Myne dan Malvia adalah kakak adik namun bukan saudara kandung yang merupakan penduduk asli Ibukota. Ia belum pernah ke desa sekalipun, bahkan belum pernah meninggalkan Ibukota. Menurut mereka, Ibukota adalah tempat yang aman dan indah.
Semua yang mereka inginkan bisa di dapatkan di kota itu, pikir mereka. Orang tua Myne dan Malvia adalah pengusaha distrik perbelanjaan dekat dengan rumah mereka. Tentu mereka sangat kaya bahkan bisa dibilang melebihi Arstya.
Mereka tidak mempunyai kakak maupun adik, orang tua mereka hanya mempunyai Myne dan Malvia yang merupakan harta berharga baginya. Sebagai anak dari pengusaha, mereka berdua terbilang sedikit mandiri. Myne tak mempunyai adik kandung, begitu juga dengan Malvia.
Mereka berdua ialah anak tunggal. Namun malangnya kedua orang tua Malvia meninggal terkena suatu penyakit, dan orang tua Myne dengan senang hati merawat Malvia. Saat itu juga orang tua Myne mengadopsi Malvia sebagai anak mereka, sekaligus menjadi bagian keluarga mereka.
Mereka berdua tak mempunyai bakat sihir sejak lahir, sebab itu keturunan dari orang tua mereka yang juga tak mempunyai bakat dalam sihir.
Saking miripnya mereka berdua, banyak temannya dan orang lain mengira mereka saudara kembar. Meski itu bukan kenyataannya, tetapi dengan senang hati mereka panggilan itu.
Mereka berdua percaya, hubungan mereka sebagai kakak adik akan terus berlangsung dengan harmonis.
Myne dan Malvia belajar di Ursulin mempunyai tujuan yang sama dengan Arstya, ingin mempelajari sihir lebih luas lagi. Mereka masuk sekolah sihir karena tertarik hal-hal yang berbau sihir.
Meskipun begitu saat dewasa mereka akan menggantikan jabatan ayahnya dan ibunya sebagai pengusaha, dan ilmu sihir yang mereka pelajari selama ini mungkin tidak terlalu berpengaruh baginya.
"Kenapa kalian ingin mengikuti ujian masuk Asrama Sihir?" kata Malvia penasaran.
"Suatu saat nanti aku ingin menjadi Raja Penyihir, masuk ke Asrama Sihir adalah tahap awalku untuk menjadi Raja Penyihir," kata Bruno keras.
Mereka berdua tertawa, meremehkan Bruno. "Kau ingin menjadi Raja Penyihir? Omong kosong macam apa itu? Dari dulu sampai sekarang Raja Penyihir berasal dari Ibukota dan Bangsawan. Tidak ada orang desa yang pernah menjadi Raja Penyihir," kata Malvia dengan nada terkekeh.
"Tapi tidak ada larangan berasal dari desa, bukan? Selama diperbolehkan aku tetap tidak akan mundur dan menjadi Raja Penyihir suatu saat nanti" Bruno tetap percaya dengan tampang pahlawannya.
"Yah… memang tidak ada larangannya. Tapi kuharap kau bisa menjadi Raja Penyihir sungguhan, karena itu akan menjadi sejarah baru bagi Kerajaan Okuba," kata Myne mendukung Bruno dan lanjut bertanya. "Dan kau Max, kenapa kau ingin masuk Asrama Sihir?"
"Aku sedang mencari jati diriku, sampai saat ini aku tidak punya tujuan akan menjadi apa di masa depan. Maka dari itu, aku mengikuti ujian masuk Asrama Sihir dan belajar disana untuk menemukan sesuatu yang aku cari."
Meski begitu Myne dan Malvia tak begitu paham dengan perkataannya, dan Max menyadarinya namun mengabaikan ketidakpahamannya.
"Dan kalian berdua, apakah kalian juga mengikuti ujian itu?" tanya Bruno.
"Ya kami mengikuti ujian itu, tapi kami tidak terlalu berharap bisa diterima menjadi murid di asrama itu, bagaimanapun juga kami akan mewarisi jabatan ayah dan ibu kami disaat kami memang sudah pantas," kata Malvia tenang.
"Ketika kalian lulus ujian itu, kuharap kalian bersungguh-sungguh ketika kalian diterima menjadi siswa di asrama itu, karena bagaimana pun juga orang-orang yang mendaftar di Asrama itu pasti ingin menjadi penyihir yang hebat. Kalian tidak boleh mengkhianati perasaan mereka yang tidak diterima,".
Arstya menasehati Myne dan Malvia, tetapi mereka justru lebih bingung dengan nasehatnya daripada perkataan Max.
Mereka yang asyik mengobrol tentang pengalaman masing-masing, tak sadar mereka berlima sudah berada di depan Distrik Perbelanjaan Pusat.
Distrik itu sangat luas bahkan lebih luas dari stadion sepak bola, atap-atap yang dihiasi rusa-rusa dan beruang kutub, hampir menutupi seluruhnya, dan ada ilusi semacam salju yang terkesan seperti salju nyata.
Dinding dan temboknya dilapisi emas murni yang mengkilap. Lantai-lantainya yang berwarna perak keputihan membuat distrik itu terlihat seperti tambang emas dan perak.
Bruno dan Max yang belum pernah ke distrik perbelanjaan, lari kesana kemari seperti sedang bermain kejar-kejaran, mereka berkeliling distrik itu dan meninggalkan Arstya dan temannya, yang membuat mereka menggelengkan kepala.
Myne dan Malvia menganggap mereka memang orang kampungan yang tidak mengenal etika di tempat ramai. Mereka ke distrik pusat bukan hanya untuk bersenang-senang, mereka juga menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan untuk ujian itu.
Beruntung saja Arstya membawa sebuah kertas yang berisi tata tertib dan perlengkapan yang apa yang harus dibawa saat ujian masuk.
Max dan Bruno yang masih meninggalkan mereka bertiga, terpaksa Arstya membelikan mereka berdua alat-alat itu tanpa sepengetahuan mereka. Selain itu, perlengkapan yang dibawa bagi yang memilih memperdalam ilmu sihir, tentu lebih banyak. Sebab mereka akan melakukan sebuah praktek pembuatan ramuan dengan tema yang tak ditentukan (bebas), jika berhasil maka peserta itu lulus.
Sedangkan untuk mengasah ilmu sihir, ujian itu hanya pertarungan untuk mengalahkan lawannya. Terlihat sedikit sederhana, tapi Max dan Bruno tidak tahu sihir yang dimiliki peserta lainnya dan seberapa kuat mereka.
Setelah mereka menenteng barang belanjaan mereka, akhirnya mereka melihat Bruno dan Max yang masih saja berlarian, Myne dan Malvia memanggil mereka dengan teriakan keras yang melebihi ledakan bom.
Max dan Bruno pun seketika berhenti dan terkekeh kecil seraya berjalan ke arah mereka bertiga. Arstya yang cukup tenang memberikan perlengkapan itu dan menjelaskan mereka tentang tata tertib dan persiapan ujian itu.
Mereka berdua merasa bersalah karena tidak tahu apapun tentang persiapan ujian itu, tetapi mereka berdua senang sebab ujian masuk untuk mereka berdua ialah pertarungan antar peserta. Itu akan mengukur seberapa kuat Max dan Bruno sejauh ini, pikir mereka. Selain itu, ujiannya akan diselenggarakan besok yang membuat hati mereka semakin mendebar.
Kemudian mereka istirahat seraya makan di sebuah stand daging ayam asap, dan melanjutkan membicarakan tentang pengalaman mereka.
Tak terasa sore sudah tiba, langit di atas Ibukota terlihat berwarna oranye kemerahan, dan tak ada awan yang menutupi matahari tenggelam itu. Mereka yang sudah kehabisan tenaga buru-buru kembali ke rumah Arstya dan meninggalkan Myne dan Malvia di sebuah taman. Merek harus mengumpulkan tenaga untuk ujian besok.
Malamnya, Bruno dan Max ingin segera tidur agar mereka bisa bangun pagi. Tapi ketika menuju kamarnya, mereka melihat Clint yang sedang terpaku diam di balkon seraya menengadah, menatap bulan purnama dan bintang-bintang yang menghiasi langit Ibukota. Mereka menghampiri Clint dan berbicara dengannya.
"Tuan Clint, apa yang anda lakukan disini? Ini sudah lebih dari jam sepuluh malam, apa anda tidak ingin tidur?" Tanya Max melihat wajah Clint tersenyum melihat langit itu.
"Tidak apa, setiap malam jika tidak ada awan, aku selalu melihat bulan dan bintang dari sini. Ini sangat menyenangkan, aku suka melihat mereka, aku juga suka mempelajari bulan dan bintang."
Karena pembicaraan Clint membuat mereka tertarik, kemudian Max dan Bruno mendengarkan ceritanya dan mencoba mengenal Clint lebih dekat lagi. Keasyikan mengobrol mereka mendadak hening ketika melihat jam tepat pukul dua belas malam.
"Maaf, paman Clint. Sepertinya kami harus duluan. Besok kami berangkat pagi sekali," kata Bruno, merasa tak enak memotong pembicaraan mereka.
"Ah.. maafkan aku juga, tuan Bruno, tuan Max. Sepertinya aku mengganggu waktu istirahat kalian. Tapi sebenarnya aku sangat penasaran dengan satu hal."
Bruno dan Max, saling memandang, mereka juga penasaran hal apa yang dipikirkan Clint. Dengan baik hati, Bruno meminta tolong pada Clint agar tak segan untuk bertanya.
"Luka di telinga itu." kata Clint seraya menunjuk telinga kanan Bruno. "Kenapa telinga anda terluka seperti itu? Itu bahkan hampir lepas dari bagian kepala anda."
Menyangkut hal itu, entah mengapa otak Bruno seakan terkoyak-koyak, menyiksa seisi kepalanya.
"Maafkan aku, tuan Bruno! Beri hukuman pada pelayan bodoh ini!" Clint mendadak membungkukkan punggungnya, merasa bersalah atas pertanyaannya yang di kiranya sangat sensitif bagi Bruno.
"Tak apa, paman Clint. Jangan terlalu formal begitu. Aku hanya tamu di rumah ini." Bruno menjawab dengan nada lesu sambil mencengkeram kepalanya.
"Jika Anda keberatan, Anda tak perlu menjawabnya." Clint dengan rasa bersalah, merasa tak pantas mengetahui jawabannya.
"Kalau begitu, kami duluan tuan Clint. Selamat malam," kata Max seraya mengusung Bruno ke kamar. Clint hanya menundukkan kepalanya, sampai mereka hilang dari pandangannya.
Esoknya, pagi hari, Bruno, Arstya dan Max sudah sangat siap berangkat ke Asrama Sihir dengan semangatnya yang membara, tidak ada kegugupan sedikitpun yang merasuki mereka.
Tuan Vycolt, Vionna, Clint dan para pembantunya, menyambut mereka di pintu gerbang. Sekali lagi, Clint meminta maaf pada Bruno, namun ia sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Mereka bertiga pun memberikan semangat dan dukungan agar Bruno Arstya dan Max bisa lulus di ujian itu, dan mereka pun berpisah dengan keluarga Antonio.
Baru keluar dari gerbang, ternyata Myne dan Malvia sudah menunggu mereka seraya membawa koper-koper dan beberapa buku tentang ilmu sihir.
"Bagaimana kabar kalian? Apa kalian gugup?" tanya Myne mulutnya sedikit gemetar.
"Kata gugup tidak ada dalam kamusku," kata Bruno menengadah berlagak sombong. "Tapi jika dilihat sepertinya kau yang gugup. Mulutmu sejak tadi menggigil, kakimu juga gemetaran terus."
"T..tidak, aku tidak gugup. Aku hanya kedinginan. Lagi pula, ini udah memasuki musim dingin. Wajar saja jika aku kedinginan," kata Myne mulutnya masih gemetar, kaki dan tangannya pun juga mengikuti mulutnya. Max yang tau dia gugup hanya bisa terkekeh kecil.
"Baguslah jika kalian tidak gugup. Kalau begitu, ayo kita berangkat sekarang," kata Arstya mengajak mereka berempat.
Mereka berlima berjalan bersama menuju Asrama Sihir dengan berjalan kaki. Asrama Sihir letaknya berdampingan dengan Istana Kerajaan yang dimana Raja Penyihir singgah di tempat itu, butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai Asrama Sihir dari Rumah Arstya.
Mereka berjalan seraya berbicara tentang sihir dan selalu membahas hal-hal konyol yang mana membuat Myne ikut tenggelam dengan pembicaraan mereka dan membuatnya tak gugup lagi.