Chereads / Naara: Blind Sword / Chapter 26 - Ch.25: Misi Berhasil, Masalah Baru Datang

Chapter 26 - Ch.25: Misi Berhasil, Masalah Baru Datang

Selalu ada alasan dari sebuah kejahatan, tidak jarang penyebabnya adalah ketidakadilan, keterpaksaan, penderitaan, penghianatan.

Kebanyakan orang hanya ingin menghukum tanpa pernah ingin tahu, melihat ataupun mendengar alasan dibaliknya padahal sering kali mereka, para pelaku kejahatan adalah orang-orang yang membutuhkan uluran tangan bukan pukulan.

Capung-capung terbang ke sana ke mari di bawah langit senja yang mulai tergusur oleh kegelapan.

Di tengah sebuah oase yang telah kacau balau akibat perkelahian dua orang lelaki, seorang gadis bersurai kuning duduk bersimpuh memandang lekat-lekat wajah pria berambut merah yang sedang berada di pangkuannya.

Tangannya menggenggam erat tangan kiri pria itu. Samar-samar sinar putih terpendar di antara genggaman tangan tersebut.

Kedua mata biru miliknya masih memandang fokus pada kulit hitam nan bersisik yang perlahan menghilang dari wajah pria itu. Bahkan, semua luka yang diperoleh si rambut merah dalam pertarungan pun berangsur hilang.

Sementara itu, dia, Naara, jiwanya sedang berjalan dalam kegelapan hampa yang begitu kelam. Ia terus berjalan dan secara tak sadar membenamkan diri dalam kegelapan yang semakin jauh.

"Guru!"

Panggilan akrab yang ia dapatkan baru-baru ini menghentikan langkahnya. Ia terdiam menoleh ke kiri dan ke kanan mencoba menentukan dari mana asal suara itu. Sepuluh detik berselang namun suara tersebut tidak terdengar lagi. Sejenak ia menunduk, meskipun tipis namun kekecewaan terlihat di air mukanya. Ia hendak berjalan kembali namun tangan seseorang tiba-tiba menggenggam tangannya dan menariknya kembali.

"Guru, kau baik-baik saja?"

Itu adalah kalimat pertama yang ia dengar sesaat setelah membuka matanya.

"Kau ...?" Ia bangun sambil memegangi kepalanya yang terasa agak berat. Kilas balik langsung muncul dalam ingatannya, walau tidak begitu jelas namun tak beberapa lama setelah ia mengalahkan Seno ia hilang kesadaran tapi sebelum kesadarannya hilang sempurna ia bisa merasakan seseorang menahan dan memeluk tubuhnya yang akan tumbang.

"Guru, kau–" Ucapan Niin terpotong saat Naara gegas berdiri, membuat Niin juga ikut berdiri.

"Kenapa kau bisa kemari? Di mana Binggo?" tanya Naara sesaat setelah berdiri.

Niin mengatakan kalau dia mengikuti aura qiwer Naara.

Mendengar pengakuan tersebut, Naara bertanya-tanya dalam hati sebenarnya bagaimana Niin bisa merasakan aura qiwer-nya dari jarak yang begitu jauh, ia teringat kembali moment dengan Aceblue, waktu itu Niin bisa merasakan aura Levi dan kawan-kawan beberapa saat sebelum kedatangan mereka.

Apakah kemampuan tersebut adalah salah satu kemampuan Bangsa Ardhy?

Sambil berpikir tentang kemampuan Niin, ia mendengarkan gadis itu bercerita tentang Binggo yang harus membawa Nacima dan Jeki yang sedang kritis juga tentang warga yang diefakuasi ke ruang bawah tanah.

"Begitu," ucapnya setelah cerita Niin selesai. Sinar biru berpendar di kedua tangannya, sedetik kemudian dua pedang telah berada dalam genggamannya. Saat itulah ia menyadari bahwa luka di tangan kirinya sudah tidak ada bahkan yang ada di seluruh tubuhnya juga.

"Ini ...." Ia menoleh pada Niin. "Apa kau yang melakukannya?"

"A-apa?" Niin berekspresi bingung, tidak mengerti yang ditanyakan Naara itu tentang apa.

"Luka." Naara menengadahkan dan membuka kepalan tangan kirinya yang memegang pedang. Saat itulah Niin baru mengerti.

"A-itu, yah." Niim tersenyum simpul.

Setelah mendengarkan jawaban tersebut, Naara menyarungkan pedangnya, merapikan jubah yang  sudah mengalami robekan sana-sini lantas berpaling dan mulai melangkah pergi. Jika saja dia adalah orang lain, setelah ditolong seperti itu dia akan mengucapkan terima kasih tapi lupakan, kata 'terima kasih' itu tidak ada dalam KBBN (Kamus Besar Bahasa Naara) Niin yang ingin mengikuti terserang pusing hingga membuat pandangannya berputar dan pendengarannya mendengung, hal itu membuatnya ingin jatuh namun tanpa diduga Naara dengan sigap menahannya.

Ia bangkit dan sesaat wajahnya jadi merah ketika ia menengadah dan mendapati wajah Naara sangat dekat dengannya.

"Ayo pergi," datar Naara kembali berjalan setelah Niin menegakkan diri tapi ia berhenti saat menyadari Niin tidak beranjak dari tempatnya.

Rasa pusing masih menyerang Niin sampai ia merasa akan jatuh jika melangkah, sebelum menyembuhkan luka Naara, ia sudah tahu hal itu akan ia terima sebagai konsekuensi dari penggunaan darahnya.

"Ayo naik!"

Ia terkejut dengan Naara yang entah kapan dan bagaimana tiba-tiba berjongkok di depannya.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Ia terbengong.

Diam-diam Naara menghela napas berat saat Niin tidak kunjung bergerak. "Cepat!" titahnya bernada agak kesal.

Walau ragu-ragu Niin pada akhirnya menuruti pria itu, ia melingkarkan tangannya dan ia pun berada pada gendongan pria itu. Wajahnya lagi-lagi memerah saat wajahnya berada begitu dekat dengan pipi Naara.

"Jangan salah paham, aku melakukan ini untuk Naarabo," ucap Naara, membuat mata Niin agak melebar lalu sedetik kemudian menyipit sendu.

Naara, entah yang ia katakan itu memang alasan sebenarnya atau alasan palsu yang ia gunakan untuk menutupi alasan sebenarnya bahwa dia merasa berhutang budi atau bahkan ... ia peduli tapi sekali lagi lupakan saja alasan yang terakhir karena jika itu benar ia tidak akan pernah mau mengatakan itu, gengsinya yang sampai ke anus adalah satu dari banyak faktor yang mencegah hal tersebut.

Niin, ia yang masih merasa pusing pelan-pelan menyenderkan kepalanya di pundak Naara. Pundak itu terasa sangat kokoh, bersender padanya ia merasa tidak akan pernah jatuh. Mendadak ia terbayang sebuah moment indah di masa lalu, ia yang masih kecil berada di gendongan ayahnya sama seperti ia sekarang berada di gendonngan Naara.

Waktu itu, ia dan ayahnya bergantian melempar senyuman bahkan mereka tertawa begitu lepas, kehangatan itu, kebahagiaan itu, ia sangat merindukannya tapi semuanya sudah hancur, sebesar apapun kerinduannya itu tidak akan pernah bisa tercurahkan, semua hanya bisa ia tumpuk sampai ketika ia tidak bisa menahannya lagi maka yang bisa ia lakukan hanyalah menangis, seperti saat ini secara diam-diam air matanya mengalir.

"Ayah ...." Kata itu terucap begitu saja dengan nada yang sangat lirih namun telinga Naara bisa mendengarnya.

Naara sempat menoleh sebentar, raut wajahnya seperti ingin bertanya 'ada apa?' atau 'kau kenapa' namun karena penulis telah menakdirkannya menjadi manusia berwatak cuek dengan tingkat kekepoan tentang apapun 0,01% tapi statistik kekepoannya itu bisa sangat melonjak jika dipertemukan pada hal-hal yang berkaitan dengan Jenderal Thougha.

Lumayan lama ia berjalan menyusuri padang pasir, kegelapan mulai mendominasi langit, temperatur udara di sekitarnya pun mulI menurun.

"Naara!!!"

Langkahnya terhenti saat mendengar panggilan seseorang, suara tersebut berasal dari arah kanannya. Meski pun tidak bisa melihat tapi ia tahu siapa yang datang melalui suara dan aura yang dipancarkan oleh orang tersebut.

Tepat, itu adalah Reen.

"Huh." Naara berekspresi sinis sementara Reen yang sedang berlari mendekat menampilkan ekspresi terkejut yang tipis saat melihat Niin berada di gendongan Naara.

"Syukurlah kau baik-baik saja, lalu ...." Reen berucap sesaat setelah tiba di dekat Naara lantas menatap pada Niin yang terlelap di pundak Naara.

Bukannya memberi penjelasan, Naara melanjutkan langkahnya dan bersikap seolah-olah Reen itu tidak ada tapi ia berhenti saat ....

"Tuan Naara!! Reen!!!"

"Oh, Binggo." Reen menengadah dan melihat Binggo sedang menuju ke arah mereka.

"Akhirnya ketemu juga, eh, Niin ...?" Binggo baru mendarat tapi sesaat kemudian berwajah tegang saat melihat air muka Naara kepadanya.

Reen menysdari ketakutan Binggo meski ia tidak mengerti alasannya. Jujur saja keberadaan Niin di tempat tersebut adalah pertanyaan besar untuknya namun pertanyaan itu akan ia simpan untuk nanti.

"Binggo, bagaimana semua warga, apa kalian sudah mengefakuasi mereka semua?"

Binggo menetralkan ekspresinya dan menceritakan secara singkat tentang seluruh warga yang sudah dibawa ke ruang bawah tanah, juga tentang Jeki dan Nacima yang sempat kritis namun sudah membaik setelah ditangani Naena. Binggo menambahkan bahwa seluruh anggota GM sudah ada di ruang bawah tanah dan sekarang sedang menunggu mereka bertiga.

*

Naena yang ditemani Putri Rani menunggu dengan gusar di depan pintu masuk ruang bawah tanah. Ia benar-benar cemas saat Yyug dan Binggo mengatakan kalau Niin pergi sendiri untuk mencari Naara. Karena terlalu fokus melakukan pengobatan ia sampai tidak sadar saat Binggo dan Niin pergi untuk mencari Naara sebelumnya.

"Kenapa Binggo belum datang?" Ia bertanya-tanya dengan hati was-was, sementara Putri Rani hanya bisa memegang pundak Naena dan memberikan tatapan yang seolah berkata 'jangan khawatir' lalu tak lama kemudian yang ditunggu-tunggu pun datang.

Dengan kompak mereka berdua segera berlari menyambut Binggo yang membawa Niin, Naara dan Reen di punggungnya.

"Niin, ada apa dengan Niin?" Naena bertanya cemas.

Naara tidak menjawab sedangkan Reen hanya bisa menggeleng pelan saat Naena menatapnya.

Karena tidak mendapat jawaban, Naena menepuk-nepuk pipi Niin yang terlihat sangat nyaman bersandar pada dada Naara.

"Niin, Niin, Niin."

Suara lembut yang terdengar samar pada awalnya mulai menjadi jelas. Perlahan-lahan Niin membuka matanya dan melihat wajah cantik nan anggun milik Naena.

"Na-Naena, mha?" Ia berekspresi bingung namun segera menjadi kaget saat mendapati dirinya bersandar pada Naara, saking kagetnya ia hampir jatuh beruntung Naena segera menahannya.

"Niin, kau tidak apa-apa." Naena terlihat khawatir. Untuk beberapa detik Niin menatap Naena sangat dalam, hatinya tersentuh oleh kepedulian yang Naena berikan. Sejak kedua orang tuanya meninggal lalu ia ditahan oleh Jenderal Thougha, sudah tidak pernah lagi ada orang yang memedulikannya, seterluka apapun ia dan sesakit apapun ia, tidak ada yang peduli.

Sambil tersenyum tulus ia mengangguk dan berkata ia baik-baik saja kepada Naena.

Sementara itu Naara dan Reen turun dari Binggo lalu Binggo kembali ke wujud normalnya.

Setelah mendapat jawaban dari Niin, Naena beralih menanyakan keadaan Naara dan Reen.

Naara tidak menjawab dan berekspresi tak acuh.

"Reen, kau terluka." Naena menghampiri Reen, melihat luka pria itu dan hendak memberi pengobatan namun tangannya ditahan oleh Reen.

Sambil tersenyum, Reen berkata, "Jangan khawatir, ini tidak terlalu serius. Kau pasti juga sudah kelelahan setelah mengobati warga."

"Reen ...."

"Tenang saja, aku tidak apa-apa." Kali ini Reen memegang puncuk kepala Naena dengan lembut dan tentu saja hal tersebut membuat Naena memerah.

"Bagaimana teman-teman yang lain?" tanya Reen telah mengganti topik sesaat kemudian.

"Mereka semua baik-baik saja tapi masih butuh istirahat," jelas Naena.

"Oh, syukurlah kalau begitu."

"Atas nama ayah dan juga seluruh warga Ledena, aku mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian dan maaf karena menolong kami kalian jadi terluka seperti ini, sekali lagi terima kasih," ucap Rani membungkuk sopan.

"Rani, apa yang kaukatakan? Kau tidak perlu seperti itu. Ini adalah risiko yang harus kami ambil di setiap misi," jelas Naena.

"Tapi ...."

"Yang dikatakan Naena itu benar. Setelah ini kaulah yang harus melindungi Aladian. Sekarang angkat kepalamu dan berdirilah layaknya seorang putri," Reen memotong ucapan Rani.

A-ahk."

"Reen!" Dengan cepat Naena menopang tubuh Reen yang hampir jatuh.

"Sepertinya kau juga butuh penanganan," ucap Rani kemudian berjalan membimbing Reen dan yang lain memasuki ruang bawah tanah.

Setelah berjalan beberapa lama, mereka akhirnya tiba di sebuah ruangan di mana orang-orang sedang terbaring di atas ranjang yang berjejer dengan infus di tangan.

"Reen!"

Reen menengok ke arah pria berkacamata yang saat ini sedang berjalan ke arahnya.

"Oh. Yyug, bagaimana keadaanmu?"

"Hm, aku baik," jawab Yyug saat telah berdiri di depan Reen.

"Lalu Nacima dan Jeki?"

"Mereka di sana." Yyug menunjuk ke arah Nacima dan Jeki yang terbaring di atas ranjang sebelah kiri. "Kurasa sebentar lagi mereka akan sadar," ucapnya menambahkan.

"Oh begitu yah. Lalu ... bagaimana anggota Aceblack yang kalian hadapi?"

"Yah, semuanya berjalan sesuai yang diharapkan."

Mendengar itu Reen menghela napas lega.

"Panglima Ca?"

Perhatian mereka teralih pada sosok panglima muda yang baru datang.

"Panglima Ca? Kenapa kau kemari?" tanya Rani mendekati.

"Maafkan aku Tuan Putri." Panglima Ca membungkuk hormat lalu berkata, "Aku membawa berita dari penjaga perbatasan."

"Berita? Berita apa?"

"Siap! Penjaga perbatasan di timur mengabarkan bahwa mereka melihat sekitar dua ratus pasukan anoa bersenjata lengkap sedang menuju kemari," jelas Panglima Ca yang membuat kaget setiap orang yang mendengarnya.

Putri Rani benar-benar tidak bisa menutupi rasa kagetnya.

"Ka-kalau begitu kerahkan pasukan untuk menghadang mereka di perbatasan! Jangan biarkan mereka memasuki Aladian!"

"Maaf jika aku harus mengatakan ini, tapi dalam kondisi kita sekarang, sulit untuk mencegah mereka. Kita kekurangan pasukan setelah penyerangan Aceblack," jelas Panglima Ca yang membuat Rani terdiam seribu bahasa.

Reen kembali menghela napas. "Sepertinya tidak ada waktu untuk istirahat," ucapnya.

*

Suasana haru tampak menyelimuti wajah setiap orang yang saat ini berkumpul di dekat lubang yang merupakan pintu dari sebuah ruang bawah tanah.

Beberapa anak nampak merengek pada Niin, Binggo dan Naena, meminta mereka untuk tidak pergi namun rengekan mereka berhenti saat Rani berhasil meyakinkan anak-anak tersebut bahwa suatu hari mereka pasti akan bertemu lagi.

Meski pertemuan mereka terbilang singkat namun mereka telah menjadi sangat akrab.

"Nah. Kalian, berjanjilah untuk selalu menjadi anak baik, makan yang banyak dan tumbuhlah dengan sehat," ucap Naena yang mengangkat jari kelingkingnya.

"Um. Kami janji!" ucap anak-anak serentak sambil berlarian memeluk Naena, Niin dan Binggo.

Sementara itu, Reen nampak menyodorkan sebuah perkamen pada Rani. "Aku harap Aladian mau bekerja sama."

Dengan cepat Rani membuka perkamen dan membaca setiap huruf yang tertera di sana.

"Aladian mungkin tidak bisa memberi pasukan bantuan jika seandainya perang untuk mewujudkan revolusi perdamaian terjadi, tapi kami akan menjamin kebutuhan sandang dan pangan para pejuang," ucap Rani sambil memberi stempel kerajaan Aladian pada perkamen tersebut lalu menyerahkannya kembali pada Reen.

"Terima kasih untuk kerja samanya. Em ... kalau begitu kami pamit." Reen membungkuk hormat lalu disusul oleh teman-temannya yang lain. Tentu saja pengecualian untuk Naara. Dia enggan untuk membungkuk.

"Em, berhati-hatilah. Maaf karena kami terlalu banyak merepotkan dan menyulitkan kalian," ujar Rani.

"Ah, sudahlah jangan dipikirkan. Kami pergi dulu. Sampai jumpa ...."

"Dah Rani sayang .... jadilah ratu yang cantik!" ucap Jeki memberikan ciuman jauh lalu melambaikan tangannya.

Gagak Merah telah berpaling untuk pergi meninggalkan negeri padang pasir. Ucapan selamat tinggal dan lambaian tangan penduduk mengiringi langkah kaki mereka.

Senja kini benar-benar telah berganti malam, Reen dan kawan-kawan masih terus melangkahkan kaki mereka dengan sinar bulan sebagai penunjuk jalan.

Ekpresi lelah jelas terlihat di wajah mereka. Bagaimanapun tenaga mereka belum pulih sepenuhnya setelah pertarungan melawan Aceblack.

"Hey, Reen! Pastikan kau punya rencana untuk melarikan diri. Kau tau 'kan, kalau tertangkap kita akan langsung dieksekusi," ucap Jeki di tengah langkahnya.

"Rencana? Hm, apa yah? Hahaha sayang sekali aku tidak punya. Lagi pula ... soal menyusun rencana itukan urusan Yyug, " jawab Reen santai.

"Apa?! Awas saja kalau nanti kita beremu mereka lalu Naena, Niin dan Nacima sampai terluka, kau akan kubuat babak belur!"

"Hahaha, kalau begitu kita jangan sampai bertemu. Mudah 'kan."

"Apanya yang–"

Belum sempat Jeki menyelesaikan kalimatnya, ia dikejutkan oleh ratusan orang berseragam abu-abu hitam yang berdatangan dari arah depan. Dan kini sedang berlari menuju mereka.

"BERHENTI DI SANA DAN JANGAN BERGERAK!!"