Ucap Letnan C sambil menerawang foto foto itu.
"Masalah itu, cuma Talinya yang bisa jawab. Sekarang kita ambil aja dulu talinya, gimana?" Ucapku memberi saran, sambil memijat mijat keningku.
Semua orang menyetujui saranku, Aku kak Farrah, dan mas Agung pergi ketempat penyimpanan barang bukti yang bersebelahan dengan tempat dimana kami berbicara. Aku mulai mencari keberadaan tali itu, yang 'mengingatkan' ku kepada kep*la yang tergantung dengan mata yang terbuka lebar.
"Talinya ga ada." Ujarku masih mencari cari keberadaan tali itu.
"Gimana bisa? kita kan naro disini waktu itu!" Ucap mas Agung saat yakin bahwa tali itu tidak ada ditempatnya.
"Satu kemungkinan, ada yang mindahin, atau, pelakunya udah tau kalau kita mau periksa tali itu." Dengan satu tangan yang mengepal, kak Farrah melihat kearah pintu ruangan ini.
"Dibuka paksa" Ucapku saat menyadari bahwa knock pintunya sudah rusak.
Seingatku, yang memegang kuncinya adalah mas Agung. Namun aku baru ingat, saat datang kemari mas Agung belum memasukan kunci apapun. "Kuncinya masih disaku gue" Sambil menepuk sakunya, yang mengeluarkan bunyi khas kunci yang beradu.
"Ruang CCTV Sekarang!" Titah Kak Farrah."Kalian berdua kesana duluan, Saya mau kasih tau Senior dulu!" Lanjut kak Farrah dengan langkah cepat.
Aku dan mas Agung berlari kearah ruang CCTV yang berada dilantai 2, menghiraukan orang yang memarahi kami karena telah menabrak mereka lalu pergi saja tanpa meminta maaf. Aku katakan Maaf sekarang. Karena hal ini lebih berbahaya dan menyangkut nyawa orang yang masih tersisa.
"Sial!" Umpat mas Agung sambil melemparkan pukulan ketembok disebelahnya.
"Diretas dan dirusak." Ucapku menatap naas kearah layar yang berada dihadapanku.
Jika hanya diretas, aku masih bisa mengembalikannya walau tidak 100%, namun jika sudah dirusak seperti ini, jangankan membetulkan, melihatnya saja aku sudah menyerah.
"Gimana?!" Seru Letnan C ketika tiba diruang CCTV.
Aku membalasnya dengan gelengan kecil, yang membuat mereka melakukan hal yang sama seperti yang mas Agung lakukan. Baru kali ini, terjadi kriminal dalam gedung pemberantas kejahatan.
'Tunggu dulu' Pikirku.
"Kantor polisi tidak mungkin sembarangan mempersilahkan orang asing masuk, bukan?" Tanyaku sambil menautkan kedua alisku.
Orang orang yang kini berada dihadapanku saling menoleh satu sama lain, seolah memilki pemikiran yang sama sepertiku.
"Itu artinya...pelaku..." Ucap Polisi B menggantung.
"Adalah orang dalam." Lanjut kak Farrah.
"Sandra, cari tahu siapa orang terakhir yang berbicara dengab korban."
Entah mengapa, Letnan C membisikkan perkataan itu, dan aku yakin, hanya akulah yang bisa mendegar apa yang beliau katakan.
Apakah mungkin? Jika pekalu benar benar orang dalam? Seharusnya, ketika pelaku itu mengikuti tes kepolisian, dia sudah teridentifikasi memiliki jiwa Psikopat.
*****
Aku mengendarai motor dengan kecepatan, yah, bisa kalian katakan diatas rata rata. Tidak berbekal Sim, masih pelajar pula, masih bernyali untuk kebut kebutan dijalan. Bukan karena aku sedang balapan, setelah mendapat telfon dari Jane, bahwa ada sesuatu yang terjadi di Cafe, membuatku langsung tancap gas dari rumah menuju Cafe.
"Ada apa?!" Tanyaku begitu sampai.
Jane hanya membalasku dengan tatapan sendu bercampur ngeri. Aku mengikuti arah mata Karyawanku, yang sedang melihat sebuah kardus, yang baru kusadari kardus itu mengeluarkan bau 'Anyir' yang menyengat.
"Apa ini?" Ucapku sambil mendekati dan memberanikan diri membuka kardus itu.
"Astagfirullah!" Semua orang berteriak ketika, melihat apa yang berada dalam kardus ini.
"Siapa yang tega mutil*si Kucingnya astaga!" Ucapan histeris itu keluar dari mulut karyawan dan karyawatiku.
Benar, siapa yang tega? Hanya manusia berhati iblislah yang bisa melakukan hal sekeji ini!
"Kalian pulang sekarang. Nanti besok datang lagi Jam 1." Ujarku sambil sedikit menoleh kearah karyawanku yabg berada dibelakangku.
"Siapa yang datang kesini?" Tanyaku pada dua sahabatku ini.
"Banyak Sa, bahkan gak ada yang mencurigakan sama sekali." Jawab Jane.
"Kalo gitu, kalian inget siapa yang datang sebelum kardus ini ditemukan?" Tanyaku dengan nada yang lebih serius.
"Tadi pas Jane telfon lo dia masih ada meja itu." Tunjuk Wulan kearah kursi yang kutaruh agak jauh dari Cafeku.
Aku berjalan kearah meja itu, dan aku menemukan secarik kertas diatasnya. Diluar kertas itu ada kata yang betuliskan 'To Cassa', yang artinya, itu memang untukku.
Aku membuka isi kertasnya, dan hanya tersenyum tipis ketika tahu apa isi kertasnya.
"Don't playing with me.." Gumanku setelah membaca tulisan dikertas ini.
~~~~~~~~