Chereads / Petualangan Mavcazan / Chapter 19 - Terlalu Meremehkan

Chapter 19 - Terlalu Meremehkan

"Kemudian peserta yang lolos berikutnya adalah… Arstya!" Arstya yang mendengar namanya lolos ujian itu hanya menghela nafas panjang dan tersenyum pada Myne dan Malvia. Si kembar itu pun memeluk Arstya, merayakan kelulusannya. Bruno dan Max yang tahu Arstya lolos, kembali melonjak-melonjak riang.

Kemudian Neger melanjutkan membaca nama-nama peserta bersicepat dengan keras lantang. Baru saja menyebutkan 8 peserta, kini nama 'Myne' terpanggil jelas bergabung sebagai siswa Higibana.

Kesenangan Malvia dan Arstya tak bisa tertahan, namun Myne merasa tegang dan belum puas karena dari tadi ia fokus mendengar nama-nama itu dan belum ada mendengar nama adiknya dipanggil.

Tahu-tahu saja Neger berkata, "Peserta yang terakhir yang diterima sebagai siswa adalah Rose. Itulah para peserta yang lolos ujian Green Vallen tahun ini. Sekian." Kemudian Neger membalik badan dan berjalan kembali ke barisan para profesor.

Arstya dan Myne yang tadinya senang tiba-tiba saja kesenangannya sirna dalam hitungan detik. Malvia yang tahu dia tidak lolos hanya terpaku diam, tiba-tiba pipinya berkilauan air matanya mulai berjatuhan pelan.

Profesor Nepomuceno memberi pidato singkat dan mengucapkan selamat kepada para peserta yang telah lolos ujian Green Vallen dan layak belajar dengan para profesor terpercaya selama 3 tahun.

"Bagi para peserta yang belum lolos ujian ini, kami mohon maaf tidak bisa menerima kalian tahun ini. Dan aku harap kalian bisa mencobanya tahun depan. Sekian." kemudian Nepomuceno meninggalkan halaman dan diikuti para profesor Green Vallen.

"Bagi yang tidak lolos ujian, kami harap bisa meninggalkan Green Vallen. Batas waktu kalian sampai jam 6 tepat," kata Neger menambahkan. Kemudian Myne dan Arstya menghampiri Neger dan menanyakan alasan mengapa Malvia tidak lolos.

"Permisi Tuan Neger, bisakah anda menjelaskan mengapa Malvia tidak lolos ujiannya?" tanya Arstya tergopoh-gopoh.

"Tenanglah nak, kau terlihat terburu-buru. Selain itu, Malvia yang mana?" tanya Neger kebingungan, kemudian Arstya menunjuk Malvia yang masih terpaku diam. "Oh Malvia Scarlett, ramuan yang ia buat memanglah sangat langka tetapi ia melupakan beberapa obat ramuan yang seharusnya bisa menyempurnakan ramuan itu. Seperti Lionfish Parts dan Belladonna. Sehingga ketika kami mencobanya, obyek yang terkena ramuan itu justru mengeluarkan cacing dan kelabang dari dalam."

"Tapi ia hanya kelupaan, apa tidak bisa dimaafkan?" tanya Myne sedih.

"Profesor yang menentukan lolos tidaknya peserta adalah profesor Nepomuceno, beliau sangatlah lihai dalam segala ramuan dan dia juga ahli sihir yang sangat hebat. Maka beliau yang paling tahu potensi para peserta dibandingkan kami semua. Selain itu, kelupaannya adalah salah satu bahwa ia kurang siap dengan ujian ini, benar bukan…"

"Oh aku Arstya dan ini Myne, saudaranya," kata Arstya membantu seraya mengangguk, menganggap benar perkataan Neger.

"Baiklah, Arstya dan Myne. Dengan lolosnya kalian berdua buatlah Malvia merasa tidak menyesal dengan dirinya. Disaat seperti ini tak ada waktu untuk kalian sedih. Dia masih bisa mencobanya tahun depan." Arstya dan Myne hanya mengangguk murung.

"Baiklah, kalau tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, aku permisi dulu," kata Neger ramah seraya meninggalkan mereka.

Arstya dan Myne kembali mendekati Malvia dengan wajah yang pasrah.

"Maafkan kami Malvia. Kami tidak bisa membantumu," kata Arstya tersendat-sendat.

"Tak apa, kalian telah banyak membantuku," Malvia tersendat lebih parah. Kemudian Bruno dan Max menghampiri mereka bertiga. Mereka yang tadinya senyum-senyum girang, tahu-tahu melongo, kebingungan melihat Arstya dan si kembar itu memasang muka murung.

"A…Ada apa dengan kalian?" tanya Max merasa canggung.

"Apa tadi kalian tidak memperhatikan? Malvia tidak lolos ujian ini," Arstya berkata sangat keras. "Haa! Kenapa tidak?" teriakan mereka mengagetkan peserta lainnya.

"Dia kelupaan beberapa obat dasar ramuan yang ia buat dan setelah di uji coba, hasilnya tidak diduga. Aku tidak sanggup mengatakannya," Arstya merasa kasihan jika ia mengatakan eksperimen ramuan Malvia menimbulkan cacing dan membusuk.

"Sial! Kukira kita semua bisa melewati ujian ini bersama," Bruno kecewa.

"Tak apa, selain itu salahku juga karena menganggap remeh ujian ini. Dan aku tidak akan mengulangi ujian ini tahun depan. Kurasa setelah ini aku akan mempelajari menjadi pengusaha yang sukses seperti ayah dan ibuku," Malvia akhirnya mau bersuara.

Waktu sudah tepat jam 6, para peserta yang tidak lolos meninggalkan Green Vallen. Sebelum Malvia keluar dari asrama itu, Bruno dan Max memberi semangat padanya untuk mempelajari sesuatu yang ia minati dan menjabat tangannya. Arstya dan Myne memeluknya sangat erat sampai-sampai bernafas saja tidak bisa. Myne dan Malvia pun membuat janji, Myne akan bersungguh-sungguh mendalami pelajaran sihir, dan Malvia akan mempelajari semua ilmu pengusaha dan mereka akan bertukar ilmu sampai mereka bertemu setiap tahunnya.

Kemudian Malvia meninggalkan Green Vallen dengan hati yang tenang, namun matanya masih memerah. Setelah itu, mulailah kehidupan mereka berempat sebagai siswa Green Vallen, satu-satunya Asrama Sihir di Ibukota Okuba yang sangat menjanjikan.

Neger yang masih di halaman depan menyembur mereka, menyuruh masuk ke asrama masing-masing, untuk persiapan makan malam.

Mereka berpisah, melambaikan tangan seraya melangkahkan kakin berjalan ke asrama dengan jantung yang berdetak kencang karena saking senangnya bisa berteman sekaligus menjadi rival dengan orang-orang hebat selama mereka menjadi siswa di Green Vallen.

Bruno dan Max melangkahkan kakinya ke SouthEater untuk pertama kalinya. Lobbynya sangat fantastis dan megah membuat mereka terbelalak. Karpet luas dengan perpaduan cerah dan gelap yang menggambarkan peta Ibukota Okuba membuat mereka terpukau.

Belum lagi dinding-dinding putih yang sangat mengkilap terlihat seperti bangunan anyar. Lampu Salviati yang sedikit menyilaukan melayang sangat rapi dengan jumlah yang tak sedikit . Saking mewahnya, mereka menangis terharu kaki kotornya bisa menginjak bangunan yang glamor.

Kemudian Bruno dan Max mencari-cari kamar mereka, untuk menaruh tas dan koper mereka yang isinya melebihi ukuran kopernya. Tersesat karena luasnya gedung SouthEater, mereka menghabiskan tujuh menitnya yang berharga hanya berputar-putar di gedung itu. Hendak bertanya pada orang, tapi di gedung itu tidak penghuni selain mereka.

Mereka tak habis pikir, gedung sebesar ini bisa-bisanya tidak ada yang menghuni. Kemudian mereka mencari lagi dan beberapa menit setelah itu berhasil menemukan kamarnya setelah melihat papan nama mereka disebuah pintu.

Baik Higibana maupun SouthEater, setiap kamar berisikan 3 siswa. Dan di papan itu tidak hanya mereka berdua. Silva, orang yang paling idiot bagi Bruno ternyata satu kamar dengannya

"Sialan, kenapa aku harus satu kamar dengan idiot ini?" kata Bruno berang.

"Harusnya aku yang kesal, Orang Desa," ternyata Silva yang masih di dalam kamar mendengar sindirannya. Mereka pun saling bertukar pandang dan berniat ingin bertarung.

"Aku tidak tahu masalah kalian, tapi kurasa kita bertiga satu kamar karena kita 3 siswa yang lulus terakhir. Jadi kuharap kalian bisa menerimanya," Max mencoba menenangkan mereka yang sudah dalam posisi bertarung.

"Mana mungkin aku mau menerima orang idiot ini!" geram Bruno kesal.

"Kalian bertiga, berisik sekali. Bisakah kalian diam?" Claude tiba-tiba muncul entah darimana dengan tatapan dan nada bicaranya yang dingin.

"Waktu makan malam sudah hampir habis. Di asrama ini, semua siswa dan professor lainnya akan makan bersama-sama. Mereka semua pasti menunggu kalian." Kemudian Claude meninggalkan mereka.

"Cih. Sok hebat sekali, si jagoan itu. Selain itu, dia sendiri kenapa masih di sini?" kata Silva pelan.

"Sudahlah, kita juga harus segera menyusul. Tidak enak juga terlambat padahal baru saja diterima di asrama ini." Kemudian mereka menaruh tas dan koper, mengganti seragam dan berlari menuju Aula makan di gedung utama Green Vallen.

Mereka berlari menuruni tangga spiral yang lebar, mendobrak pintu yang menghalangi jalan mereka, takut terkena hukuman jika terlambat sedangkan mereka belum ada sehari menjadi siswa di Green Vallen.

Masalah mereka bertambah ketika mencari ruang makan di Gedung Utama yang luasnya sama dengan pusat distrik perbelanjaan. Hening beberapa detik, Bruno mendengar pidato kakek tua dengan nada yang hangat, bahkan mendengar saja bisa merasakan hangatnya kasih sayang orang itu. Mereka mencari-cari sumber suara itu seraya tersengal.

Suaranya semakin jelas, mereka yakin ruangan itu berada di ujung lorong lantai satu. Bruno masuk diikuti mereka bertiga. Pidato hangat itu tiba-tiba terhenti dan seluruh siswa dan professor menatap mereka kebingungan.

Ternyata suara itu profesor Nepomuceno yang sedang bercerita pada seluruh siswa sembari menunggu kehadiran mereka. Mereka bertiga merasa malu, wajahnya memerah. Myne dan Arstya hanya bisa terkekeh kecil.

Tak pakai lama, mereka langsung duduk paling pinggir, dekat pintu masuk yang tingginya kira-kira empat meter. Karena semua sudah hadir, profesor Nepomuceno mempersilakan para siswa dan professor menyantap makanan yang ada.

Bruno dan Max yang tadinya tersengal tahu-tahu saja sudah terbelalak melihat meja di depannya. Makanan yang ia lihat terlihat menjanjikan daripada makanan yang berasal dari desanya.

Air liur nya belum-belum sudah mengalir deras yang membuat pikiran Silva menyimpulkan bahwa semua orang desa memang terlihat seperti kera gila jika melihat sesuatu yang unik.