Chereads / Petualangan Mavcazan / Chapter 5 - Air Abadi

Chapter 5 - Air Abadi

"Apakah luka ini tidak bisa disembuhkan, Tuan…"

"Oh maaf, aku belum memperkenalkan diri, namaku Hans Sazakuri. Kalian bisa memanggilku Hans". Hans mempunyai rambut berwarna merah menyala seperti api. Ia sengaja mewarnai rambutnya sesuai dengan sihir yang ia kuasai, Sihir Api. Hanya saja ia memiliki kantung mata di matanya, kesannya ia seperti penyihir suram yang sibuk mengurusi pekerjaannya.

"Dan luka seperti ini memang tidak dapat disembuhkan dengan sihir, tetapi aku pernah mendengar jika luka tertusuk ini bisa disembuhkan dengan sejenis air yang berada di hutan Harappa".

"Hutan Harappa? Hutan apa itu? Aku baru mendengar pertama ini, bisakah anda menjelaskan lebih rinci?".

"Hutan Harappa adalah hutan yang letaknya jauh dari Kerajaan Okuba dan untuk menempuh ke hutan itu kurang lebih satu minggu jika orang yang berkunjung ke hutan itu hanya bermodalkan jalan kaki.

Hutan Harappa dekat dengan Kerajaan Esteria, yang mana orang-orang di kerajaan itu sangat benci dengan penduduk yang berada di bawah kekuasasan Kerajaan Okuba. Mereka mempunyai alasan tersendiri mengapa mereka selalu membunuh orang-orang yang berasal dari Kerajaan Okuba".

Air itu berasal dari sihir air Raja Penyihir sebelumnya, Rikimaru ketika ia hampir gugur dalam pertarungan melawan Raja dari Kerajaan Esteria.

Sebelum mati, Rikimaru sempat menggunakan sihirnya untuk membuat genangan air yang terus sodorkan air dan kemudian jadilah kolam. Kolam itu bukan kolam biasa, air di kolam itu bisa menyembuhkan segala penyakit, maupun penyakit luar atau dalam tubuh.

Namun tak banyak orang yang tahu tentang keberadaan dan kebenaran air itu. Orang pertama kali tahu tentang Air Abadi bisa menghilangkan segala penyakit ialah Caesius yang sempat berkelana ke kerajaan-kerajaan lain.

Pada saat itu Caesius sedang kehabisan bekal minum dalam perjalanannya dan mencari air untuk ia bawa ke perjalanan berikutnya. Kemudian air yang ia temukan adalah air yang dibuat oleh Raja Penyihir sebelumnya dan Caesius langsung meminum air itu dengan memasukkan kepalanya ke dalam air.

Karena ia yakin air itu aman dikonsumsi, kemudian ia langsung melepas jubah birunya dan pakaiannya, berendam di kolam itu.

Caesius yang sebelumnya terluka akibat cakaran kawanan serigala, setelah ia selesai berendam di kolam itu cakaran di tangan kirinya langsung hilang tanpa meninggalkan bekas sedikitpun. Lukanya menutup sangat cepat.

Ia merasa air itu bukan air biasa, dan Caesius membawa air dengan guci yang terbuat dari tanah liat lalu ia bawa ke kerajaan dan ia sisakan air itu untuk membuktikan apakah air itu benar-benar bisa menyembuhkan segala penyakit atau tidak.

Setelah ia pulang dari berkelananya, kemudian ia mencari seseorang yang terluka di rumah sakit Kerajaan Okuba. Ia meneteskan air itu tepat di bagian luka pasien itu dan tak ada efek apapun.

Namun tak lama setelah itu, luka kulit yang terbuka lebar itu mulai menutup perlahan. Serentak orang-orang di rumah sakit itu terkejut dengan apa yang mereka lihat.

Kemudian Caesius menamai air itu "Air Abadi".

Bruno yang mendengar cerita tentang air itu, ingin sekali mengambil dan pergi ke sana pada saat itu juga.

Max dan Hans kaget dengan ketetapan yang dipilih Bruno sebab perjalanan menuju kolam itu sangat jauh dan belum lagi jika bertemu dengan orang-orang kerajaan Esteria, bisa-bisa Bruno terbunuh di sana, namun Hans sempat mencegahnya.

"Tapi jika aku tidak kesana, bagaimana guru bisa sembuh? apa kau akan membiarkannya mati di depan mataku?" kata Bruno pada Hans

"Gurumu tidak akan mati, jadi tenanglah!! Justru jika kau pergi kesana dengan kemampuanmu yang sekarang, kau bisa saja mati dan David pasti merasa bersalah dengan kematianmu. Maka dari itu duduklah yang tenang. Aku sudah memberikannya ramuan ketika kau pulang tadi. Jika dalam waktu seminggu keadaan David belum membaik, ia akan di rawat di Ibukota Kerajaan".

Bruno yang tidak bisa mengontrol emosinya langsung terdiam dan mengambil nafas sangat dalam. Ia hanya takut kehilangan orang terdekatnya dan terlebih lagi Bruno menganggap David ialah orang tua Bruno.

Max kemudian memegang punggung Bruno dan mengelusnya, ia mencoba menenangkan Bruno dan mengajaknya bicara. Bruno memang mudah panik ketika orang terdekatnya terkena musibah. Terlebih lagi diumurnya yang baru saja menyentuh 15 tahun, emosinya masih naik turun.

Setelah reda emosinya kemudian ia memasang wajah sedih, alisnya mengerut. Max mengajak Bruno keluar rumah dan berbicara santai di bangku berwarna coklat hitam yang berada di depan rumah sembari menghilangkan amarah dan kesedihannya.

Bruno menunduk ke arah tanah dengan kedua tangannya menutupi matanya dan kedua sikutnya berada diatas pahanya. Ia tak mau melihat ke arah lain selain melihat tanah dibalik kursi dan tak membiarkan seseorang melihat wajahnya.

Max yang berada disamping Bruno merasa canggung tak tahu apa yang harus ia lakukan agar emosinya mereda. Ia hanya melihat Bruno yang sedang melihat ke tanah dengan tangannya yang seperti mendorong kursi ke bawah dan tak mengatakan satu dua kata pun.

Mereka hanya terdiam dan tak ada yang mau memulai berbicara. Dilihat dari kejauhan mereka seperti orang yang tak saling mengenal sedang menumpang duduk di bangku orang pula.

Max yang emosinya tidak melonjak terlihat memikirkan sesuatu, ia yakin ada semacam obat ramuan yang dapat menyembuhkan luka tusuk. Ia terus memejamkan matanya tak melihat dan tak mempedulikan keadaan lain, bahkan ketika dipanggil Bruno pun ia tak sadar.

"Max!!".

Ia terkejut mendengar teriakan yang tiba-tiba terdengar keras di telinga kirinya. Ia spontan membuka matanya dan langsung melihat ke arah Bruno.

"Apa kau yang memanggilku dengan teriakan semangat?" tanyanya dengan menggelengkan kepala. Bruno dengan rambut yang acak-acakan terlihat bingung melihat Max yang memejamkan matanya selama 15 menit.

"Oh, aku sedang memikiran sesuatu".

"Apa yang kamu pikirkan? Apa kamu berencana untuk mengambil air itu?".

Dengan wajah dinginnya, Max tertawa hingga kedua matanya tertutup dan memukul pundak Bruno berkali-kali. Tentu saja bukan itu yang ia pikirkan, ia tak nyangka apa yang Bruno katakan. Terlihat Bruno seperti tidak mengenal pola pikir teman dekatnya dan asal bertanya tanpa ada rasa bersalah.

Max yang belum masih setengah-setengah memikirkan hal itu, menyuruh Bruno untuk memberikannya waktu untuk berpikir lagi.

"Kau diam saja dulu, nanti akan aku beritahu". Kata Max menggigit lidahnya, menahan tawa. Perasaan Bruno dicampuri kesal dan penasaran ketika mencoba membaca pemikiran Max. ia mengunci mulutnya seraya mengayunkan kakinya seperti menendang bola di atas kursi.

Max yang hanya menutup matanya tak kunjung membuka juga seperti orang tidur dengan posisi duduk tegap sembari memegang dagunya. Bruno yang mulai kesal berencana meninggalkan Max yang sedang berpikir seperti tertidur itu.

Belum sempat bangun dari tempat duduk, Bruno sudah ditarik Max dan dia sudah membuka matanya terlihat seperti punya segudang rencana yang ia pikirkan.

"Aku tau kita harus kemana sekarang", kata Max dengan wajah sok tau.

"Emang kita mau kemana sekarang? Aku tak akan berpikir kau akan mengambil air itu, dasar bodoh". Bruno menjawabnya dengan nada kesal.

"Aku tadi sempat berpikir bahwa ada ramuan yang katanya bisa menyembuhkan luka tusuk seperti guru David yang dijual di desa kita ini. Tapi aku lupa nama ramuan itu apa", jawab Max dengan ragu-ragu sembari tersenyum.

"Apa hanya itu yang dapatkan setelah memejamkan mata selama 20 menit?".

"Yahh.. bagaimana lagi, aku hanya lupa nama ramuannya saja. Dan itupun aku hanya sekilas pernah mendengar ramuan ini dari obrolan orang".

Bruno yang semakin kesal hanya terdiam menahan amarah dan tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya menggaruk kepalanya dengan usaha untuk menahan emosinya. Tak pikir lama Bruno mengajak Max ke toko ramuan untuk mencari ramuan yang ia bicarakan.

"Tuan Hans, kami pergi sebentar, tolong jaga guruku", teriak Bruno dari luar rumah.

"Ya, cepatlah kembali. Setelah ini aku harus kembali ke kerajaan. Giliran kalian yang menjaganya setelah aku pergi".

Kemudian Max melompat dari bangku duluan, dan kemudian mengulurkan tangannya pada Bruno yang sedang duduk manis.

"Apa yang kau lakukan? Aku masih bisa berjalan".

"Benarkah? Bagaimana jika aku saja yang membelikan obatnya, agar kita bisa mendapatkan obatnya sedikit lebih cepat" kata Max tergesa-gesa.

"Hehh.. mana bisa begitu, aku muridnya, aku harus turun tangan untuk membeli obat itu, tak apa kan?" tanya Bruno mengedipkan matanya. Max hanya tersenyum pasrah lalu pergi bersama menuju toko ramuan.

Setelah sampai toko ramuan itu mereka berhenti sejenak dan melihat papan nama yang tertulis diatas pintu 'VaidGoirt. Sedia segala ramuan'.

"Apa mungkin ini tempatnya? Setahuku tempatnya tidak seburuk ini", ucap Max wajahnya eneg.

Mereka kebingungan dan ragu ketika ingin memasuki toko itu yang terlihat seperti gudang yang diasingkan, tidak ada pengunjung dan banyaknya bahan-bahan ramuan yang berceceran di depan toko itu.

Beruntung ada seorang kakek yang sangat tua, mereka pun bertanya pada kakek itu untuk meyakinkan apakah benar toko ini memang VaidGoirt yang menjual ramuan sihir. Kakek itu terdiam beberapa detik kemudian ia mengangguk dan meninggalkan mereka tanpa satu kata pun.

"Apa kakek itu baik-baik saja? Mukanya sangat suram dan terlihat sangat tua. Bau badannya pun sangat menusuk hidungku seperti hidungku kemasukan tanah", kata Bruno menekan hidungnya.

Dengan setengah ragu setengah yakin, mereka memaksa memasuki toko itu dengan jalan yang tidak biasa. Sangat hati-hati dan mengawasi sekitar. lonceng yang dipasang didekat pintu itu berbunyi ketika mereka membuka pintu.