Chereads / Petualangan Mavcazan / Chapter 11 - Antonio Arstya

Chapter 11 - Antonio Arstya

Bruno dan Max saling memandang satu sama lain, dan menelan ludah akan kegugupan untuk masuk ke Asrama Sihir.

Selama ini mereka hanya latihan ringan di lapangan yang telah disediakan untuk melatih sihir.

Mereka saat latihan pun biasanya juga berbincang, becanda, terkadang juga sambil membawa makanan dan memakannya ketika latihan.

Tapi mereka mulai berpikir ketika sudah masuk di Asrama Sihir, latihannya sangat berat tanpa istirahat, harus sungguh-sungguh tanpa ada candaan sedikit pun.

Mereka yang kelihatan tegang, takut, gugup merasa bimbang ingin daftar Asrama Sihir atau tidak..

"Hahaha, kalian kelihatan tegang sekali. Tenang saja, Asrama Sihir itu menyenangkan," tertawa David berusaha menenangkan mereka berdua. "Tapi aku yakin tes untuk masuk Asrama Sihir sangatlah mudah bagi kalian, aku yakin itu."

"Berati kami tidak usah belajar untuk tesnya, Tuan?" tanya Max penasaran.

"Kalian tak perlu belajar untuk tes itu, lebih tepatnya kalian lebih baik latihan sebelum hari tes."

"Latihan? Tapi kami selalu latihan setiap hari," desis Bruno.

"Ya, baguslah jika kalian setiap hari latihan, tapi kurasa untuk Max, kau harus perbanyak durasi latihanmu dari biasanya. Untuk Bruno, kau cukup sekali saja tapi aku sarankan keluarkan sihirmu semaksimal mungkin sampai kau pingsan jika memungkinkan. Itu lebih baik daripada kau latihan setengah-setengah. Karena hasil latihan kalian akan berguna ketika kalian menghadapi ujian itu." David menambahkan.

Berlatih sampai pingsan, sungguh sangat berlebihan. Tetapi ia tetap mengikuti perintah dari gurunya.

"Baik, guru" kata mereka bersamaan.

"Oh ya ngomong-ngomong aku setelah ini aku akan pergi menemui tuan Vycolt. Apa kalian menunggu di sini sampai aku pulang atau kalian setelah ini pulang?" tanya David.

"Bukankah tuan Vycolt tinggal di kerajaan? untuk apa kau menemuinya, guru?"

"Sebelum kalian bangun aku mendapat surat darinya. Mereka sekeluarga sementara tinggal di Desa Hakuba untuk liburan. Selain itu mereka masih punya rumah di desa ini"

"Ohh berarti Arstya sudah di rumah, ya? Sudah lama aku tidak bertemu dia," ujar Max wajahnya tak sabar menanti pertemuan dengan teman perempuannya.

"Ya, aku juga. Lagian Arstya adalah teman dekat kita." Bruno juga memasang wajah yang sama dengan Max.

"Jadi bagaimana? Apakah kalian menunggu disini?" David tanya lagi.

"Tidak guru, kurasa kami akan menemui Arstya, kami sudah lama tak bertemu dengannya."

"Kalian ini ketemu Arstya ingin menggoda karena dia cantik, kan?" tanya David mengejek mereka.

"Berisik! Guru hanya mengacaukan suasana saja," seketika mood Bruno hancur.

"Baiklah kalau begitu, kalian boleh pergi duluan."

"Baik, sampai jumpa" kata Bruno seraya melambaikan tangannya, Max juga mengikutinya dan berjalan mengarah pintu keluar.

"Kau masih belum sembuh total, jadi jangan paksakan dirimu, tuan."

"Ya terimakasih kalian telah menjagaku selama aku tak sadarkan diri. Kalian juga berhatilah-hatilah. Titip salam untuk orang tuamu, Max," kata David ramah.

Bruno menutup pintu dari luar, dan mereka seketika merasa seperti di surga. Angin tenang yang menghantam tubuh mereka terasa semilir, sinar matahari yang menyolok tidak terasa panas, oksigen yang mereka hirup pun terasa segar seperti di pegunungan. Penduduk Desa Hakuba pun terlihat senang melakukan aktivitas mereka.

Tanaman dan hewan pun juga terlihat menikmati suasana ini, memang tidak ada duanya kenikmatan suasana di pagi yang cerah.

Max yang berdiri di belakang Bruno, menepuk bahunya.

"Sebelum menemui Arstya aku ingin pulang dulu, mungkin orang tuaku menunggu kepulanganku. Kau mau ikut?" tanya Max suasana hatinya sedang tenang.

"Kayaknya enggak, aku juga ingin pulang ke rumahku. Selain itu aku harus mandi dulu sebelum menemui Arstya."

"Hee.. Jika kau hanya mandi, Arstya tidak akan pernah menyukaimu lho" Max menggoda Bruno seraya tertawa kecil."

"Sudah kubilangkan…!" desah Bruno. "Aku tidak menyukainya, ya memang menurutku dia cantik, sih. Tapi bukan berarti aku menyukainya. Tapi… Selain itu aku mandi agar dia tak menjauh dari badanku yang busuk ini" Bruno menambahkan, wajahnya terlihat aneh dan panik.

"Hahaha baiklah kalau begitu, aku duluan ya. Nanti aku akan menghampirimu. Kau tunggu saja," ujar Max seraya berjalan ke rumahnya.

"Baiklah, akan kutunggu. Jangan lama-lama," teriak Bruno pada Max yang mulai menjauh.

Mereka pun berjalan ke arah yang berbeda. Max yang berjalan santai menikmati angin yang semilir, hatinya merasa tenang.

Ia merasa Desa Hakuba adalah surga dunia, sampai ia lupa, Ibukota Kerajaan tentu dari segi pemandangan dan tata bangunan lebih indah dan terstruktur dari Desa Hakuba. Ia berjalan melewati taman, jembatan, pasar dan restoran yang bisa dibilang sedikit mewah.

Sampai di rumahnya, Bruno tergesa-gesa dalam segala hal, dari mengambil handuk, mandi, mengeringkan badan, memakai pakaian, merapikan rambut, itu ia lakukan tidak ada lima belas menit lamanya.

Tak sengaja ia menyenggol luka telinganya, ia mendesis kesakitan. Mungkin Bruno memang tak sabar ingin berjumpa Arstya, sebagai teman dekatnya? atau mungkin ingin bertemu dengan pujaan hatinya?

Sembari menunggu Max menghampiri, Bruno membersihkan rumahnya yang ia tinggal seharian. Rumahnya tidak terlalu kotor, namun debu-debu di peralatan rumahnya menempel cukup banyak seperti barang rongsokan yang tersimpan di gudang.

Membersihkan rumahnya pun ia juga terlihat buru-buru, seperti sedang dikejar waktu. Ia pun sudah menyelesaikan pekerjaan rumahnya, namun Max juga tak kunjung datang.

Padahal Max sudah berjanji akan menghampiri Bruno, meskipun ia baru menunggu Max belum selama setengah jam.

Daripada menunggu Max hanya berdiam diri di depan rumah, Bruno lebih memilih kembali ke kamarnya dan membaca buku. Ia membaca buku Sejarah Kerajaan Okuba seperti Max katakan ada satu dua kata tentang ayahnya, Yurino Mavcazan.

Namun selintas Bruno berpikir mereka berdua terselap menanyakan kejadian di buku itu pada David, sebab pikiran mereka sedang dipenuhi pertanyaan tentang misi rahasia David dan luka di perutnya.

Bruno pun membuka lembar perlembar mencari sangat teliti tentang ayahnya, mungkin saja dulu ketika Bruno membaca buku itu sempat melewatkan momen-momen penting.

Tapi ia sangat tidak ragu, bahwa dirinya tak pernah melewatkan satu momen pun. Ia hafal semua isi buku 190 halaman itu diluar kepalanya.

Mencari selama sepuluh menit tak membuahkan hasil, Bruno menyerah dan meletakkan buku diraknya, kemudian terlentang diatas kasurnya yang sangat empuk, membuatnya memantul beberapa kali seperti halaman dipenuhi tumpukan karet.

Mungkin itu hanya perbuatan penyihir jahil, ya. Tapi mengapa harus aku, pikirnya.

Mungkin saja semua buku di dunia ini seperti ini? Dan mengapa kejadian itu baru saja terjadi belakangan ini?. Bukannya tenang, ia justru memikirkan yang seharusnya tidak ia pikirkan lebih jauh lagi.

Duk duk duk…

Suara ketukan pintu sangat keras terdengar dari luar rumah, Bruno yang berada di kamar terkejut ringan.

"Ya sebentar, Max," teriak Bruno dari dalam rumah berjalan menuju pintu tergesa-gesa.

Duk duk duk… suara ketukannya semakin keras membuatnya kesal dan berjalan mengarah pintu seraya berdesis.

"Dasar tuli!"

Ketika sudah di depan pintu, Bruno langsung membukanya dengan kencang dan berteriak "Apa kau ini tu…." Seketika ia diam, terbelalak.

"Selamat pagi, Bruno. Bagimana kabarmu?"

Tak disangka orang yang menghampiri Bruno bukanlah Max. Tetapi gadis cantik seusia dengannya, rambut lurusnya berwarna beige sepanjang punggung, matanya hitam mengkilap, rambutnya coklat kemerahan, dan senyuman ramahnya yang meluluhkan hati Bruno.

Ya, orang yang menghampiri Bruno adalah Arstya, teman dekat Bruno sejak kecil.

"A.. Ar.. Arstya," kata Bruno gugup. "M.. mengapa k… kau kerumah..ku? Perasaannya berdebar sangat cepat, bahkan lebih cepat dari kecepatan suara.

"Eh, mengapa aku ke rumahmu? Tentu saja aku ingin bertemu denganmu". Katanya sangat lembut dihiasi senyuman ramah.

"T.. tapi aku baru saja ingin menemuimu bersama Max".

"Ya aku sudah tahu dari tuan David. Makanya aku buru-buru kesini sebelum kau yang ke rumahku. Sedikit mengejutkanmu, bukan?"

Bruno pikir itu bukan sedikit, tapi sangat mengejutkannya sampai membuatnya berkata saja sampai terbata-bata. Selain itu Bruno juga tidak tahu mengapa Arstya yang mengunjunginya, sedangkan yang ia tunggu adalah kedatangan Max.

Hal ini terjadi diluar dugannnya yang membuat gugup.

"Y.. Ya, justru aku sangat terkejut melihatmu yang menghampiriku," jawab Bruno malu, wajahnya memerah