"Mungkin engga." Jawabku sambil menyeruput minuman yang ada dihadapanku.
"Syukur deh kalo gitu" Dengan tangan mengusap dada, Jane belum tahu siapa sebenarnya yang akan dia hadapi.
"Tau mafia?" Tanyaku."Bisa aja yang datang mayat orang." Lanjutku yang membuat tiga orang dihadapanku diam tak berkutik.
"Awas aja kalo beneran gue bawa balik Cafe lo, Cas." Ucap Wulan.
"Ngomongin balik, kayaknya pembicaraan kita cukup sampe disini, kalian boleh pergi kalo mau." Sambil menaikkan kedua alisku, Wulan mengambil tasnya dan mulai berdiri.
"Gue juga sekalian pamit, mau ke Bandung malem ini."
Setelah kami melakukan salam perpisahan, Wulan naik keatas motor ojol yang dia pesan. Rehan masuk kedalam dengan dalih 'mau godain cewe'. Kini Jane menatapku dengan wajah kesal, kenapa? tentu aku juga tidak tahu.
"Kenapa Jen?" Tanyaku seraya menautkan kedua alisku.
"Lo yakin, percayain Cafe yang diBandung ke Wulan?" Jawabnya seraya memajukkan kepalanya.
Aku mengangguk sambil memasukkan satu Dimsum kedalam mulutku. "Emang kenapa?" Kini Jane hanya terdiam, aku yakin, ada sesuatu yang dia sembunyikan.
"Sa, gue tau Wulan sahabat kita, tapi lo harus inget dia kann-" Aku menutup mulutnya dengan memasukkan satu dimsum kedalamnya.
"Berdamailah dengan masalalu, maafkan masalalu. Karena kalo gak ada kata 'dulu' kita gak akan sampe ke masa 'sekarang', Jen." Ucapku seraya memotong perkataannya.
"Terserah lo deh Sa, keras kepala banget." Setelah mengumpatiku dia mengambil sushi yang tadi dia pesan.
Masa lalu. Adalah hal yang memiliki dua sisi, yaitu sisi yang baik dan tidak. Ada hal yang membuatku senang, ada juga yang membuatku sedih. Tapi, di masalalu kita juga bisa membuat orang lain merasakan sakit, entah itu secara fisik, atau batin.
Yang pasti, Maafkanlah masalalumu, dan meminta maaflah pada masalalu, karena yang terjadi dulu, adalah pelajaran untuk hari ini, esok, atau nanti.
Mungkin tidak banyak orang yang bisa melakukan hal itu. Akan tetapi, setidaknya mereka bisa melupakannya, walau tidak bersedia untuk berdamai.
"Kak, pulang yuk, udah sore nih." Sambil menunjukkan angka yang ada dilengannya, Rehan menarik tanganku.
"Yaudah, tutup aja sekalian Cafenya, satu minggu ini jadwal buka sampe jam 5 sore." Ucapku yang di'horekan' para pekerja disini.
"Kak Ello, lo yang bawa balik kemarkas ya, sekalian cek apa aja bahan makanan yang udah abis." Setelah mengatakannya aku, Rehan, dan Jane bersiap untuk pulang.
"Serahin aja ke gue Kak Bos!" Balasnya yang kujawab dengan satu ibu jari.
Banyak hal yang harus ku mulai lagi, dari segimanapun, semuanya harus mulai diperbaiki. Apa yang bisa diubah, harus dilakukan dari sekarang, apa yang tidak bisa diubah, bukan mustahil, hanya belum waktunya saja.
Kehidupan itu hanya punya satu tujuan, yaitu Kematian. Namun, cara kita menjemputnya yang berbeda. Aku tahu, setiap orang memiliki kisah hidup yang berbeda, walau dalam bidang yang sama.
******
Aku menatap Gedung bertingkat dua dihadapanku, berniat untuk 'mengecek' ulang dekorasi disini. Alat demi alat sudah berhasil aku dapatkan, mungkin sedikit aman, yah sedikit.
"Sedang apa kalian?" Suara Bariton khas Europa kini menyapa telingaku dengan sopan.
Aku dan Rehan saling melempar tatapan, berusaha mencari alasan untuk hal sedang kami perbuat. "Mengecek ulang dekor, Tuan." Ucapku sambil tersenyum.
Untunglah, ini camera terakhir yang harus aku ambil. Ruangan sebesar 5x4 tempatku berdiri ini adalah ruangan Direktur, bisa dikatakan, orang ini adalah pemiliknya.
Sama sama memakai masker, aku tidak tahu bagaimana raut wajah lawan bicaraku. "Ah tuan, sepertinya kami sudah selesai. Jadi kami keluar lebih dulu, terimakasih."
Yang terakhir aku ingat adalah tatapan tajamnya, entah salah apa aku pada orang itu, sampai sampai dia menatapku dengan tatapan bab seorang pembunuh.
"Kak, lo pernah bikin salah ya sama dia?" Tanya Rehan saat kami berada diperjalanan.
"Engga, mungkin pernah ketemu aja, tapi lupa dimana." Jawabku yang berusaha santai.
Aku memang berfikir, apakah aku memiliki kesalahan atau apa, sampai sampai dia menatapku seperti seorang pencuri.
"Cemilan aman?" Tanyaku kepada Rehan yang sedang asyik memainkan ponselnya.
"Tu" Rehan menunjuk wadah besar dibelakang laptopku, yang isinya adalah snack dan beberapa kue.
"Kak, liat vidionya sekarang" Kini Rehan sudah memposisikan kepalanya dikakiku, katanya ini adalah posisi ternyaman.
Manja, katakanlah seperti itu. Walau sekarang usianya menginjak 15 tahun, sebagai laki laki Rehan harus sudah dewasa, seharusnya. Namun, karena diantara kami berdua memiliki 'trauma', aku sebagai Kakak harus menghilangkan 'trauma' itu, dan sedikit demi sedikit menyembuhkan 'trauma' yang Adikku milikki.
"Sstttt, kalau kamu mau rencana kita berhasil, harus nurut dong"
Satu ucapan lolos terekam didalam cameraku. Sambil menunggu sebuah visual muncul, kini aku dan Rehan berlomba lomba menempati posisi didepan layar.
'Shit!'
Aku segera menutup mata Rehan, membalikkan Layar laptop kearah lain. Bagaimana bisa mereka melakukan hal 'itu' disiang bolong, sungguh kali ini aku menyesal membantu client.
"Nanti jangan lupa, kamu ubah angka angkanya ya, Baby."
Setelah adegan panas tadi, seorang lelaki kembali bersuara. Aku membalikkan kembali Laptopku ke posisi semula, melihat dua sejoli pintar yang kini sedang merapikan pakaian mereka.
"Tuan Anjas, kamu juga jangan lupa loh kirim TFnya. Gimanapun saya manager disini, dan kamu Atasan Saya."
Anjas. Satu nama yang keluar dari mulut perempuan itu, diatas Manager masih ada atasan? Mungkin bisa dikatakan direktur keuangan disini.
"Kamu jangan lupa posisi saya, Bella. Saya punya cukup wewenang disini."
Lagi, aku sangat kesal dengan yang namanya 'wewenang' setelah berada diatas, malah menindas yang dibawah.
"Kak udah ah! Gedeg gue! Langsung edit kirim langsung ke yang punya perusahaan!" Sambil menekan tombol Pause, Rehan bangun dari Posisinya.
"Iya iya, sekarang tidur aja Han, biar sisanya gue yang urus."
Memang masih terbilang sore, maksudnya belum terlalu malam. Jam dikamarku saja masih menunjukkan pukul 20.43.
Akan tetapi kembali lagi pada Trauma yang kukatakan tadi. Rehan tidak bisa tidur terlalu malam, jika sudah lewat jam setengah sepuluh masih belum tidur, masalahnya akan sangat fatal.
Dibalik itu aku juga harus kembali ke Ruko itu untuk latihan, entah latihan yang seperti apa, namun aku harus tetap bersiap, menjalani hari esok yang lebih panjang.
******
"AYAH! AYAH BUNDA MASIH ADA DI SANA!"
"SANDRA PERGI! KELUAR DARI SINI, TINGGALIN AUNTY SAMA BUNDA!"
"Cassa sayang, Bunda percaya kamu bisa nak"
"Aunty titip Rehan ya Sandra, kamu harus jadi anak yang kuat dan hebat!"
"AYAH JAHAT! AYAH TINGGALIN BUNDA CUMA KARENA WANITA INI!"
"KENAPA?! KENAPA HARUS SANDRA YAH? KENAPA!"
"Astagfirullah" Ucapku dengan kedua mata yang secara tiba tiba terbuka.
Aku memegang keningku, sambil terus menarik dan membuang nafas secara teratur. Lagi lagi mimpi yang sama, mimpi buruk yang memang pernah terjadi dalam hidupku.
"Eh? tumben Ayah nelfon" Ujarku saat melihat riwayat panggilan tak terjawab diponselku.
Aku memutuskan untuk mendiamkannya saja, mungkin Ayah hanya secara tidak sengaja menelfonku, yah tidak sengaja.
Hari minggu lagi, dan besok aku harus kembali kesekolah. Sedikit lagi, aku akan menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu dunia perkuliahan.
Sebelumnya aku sudah memutuskan akan masuk univ terfav se-Indonesia, yaitu Universitas Indonesia, atau yang dikenal dengan singkatan UI.
Namun, aku pindah haluan, dan sudah menempatkan diri UNJ, salah satu Univ terbaik di Indonesia. Dengan jurusan International Communication yang sudah mantap aku pilih, berbekal beasiswa dari beberapa prestasiku, insyaallah aku yakin bisa berbaur dengan lingkungan baru nanti.
"Kak, udah bangun? Sholat subuh dulu." Hampir saja jantungku copot, pasalnya Artku dengan tanpa rasa dosa hanya menunjukkan kepalanya saja dibalik pintu, dengan rambut panjang yang terurai bagaimana bisa orang tidak terkejut.
"Udah udah, iya nanti Sandra turun sekalian mandi. Oh iya, nanti titip rumah lagi, Sandra bakal keluar, pulangnya malem lagi." Ucapku yang hanya dibalas dengan dua ibu jari.
Hari ini, entah pelatihan seperti apa, namun sepertinya ini bukan hal yang mudah dilakukan. Aku sudah siap dengan satu set pakaian, celana Joger Jeans yang bawahnya menggunakan karet berwarna hitam, hoodie berwarna merah maroon yang panjangnya sampai bagian bawah perutku, beserta kerudung dan sepatu yang menyelaraskan warna hoodie dan celanaku.
*****
"Minggu kemarin kita semua sudah belajar Memanah, dan membidik dengan baik." Ucap Daniel sambil berjalan kesana dan kesini.
"Sekarang, adalah latihan kecepatan, ketangkasan, dan kewaspadaan. Latihan ini kalian mulai dari jam Delapan pagi, sampai jam Sebelas pagi. Dan kembali lagi jam Satu siang." Kini Lexci yang menjelaskan.
Waktu masih menunjukkan angka 07.15 A.m, yang artinya masih ada setengah jam lebih untuk pemanasan atau melakukan kegiatan yang lain.
"Cassa"
Aku menoleh kearah suara itu, kudapati Yohan sedang berdiri tegak dibelakangku. Dengan style casualnya itu semakin membuat siapa saja yang merasa wanita pasti akan tertarik padanya.
"Yes, sir?" Ujarku yang sedikit mendongkak untuk menatapnya.
"For you Litte girls." Dia memberikan roti dan susu padaku, lengkap dengan beberapa snack yang berada dalam plastik.
"Aku tidak bisa menolak jika itu makanan. Aku terima ini, Terimakasih Pa--"
"Panggil aku Paman saja, Pak terlalu baku." Ujarnya memotong ucapanku begitu saja.
"Baiklah paman, terimakasih untuk ini ya!" Senyumku mengembang, ternyata ada juga yang bersedia memberiku makanan.
"Dikasih siapa Cas?" Tanya Alexi yang entah darimana datangnya.
"Paman Yohan, Mel." Jawabku sambik sedikit tersenyum.
"Mmmm gue tau ni, ada yang lagi pdkt hahahah" Ucapnya sambil menyenggol bahuku.
"Paling juga sisa, lagian gausah ngarep bakal ada yang naksir ke kalian."
"Iri bilang dong kakak senior!" Oceh Alexi yang menanggapi ucapan Emelly.
Aku menyenggolnya dan mengeleng sedikit tanda biarkan saja dia. Dari awal bertemu, entah mengapa Emelly seperti tidak menyukai kami, ah tidak, sepertinya tidak menyukaiku.
"Kita salah apa sih sama dia Cas?" Dengan raut wajah kesal, Alexi terus menatap punggu Emelly dari jauh.
"Gausah dipikirin Mel, biarin aja, nanti juga malu sendiri." Ucapku sambil menepuk punggung bagian belakang Alexi.
Aku memang tidak terlalu peduli dengan perlakuan seseorang padaku, asalkan aku tidak melakukan hal yang sama, percayalah itu tidak akan bertahan lama. Segalanya bisa berupah, kapanpun dan dimanapun.
"Oiya Cas, Bagas naksir sahabat lo kayaknya."
Aku hanya diam tak berkutik ketika Alexi mengucapkan kata 'Sahabat', sahabat yang mana? Dan mereka tahu darimana bahwa aku memiliki sahabat?. Hanya satu kemungkinan, mereka datang ke Cafeku, dan itu adalah kemungkinan besar.
~~~~~~~