"Hee.. mengapa seolah-olah kau mengaturku seperti kau yang punya makanan ini," kata Bruno mengejek Max.
"Aku hanya mengingatkan saja, selain itu berhentilah bicara dengan nada seperti itu, kau serperti sedang mengejekku," tegas Max.
"Lalu kenapa?" Nada usilnya sangat mengganggu Max.
"Sialan kau!" Max ikut tertawa dan mengambil satu kacang diatas piring, melemparnya tepat sasaran di kepala Bruno.
"Sudahlah, ayo buruan makan, cacing diperutku sudah memberontak sejak tadi," ajak Bruno mukanya terlihat pucat kelaparan seraya memegang perutnya.
Mereka duduk di atas kursi makan, mengambil satu piring dan menaruh semua jenis makanan satu persatu diatas piring itu, kecuali permen segala rasa.
Bruno yang tadinya kelaparan seperti orang yang tak makan selama satu minggu, mendadak ia merasa kekenyangan. Perutnya kesakitan menompang semua makanan itu. Beruntung saja Max tadi mengingatkannya untuk tidak menghabiskan semua makanan, jika tidak mungkin saja perut Bruno bisa meledak seperti ban meledak.
Ia memegang perutnya yang kesakitan sambil bersandar dikursi menengadah melihat lampu bohlam di atasnya. Bruno tidak bisa mengatur nafasnya dengan baik, mungkin saluran pernafasannya buntu ketutup dengan makanan.
"Kau kelihatan menikmati semua makanan ini ya," desis Max dengan nada sedikit mengejek.
"Diamlah, aku…. tidak bisa…. mengobrol sekarang," kata Bruno tersengal berkeringat mengatur nafasnya.
Mereka berdua telihat kekenyangan namun Max masih bisa bernafas dengan normal, perutnya juga tidak kesakitan. Meskipun ia mengambil semua jenis makanan tetapi ia mengambil satu perempatnya saja.
Bruno yang tersengal menengadah melihat ke langit-langit rumah, kesukaran dalam mengatur nafasnya seperti orang mau mati menghabiskan setengah dari semua makanan itu.
Mereka menyisakan makanan untuk David satu perempatnya saja, seperti porsi yang dimakan Max. Selepas tersengal Bruno menoleh ke gurunya yang masih juga tak sadarkan diri.
Seketika wajahnya murung telah menunggu gurunya tak kunjung bangun juga selama seharian penuh. Pikirannya masih saja menduga kemungkinan gurunya tidak akan pernah bangun lagi.
Bruno yang tak ingin pikirannya menjadi liar, mendadak memukul mukanya sendiri berkali-kali. Wajahnya memerah, hidungnya berdarah, pipinya ada bekas pukulannya yang membuat Max kebingungan.
"Sedang apa kau? Memukul dirimu sendiri apa bagusnya?"
"Tak apa, lupakan saja". Bruno yang tak mau jujur justru Max semakin kebingungan seraya mulutnya ternganga, keningnya sedikit merengut.
"Max, bantu aku ke kamar mandi, aku tadi belum sempat mandi", minta Bruno sedikit malu.
"Baiklah. Sini biar aku bantu berdiri". Max menjulurkan tangannya.
Mereka kembali saling menyunggi bahu, saling memegang tangan dan berjalan pelan menuju ke kamar mandi. Merekapun sampai di depan kamar mandi
"Apa aku harus menemanimu mandi juga..hehe," canda Max.
"Jangan menanyakan hal itu seakan-akan aku menerimanya! kau diluar saja, lagian di kamar mandi ada dingklik agar aku bisa mandi sambil duduk. Sebelum itu… tolong bawa sebentar gelangku" ujar Bruno melepas gelangnya dan menjulurkannya pada Max.
"Baiklah kutunggu di luar. Ngomong-ngomong kau seperti orang lumpuh saja, mandi harus memakai kursi. Hahaha".
"Jaga mulutmu, dasar bodoh!"
Max menunggu Bruno diluar seraya meraba dan mengamati gelangnya. Gelangnya yang ia pakai sama yang dipakai Bruno, hanya saja di tengah gelang itu ada semacam bola kecil yang bersinar seperti mutiara, bola itulah yang mempunyai ciri khas tersendiri sesuai keinginan pemiliknya.
Bola itulah yang memicu para penyihir mengeluarkan sihir mereka. Yang mana punya Max berwarna biru tua dan Bruno berwarna merah gelap seperti darah.
Gelang sihir juga mempunyai motifnya tersendiri sesuai keinginan pemiliknya. Motif gelang milik Max dan Bruno bercorak Naga yang menjulur panjang dengan tubuh berkelok, mengelilingi gelang itu.
Warna gelang mereka pun sedikit unik, abu-abu dan sedikit campuran warna putih membuat gelang itu menyolok mata seperti lampu kendaraan. Bahkan hampir sama dengan warna rambutnya.
Setelah beberapa menit, suara gerujukan air di kamar mandi lama tak terdengar. Tentu saja Max tau Bruno mungkin sudah selesai mandi dan sedang mengeringkan badannya. Dia pasti kesakitan ketika membersihkan telinganya, wajar saja jika ia lama ketika mandi.
Max merasa kasihan. Meski luka itu sudah sangat lama tetapi rasa sakitnya masih terbawa hingga sekarang. Semua ramuan dan obat pun hanya bisa meredakan rasa sakitnya hanya beberapa hari saja, setelah itu rasa sakitnya kembali muncul ketika dipegang. Itu seperti semacam kutukan dari penyihir jahat, pikirnya.
Setelah mengingat luka itu, Max mendengar suara decitan pintu terbuka, ia langsung berdiri dan melihat Bruno yang sudah berpakaian, rambutnya acak-acakan sedang berpegangan dengan gagang pintu seraya bersandaran pintu kamar mandi.
Max langsung melompat bangun berdiri dan menyunggi Bruno berjalan menuju pada gurunya yang masih terkapar.
Melangkah perlahan, badannya yang lemas seperti orang hampir padam nyawa, raut mukanya yang tidak bersemangat.
Ketika sudah di depan ranjang David, Max menaruh Bruno di kursi bersandar dan ia duduk di kasur David yang masih ada sedikit ruang.
"Aku haus, aku akan mengambil minum. Kau mau?" tanya Max menoleh Bruno.
"Aku ingin minum yang bersoda. Tolong ambilkan satu botol saja" jawab Bruno tak memandang Max, melainkan gurunya.
"Apa tidak kebanyakan satu botol? Bagaimana satu gelas saja?".
"Tak apa, aku sedang haus sekali. Jangan lupa bawakan es batu juga".
Bruno memegang tenggorokannya merasa kepanasan, mungkin karena haus berat atau sengaja meragakannya agar Max terlihat seperti budak.
"Baiklah akan kuambilkan".
Max melompat dari kursinya menuju meja makan yang sudah tersedia berbagai makanan dan minuman. Ia mengambil satu botol cola untuk Bruno dan satu gelas jus untuknya dan beberapa camilan.
Kemudian ia mengarah ke alat pendingin yang berwarna putih kebiruan, dan mengambil beberapa bongkahan es batu lalu ia masukan ke dalam mangkok berukuran besar. Kedua tangan max penuh memegang minuman, makanan, dan es batu.
Tentu saja ia merasa kesulitan membawanya. Ia kembali lagi ke ranjang David dan menaruh makanan dan minuman itu di atas meja samping tempat tidurnya.
"Ambil cola mu sendiri, akan kutaruh di meja" ujar Max seraya menaruh sebotol cola di meja.
"Ya, terimakasih," Bruno terlihat datar masih menatap gurunya.
"Apa kau baik-baik saja? Kau terlihat pucat." Max mengkhawatirkan Bruno.
"Tak apa." Jawab Bruno mukanya masih datar, persis dengan suaranya. "Aku hanya kelelahan saja, selain itu aku juga khawatir dengan guruku. Sudah seharian ia tak bangun-bangun".
"Tenang saja, seperti yang dibilang tuan Hans, tuan David baik-baik saja, mungkin ia hanya butuh istirahat yang banyak setelah misi rahasianya."
Kemudian Bruno mengambil minumannya dan menuangkan cola ke gelas, mengambil beberapa butir es batu dan langsung meneguknya sampai habis bahkan es batu nya sekalipun. Wajahnya masih saja terlihat panik dan batinnya bising tak henti-henti menggumamkan kematian gurunya.
Max yang sedang minum segelas es sirup hanya bisa melihat kebingungan seraya memasukan kacang polong dan kacang tanahnya secara bergantian. Ia tak mau menanyakan hal yang sama, mungkin bisa membuat Bruno marah, pikirnya.
Bruno diam-diam mengambil kacang tanah dan melahapnya satu-satu disambung meminum colanya. Masih kurang, ia juga mengambil beberapa kacang polong.
Sialnya ketika memakan kacang polong itu. Tak sengaja, nampaknya ada cabai menyelinap entah bagaimana caranya, dengan jumlah yang tak terhitung membuat Bruno terlihat menjerit-jerit kepedasan.
Colanya yang tersisa 3 tegukan belum bisa menghilangkan rasa pedasnya, Max yang terkejut melihatnya mengulurkan tangannya yang sedang membawa segelas jus.
Bruno langsung menyawut jus itu, langsung meneguk habis jus yang diambil Max bahkan ia baru meminumnya 2 tegukan.
Max yang jatahnya minum sirup itu, ternganga kaget melihat minumannya diteguk habis oleh Bruno tak lebih dari empat detik. Bruno yang melihat wajahnya terbahak-bahak melihat Max yang merasa kesal seraya memegang perut, menahan tawanya.
"Kembalikan gelasnya! Awas kau ya orang yang tidak tahu berterimakasih," geram Max melonjak dari kursinya dan mengambil minum lagi dengan perasaan kesal.
"Haha.. maafkan aku. Aku tak tau jika ada beberapa cabai di kacang itu. Kau tau sendiri kan, aku tidak terlalu suka pedas", kata Bruno tertawa.
Max kembali ke tempat duduknya di atas ranjang yang sama dengan David. Mereka berbincang-bincang tentang lelucon-lelucon, seperti mati akibat kekuatan sihirnya sendiri, itu adalah suatu hal yang konyol yang ada di dunia sihir, menurut mereka.
Berjam-jam mereka tertawa terbahak di depan gurunya yang sedang tak sadar, dipikiran Max seketika terlintas tentang kejadian di kamarnya Bruno.
"Hei Bruno, aku akan memberitahumu sesuatu, ini penting," desis Max sambil mengecilkan suaranya.
"Kau ini kenapa? Kita sedang membicarakan hal yang lucu, tiba-tiba kau ingin bicara serius, dasar aneh," jawab Bruno wajah terlihat bosan.
"Tidak-tidak… Kurasa ini memang penting jadi aku harus memberitahumu sekarang."
"Baiklah kalo begitu, apa yang ingin kau bicarakan?"
Hening sejenak. Max mengambil nafas dalam-dalam