Chereads / Love In The Action World / Chapter 25 - Twenty-Six. Friday

Chapter 25 - Twenty-Six. Friday

"Hai, udah nunggu lama?" Ucapku saat sudah sampai dikursi tempat Rafael duduk.

"Sekitar 15 menit, Cas." Dengan senyum manisnya, Rafael dengan kemeja kotak kotak berwarna biru, celana jeans hitam, dan kaos dalam yang juga berwarna hitam bangkit dari duduknya.

"Yuk." Ujarnya seraya menyodorkan helm padaku.

"Kita mau kemana? Bukannya kita janjian disini?" Tanyaku sambil mengambil helmku yang ada ditangannya, iya helmku.

"Janjian aja kan, bukan berarti kita cuma ngobrol disini. Udah ayo, nanti keburu panas Cas."

Aku hanya bisa diam saat Rafael menarik tanganku, pasalnya ini ia lalukan secara sengaja, bukan tanpa sengaja seperti yang ia lakukan ketika kami latihan.

Kini aku menatap kakinya, untuk apa? Hari senin lalu bukankah aku bilang? Ada seorang Pria yang beperawakan seperti Rafael sedang menodongkan Pistol kearah Yohan. Dan Rio menembak kakinya. Jadi, jika itu memang Rafael, harusnya dia sekarang terpincang pincang.

"El, kaki lo gapapa?"

Aku berhenti sejenak, membuat Rafael yang daritadi menarik tanganku berbalik dan beralih menatapku.

"Emangnya kaki gue kenapa?" Bukannya menjawab, dia malah bertanya balik padaku.

"Ah, itu, kan-kan pas pelatihan kaki lo kena bentur berkali kali" Untungnya, aku masih memiliki jawaban lain selain orang yang kakinya kena tembak tempo hari.

"Syukur deh kalo gapapa."

Setelah menjawabnya, Rafael menarik tanganku kembali, setelah sebelumnya dia tersenyum simpul padaku. Dan syukurlah, orang itu hanya kebetulan mirip dengan Rafael, dan artinya, memang bukan Rafael.

Sekarang kami berhenti didepan motor N-Max, dan Yam*ha S, yang bisa kutebak salah satunya adalah motor miliknya. Untunglah bukan motor ninja atau sebagainya, jadi aku tidak perlu ribet naik ke jok motor yang tinggi. Melihat helmnya yang FullFace, tentu saja aku mengira dia akan membawaku menaiki motor bab para pembalap kalangan atas itu.

"Pake helmya, jangan ngelamun aja!"

Diam lagi. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Siapa yang tidak akan diam termangu, ketika lawan jenis kalian menarik dan mencubit hidup kalian dengan senyum indah miliknya?

"Diem lagi kan. Yaudah sini, gue pasangin."

"Ah gausah El, gue bisa sendiri."

"Nanggung Sa"

Aku hanya bisa mengalihkan pandanganku kearah lain, kalian harus ingat, kita ini bukan muhrim, dan itu tidak baik. Tapi kalo pake sarung tangan gapapa.

"Udah yu, naik sini."

Aku hanya mengangguk kecil, dan mengikuti perintahnya untuk duduk di jok belakang. Aku mengambil jarak sedikit agar posisi kami tidak terlalu berdekatan, itu gaboleh, ngundang syahwat. Yah begitu kata Bibiku.

"Kita mau kemana sih El?" Tanyaku sedikit berteriak setelah berada sekitar 20 menit diatas motor.

"Nanti juga kamu tau Saa." Jawabnya yang juga ikut berteriak.

Eh, sejak kapan Rafael menggunakkan embel embel 'kamu' dan memanggilku dengan sebutan Sa? Aish biarlah, lagi pula kita teman, tidak ada salahnya.

Tapi...darimana Rafael tahu?

Ah biarlah, selagi itu tidak menggangguk, seharusnya tidak masalah bukan? Kebiasaanku ketika dibonceng adalah...melihat kekanan dan kekiri, apalagi pandanganku tidak pernag lepas jika sudah melewati para pedangang kaki lima. Namun sepertinya, bukan itu tujuan Rafael.

Sudah sekitar 45 menit, yah kurang lebih segitu. Entah ketempat apa Rafael akan membawaku, namun sepertinya tujuan Rafael masih jauh dari kata, 'sedikit lagi sampai'.

"Eh, kenapa El?" Tanyaku saat menyadari Rafael tiba tiba berhenti.

"Udah sampe Sa" Jawabnya yang kini beralih membuka helm yang aku kenakan. Aku mengangguk kecil, kulihat dia berhenti didepan Warung Nasi Padang, Salah satu tempat makan terfavoritku.

"Ini rumah makan Bibi aku."

Aku hanya membalas ucapannya dengan wajah terkejut, dia...bukan orang luar negeri yang menetap di Indonesia? Tapi dia orang padang? Ohhh ayolahh, wajahnya tidak pantas untuk menjadi orang lokal.

"Lo asal padang, El?" Tanyaku yang masih duduk diatas motor.

"Ya bisa dibilang gitu sih, Nenek aku emang turunan padang, jadi dia sempet tinggal disana sampe umurnya 20 tahun."

"Tapi Kakek aku bukan asal Padang, dia turunan Australia. Terus sekarang aku juga ada turunan darah Belanda, tapi kami memilih tinggal di Indonesia." Lanjutnya menjelaskan.

Pantas saja, Rafael seorang blasteran, karena wajahnya sangat tidak memadai jika dia memang asli turunan padang.

"Yuk masuk"

Aku mengangguk kecil dan mulai mengikuti langkah Rafael dari belakang. Untung saja styleku tidak seperti biasa, alias aku memakai kemeja berkerah berwarna Putih yang dipadukan dengan sedikit warna biru, dan bagian bawahnya diberi karet serut agar tidak terbang kemana kemana.

*******

"Gue dijalan, tunggu aja."

Aku segera menyalakan mesin motorku, setelah diantar oleh Rafael kembali keCafe, Kak Sinta menelfonku dan menyuruhku untuk segera datang kedaerah monas.

Belum sempat aku pulang kerumah untuk berganti baju atau sebagainya. Untungnya, aku membawa kaos berwarna putih polos dan jaket jeans berwarna denim. Dari Jalan Hang Tuah Raya ke monas memerlukan waktu sekitar 20 menit, itupun jika jalanan lancar dan tidak ada hambatan sama sekali.

Namun sayangnya, jalanan sedikit padat sore ini, mungkin aku memerlukan waktu 30 menit untuk sampai ketujuan, yaitu Monumen Nasional.

"Gue lagi dijalan, agak padat!" Ujarku sedikit berteriak.

Bukan tanpa alasan, itu karena Kak Sinta menelfonku, dan langsung terhubung ke jam tanganku, yang terdengar diearphoneku. Canggih? Katakanlah seperti itu. Namun, jika membeli barang elektronik, jangan tergiur harga yang murah, karena bagiku, kualitas adalah yang terpenting. Tetapi jika harganya lebih murah dan kualitasnya sama, kenapa tidak?

"Lo dimana?" Tanyaku, lewat telfon seraya melihat kekanan dan kekiri.

"Arah selatan Sa."

Aku segera membalikkan tubuhku kearah Selatan seperti yang dikatakan oleh kak Jane. Dan kulihat dari jarak 100 meter, ada seorang wanita yang sedang melambai lambaikan tangannya. Maklumi, mataku ini tidak sehat, alias minus.

Aku mematikan sambungan telfonnya, dan sedikit berlari kearah Kak Sinta. Kulihat dia sudah berdiri dengan sebuah pistol ditangannya, dan aku tahu pistol apa itu.

Glock-17. Adalah Pistol buatan Negara Austria, Pistol ini adalah pistol semi otomatis yang dibuat oleh pabrik Senjata Glock GmbH. Pistol Glock ini memiliki peluru sebesar 9x19 mm parabellum, dan memiliki kecepatan sekitar 375 meter/sekon. Pistol ini dibuat sekitar tahun 1979-1982, dan mulai diproduksi secara masal dari tahun 1982 sampai saat ini.

"Lo...ada job baru kak?" Tanyaku sedikit berbisik.

Kak Sinta mengangguk kecil, sambil mengeluarkan sedikit suara 'Iya'. Aku mengikuti langkahnya, sedikit mengendap endap, seolah kami ingin menangkap seekor tikus kecil yang liar.

Kini aku melihat ada tiga orang dibalik pepohonan dan gedung monas ini. Kulihat mereka sedang melakukan barter, antara uang dan bungkusan kecil yang diisi dengan butiran berwarna putih sedikit keabuan.

"Kokain." Ujarku nyaris tak terdengar.

Kak Sinta menoleh kearahku dengan kepala yang bergerak keatas dan bawah secara perlahan, yang artinya, dia membenarkan ucapanku.

Kokain. Merupan salah satu jenis Narkotika, kokain sendiri adalah senyawa sintetis yang berasal dari tumbuhan yang berasal dari Amerika Selatan. Alkaloid yang terdapat dari tumbuhan Koka Erythroxylon dapat memicu metbolisme sel menjadi sangat cepat.

Yang kutahu, narkotika jenis ini jual dari harga 4-5 juta pergramnya. Uang sebanyak itu, lebih baik didonasikan daripada dibelikan barang haram yang jelas–jelas sangat menyesatkan.

"Mau kemana, mas?"

Kak Sinta sudah menghalangi mereka, tidak, ia tidak menodongkan pistolnya begitu saja, pistol itu, digunakan jika dalam keadaan yang berbahaya, tidak boleh sembarangan menggunaknnya. Bukan karena kita sudah dapat ijin, jadi malah seenaknya.

"Eitsss, ga ada jalan lagi loh.." Ujarku yang kini sudah berada dibelakang mereka.

"Ngomong–ngomong itu apa? kok ga bagi bagi aish." Hanya basa basi, agar kami bisa lebih mudah menangkap mereka.

"Bagilah! jangan pelit gitu" Kataku melanjutkan ucapan Kak Sinta, yang sedikit diayunkan.

Kini aku berada tepat dibelakang si pengedar, ada satu borgol dilenganku, yang akan aku pasangkan dipergelangan tangan pria dihadapanku. Kak Sinta terus mengalihkan fokus mereka, mengajak mereka berbicara, seolah kami juga seorang pencandu narkoba sama seperti mereka.

'Tek'

Aku memperlihatkan ibu jariku pada Kak Sinta setelah berhasil memasangkan borgol dikedua tangan pengedar Kokain ini. Jika ada cara yang halus, untuk apa menggunakan cara kasar? Itulah Prinsipku, yang ikut menular ke Kak Sinta, Mas Agung, juga Rehan.

Aku sedikit mencondongkan kepalaku untuk melihat apakah Kak Sinta sudah berhasil memasangkan borgol ditangan sang pembeli atau belum. Aku tersenyum simpul ketika melihat tangan mereka berdua terborgol dengan rapih.

"Nah, sekarang ikut kami ke kantor polisi, ya."

Wajah mereka sedikit terkejut, dan berusaha untuk melarikan diri, namun sayangnya, ini bukan hari keberuntungan mereka bertiga. Aku dan kak Sinta sudah berhasil memborgol mereka dan mengikat kaki tiga orang ini secara bersamaan.

Alhasil, ketika ingin berlari, bukannya pergi menjauh, mereka malah jatuh tersungkur ketanah. Malang sekali.

"Udah ikut aja, kalo kalian nurut, gak akan ada lecet kok." Dengan smirk khasnya, Kak Sinta membantu mereka bangun, kemudian datang tiga polisi yang memang sudah ditugaskan untuk datang kemari karena panggilanku beberapa menit lalu.

"Terimakasih Nona Cassa dan Sinta, kalian memang berhak mendapatkan kepercayaan dari kami." Ujar salah satunya, yang kuketahui bernotabe sebagai kapten tim.

"Sama sama, Pak. Lagipula, sesama manusiakan harus tolong menolong." Balasku dengan senyum ramah.

"Kami pamit ya Pak, see you next time."

Setelah Kak Sinta mengatakan hal itu, kami berdua pergi meninggalkan TKP. Dengan berbekal bukti rekaman vidio dari kamera yang berada dikacamataku, dan barang haram itu sendiri, pengedar dan pembeli bisa dihukum, dengan pasal 115 dan pasal 127.

Bagaimanapun juga, yang salah tetap salah, dan harus diberikan hukuman yang sesuai. Apalagi Narkoba banyak merugikan dan membahayakan orang lain, jadi siapapun yang mengedarkan atau memakainya, harus dikenakan sangsi yang setimpal.

Untungnya hari ini sekolahku libur, jadi tentu saja aku bisa menghabiskan banyak waktu untuk mencari, atau memberi ilmu pada orang lain.

"Semoga, sedikit demi sedikit orang orang jahat didunia ini segera berkurang." Ujar Kak Sinta yang sedang berjalan dihadapanku.

"Jaman sekarang, halal dan haram itu beda tipis, kak." Balasku yang kini menatap langit sore yang indah.

"Yah, namanya juga semoga."

Dengan senyum tipisnya, dia membalas ucapanku, dan aku hanya menanggapinya dengan kekehan kecil.

~~~~~~~~