Max dan Bruno kemudian berkunjung ke sebuah toko roti dan menanyakan alamat itu.
"Permisi Tuan, apakah anda tahu alamat ini dimana?" tanya Max seraya menjulurkan tangannya memperlihatkan isi kertas itu.
"Sebentar, nak. Ngomong-ngomong kalian bukan berasal dari kerajaan ya? Kalian ingin bertemu dengan siapa?" tanya si pemilik toko itu.
"Kami ingin bertemu dengan dokter Vycolt dan keluarganya, mereka adalah kenalan kami," jawab Max sangat ramah, Bruno yang di belakangnya justru terdiam dan melihat sekeliling toko roti itu.
"Oh keluarga Antonio, ya? Mereka semua adalah orang-orang hebat, termasuk anaknya, Arstya. Bagaimana jika kalian pergi bersamaku? Aku akan menunjukannya secara langsung," pemilik toko roti menawarkan bantuan.
Namun Max menolaknya, bukan karena tidak mau berurusan dengan orang asing melainkan tidak mau merepotkan pemilik toko roti itu yang terlihat sibuk melayani banyak pelanggan. Kemudian pemilik toko roti itu memberitahu jalannya pada mereka.
"Hati-hati di jalan nak dan selamat datang di Ibukota Kerajaan". Meski Bruno dan Max tak membalas ucapan sambutannya, mereka tetap tersenyum lebar pada pemilik toko itu.
Setelah itu mereka beranjak dari toko tersebut.
"Ayo Bruno, kita ke rumah Arstya sekarang. Dia pasti sedang menunggu kita" kata Max bersemangat.
"Tadi rotinya terlihat enak, ya," jawab Bruno yang masih melihat roti-roti itu dari luar jendela, air liurnya mengalir deras. Max hanya menghela nafas panjang dan menggelengkan kepalanya.
Setelah mengetahui tempat tinggal Arstya, mereka berdua langsung gerak cepat mencari rumahnya.
Mereka melewati taman-taman yang indah seperti diceritakan oleh Arstya, jembatan yang terbuat dari batu dihiasi dengan motif-motif dan gambar, dan sungai-sungai bersih yang alirannya sangat tenang, sekilas tak terdengar.
Setelah berjalan cukup jauh, melewati banyak kelokan, akhirnya mereka menemukan rumah Arstya. rumahnya terlihat besar dan luas seperti mansion. Gerbang biru awan yang tinggi, taman dan kolam renang di halaman yang memanjakan mata membuat mereka terbelalak, menganga.
Bruno berpikir kira-kira butuh biaya berapa jika melamarnya, ia menelan ludah, merasa dirinya tidak sederajat dengan Arstya. Saat itu juga ia sadar, untuk apa memikirkan hal itu di saat ini.
Pelayan Arstya, Clint mengetahui kedatangan mereka dan menghampiri mereka yang sedang berdiri depan gerbang.
"Selamat pagi. Apa kalian yang bernama Bruno dan Max, kan? Silahkan masuk, Nyonya Arstya sudah menunggu kalian," kata pembantu itu seraya membukakan gerbang.
Max dan Bruno saling memandang dan mengangkat bahunya, heran mengapa Arstya tahu kedatangan mereka berdua sedangkan mereka tidak pernah memberitahunya.
Mereka berjalan masuk ke halaman yang luas seraya menoleh kanan dan kiri, mereka tak henti-hentinya takjub dengan sesuatu yang berangkaian dengan Ibu kota, terlebih lagi mereka tak menyangka rumah temannya sebesar ini.
"Bruno, Max sudah lama kita tidak ketemu setelah aku mendadak kembali ke Ibukota. Bagaimana dengan latihan kalian? Apa ada perkembangan dari kalian?" tanya Arstya terlihat senang bertemu dengan mereka berdua.
Max dan Bruno saling memandang dan senyum tenang pada Arstya, "Tenang saja, kami sudah siap untuk ujian itu," kata Max tenang, terlihat mereka seperti menyembunyikan sesuatu dari Arstya.
"Oh baguslah jika kalian tidak gugup," Arstya juga ikut tenang.
"Kalian pasti kelelahan setelah perjalanan dari Desa Hakuba bukan? Wajah kalian terlihat kumuh, aku tau kalian pasti kalian berjalan dari Desa Hakuba," Arstya memuji mereka, ia seakan ia tahu cara berpikir mereka.
"Ayo masuk, ayah dan ibuku sedang di kantornya. Mereka juga tahu kalian akan datang ke sini," Arstya mengajak mereka memasuki rumah mewahnya.
Bruno dan Max lagi-lagi terbelalak, melihat seisi rumah Arstya, meskipun hanya bertingkat 2, namun luas rumahnya bukan main-main, hampir setara dengan luas lapangan sepak bola. Rumah besar yang bercat putih yang dindingnya dihiasi foto keluarganya bersama pelayannya, beterbaran sangat banyak, bahkan tidak ada sudut dinding yang tidak terpajang foto.
Rumahnya mempunyai lobby yang besarnya lebih dari rumah Bruno membuat mereka semakin takjub, matanya berkunang-kunang menyilaukan seisi rumah.
"Ini adalah Lobby rumahku, dan di sudut kanan ada pintu besar, di sana adalah dapur dan ada beberapa koki juga didalamnya. Dan kamar kalian ada diatas bersebalah denganku," Arstya menjelaskan seraya menjulurkan tangannya menunjukkan setiap sudut rumahnya.
"Kamar kami!?" teriak mereka.
"Itu akan merepotkanmu, kami bisa menyewa penginapan di sekitar rumahmu," Max mencoba kabur.
"Tak apa, ruangan sebelah kamarku memang benar-benar kosong. Aku juga sengaja menyiapkan untuk kalian daripada kalian harus mengeluarkan biaya lagi," Arstya membujuk mereka.
Mereka pun dengan senang menerima tawarannya, meski awalnya menolak. Kemudian mereka menaiki pundi-pundi tangga menuju kamarnya. Mereka menaruh barang bawaannya di samping lemari kamar itu. Luas kamar itu sama dengan kamar Arstya, namun hanya berbeda jumlah kasurnya saja.
Selesai berbenah, mereka cepat-cepat mandi kemudian sarapan bersama Arstya di ruang makan. Terdapat meja makan yang sangat panjang yang sekiranya bisa menampung 20 orang. Namun disitu hanya ada mereka bertiga dan didampingi oleh Clint.
Semua koki didapur keluar membawa nampan bulat besi satu persatu yang diatasnya ada beberapa jenis makanan. Anehnya, mereka yang biasanya melihat makanan mewah selalu membara, kini hanya terdiam dan mengambil makanan itu sangat lambat, mungkin karena mereka kelelaha, pikir Arstya.
"Silahkan dimakan Bruno, Max" kata Arstya mempersilakan mereka dengan senyuman manisnya. Mereka pun tak membalas perkataan Arstya dan memasang wajah lesu, yang membuat Clint dan Arstya saling menatap, kebingungan seraya mengangkat bahunya.
Selesai makan, koki-koki tadi kembali secepat mereka datang dan mengambil semua alat makan yang ada di meja itu sangat cepat dan keluar dari ruang makan meninggalkan mereka berempat. Arstya yang masih canggung dengan suasana tadi berkata..
"Hei, maukah kalian berkeliling melihat Ibukota lebih luas? Aku akan mendampingi kalian," kata Arstya terbata-bata, mengkhawatirkan stamina mereka. Mereka yang terlihat lesu tiba-tiba saja kembali memanas dan membuat Arstya semakin kebingungan
"Ide bagus Arstya, ayo berangkat." Tanpa basa-basi, Bruno langsung berdiri dan meninggalkan ruang makan.
Kemudian mereka keluar menuju gerbang rumah dan Arstya mengajak mereka berjalan mengarah Distrik Perbelanjaan Pusat Ibu kota. Tapi baru berjalan beberapa detik saja, ada dua gadis, seumuran dengan mereka bertiga, menanggang jalan mereka.
"Arstya, kau mau kemana? Dan siapa kedua laki-laki ini?" kata salah satu si gadis itu.
"Eh… mereka temanku dari desa tempat tinggalku, mereka kesini mengikuti ujian masuk Asrama Sihir," jelas Arstya.
"Oh.. hanya orang desa ya, jangan harap kalian bisa lolos ujian masuk itu. Ujiannya sangat sulit, orang desa seperti kalian tak akan bisa, Hahaha," tertawa kedua gadis itu dengan nada menjengkelkan.
Bruno dan Max yang mendengar itu terlihat geram dan mengepal tangannya sangat keras…
"Sudahlah kalian berdua, walaupun begitu aku juga dari desa," bentak Arstya yang membuat mereka terpaku diam wajahnya memerah.
"Oh ya, mereka adalah temanku sejak kecil. Ini Bruno dan Ini Max," Arstya memperkenalkan mereka seraya menunjuknya.
"Hai, aku Bruno dan ini Max" Bruno mencoba tenang dan menyapa kedua gadis itu.
Mereka berdua diam sesaat dan salah satunya membalas, "Aku Myne, dan ini sepupuku, Malvia. Kami teman Arstya di Sekolah Sihir Ursulin."
Dalam pikirannya, Bruno kebingungan membedakan antara Myne dan Malvia, wajah dan bentuk muka mereka sama. Ukuran hidung, telinga dan bola matanya pun sama. Bruno terpaksa mendekati wajah Myne dan Malvia mengamati apa yang beda dari mereka.
Tetapi Myne dan Malvia memalingkan wajah, pipi mereka memerah dan memejamkan mata, mengira Bruno adalah orang desa yang cabul. Max menarik baju kerah Bruno agar sedikit menjaga jarak dari mereka, dan Max juga menganggap Bruno adalah orang desa yang cabul.
"Apa yang kau lakukan? Kau membuat mereka ketakutan, dasar mesum!" desah Max. "Tapi aku hanya ingin tau perbedaan mereka" kata Bruno merasa bersalah.
"Hahaha, kau memang aneh Bruno," kata Arstya terkekeh halus. "Jika kau ingin tau perbedaan mereka, Myne mempunyai bola mata berwarna biru laut dan Malvia mempunyai bola mata berwarna hijau daun." Arstya menjelaskan.
Hanya bola mata mereka yang berbeda, tinggi badan dibawah 165cm, jenis rambut, bau tubuh mereka sama. Hanya saja Malvia lebih sering mengikat rambutnya dengan bentuk twintail, agar orang lain tak terlalu kesulitan membedakan mereka.
"Oh begitu ya, Baiklah aku sudah bisa membedakan kalian. Selain itu, bisakah kita pergi sekarang? Aku sudah tak sabar melihat pemandangan di Ibukota," kata Bruno.
Max setuju dengan Bruno, ia sendiri pun juga terlihat buru-buru ingin berkeliling Ibukota. Kemudian Arstya, Bruno, dan Max meninggalkan Myne dan Malvia yang masih sedikit ketakutan, tapi Myne dan Malvia mengikuti mereka bertiga dari belakang..
"Bolehkah aku ikut menemani kalian?" kata Myne pada Bruno dan Max, sambil menundukkan kepalanya.
"Baiklah, itu bagus. Mungkin kita semua bisa lebih akrab lagi," kata Max.
Myne dan Malvia terlihat senang dan mereka berlima bersama mengelilingi kota.