"Kurasa yang dikatakan Arazar itu ada benarnya, tuan Stern." Killyan ikut buka suara, selagi ia akan menaruh botol wine yang sudah hampir kosong ke meja belakang.
"Maaf jikalau aku akan lancang, tuan Stern— tetapi kali ini aku setuju dengannya. Mana mungkin seorang rakyat jelata dari negeri luar sepertiku bisa ikut serta menjadi seorang perwakilan Fraksi wilayah. Jika itu hanya untuk menjadi seorang Jenderal, itu sedikit terdengar lebih masuk akal." Dmitry mengatakannya sesantai mungkin, padahal ia mencoba menyindir secara halus. Ia pun meneguk minumannya setelah rasa tegang tadi berlalu.
"Kau terlalu merendahkan dirimu, tuan Dmitry." Stern berkata dengan pelan, menatap lurus Dmitry di seberang meja dengan ekspresi serius.
"Tidak, tidak, tuan Stern. Aku serius."
"Kau tidak berpikir aku akan tahu tentangmu dan asal-usulmu, tuan Dmitry? Ingin kukatakan siapa dirimu sebenarnya di sini, Leonardo Dmitry?" Stern mengedipkan lambat matanya, dan iris seputih kristal bersinar di bawah kelopak matanya yang setengah terbuka.
Raut wajah Dmitry yang awalnya santai saja kini berubah menjadi serius karena suasana sudah memasuki ketegangan. Manik biru matanya berkilau dalam kekosongan, menatap kosong ke arah Stern— walau itu adalah emosi kemarahan yang tersembunyi.
"Sejak kapan kau tau, Westlitcher Stern?" Dmitry bertanya dengan nada sepelan mungkin, dan raut wajahnya menjaga ketenangan yang sengaja dia pertahankan.
Sementara Stern, dia merasakan nafsu membunuh yang mengerikan terselip di setiap kalimat yang keluar dari mulutnya Dmitry.
"Entah ... aku telah tertarik padamu sejak lama sekali."
Dmitry menyadari jika
orang ini akan memaksakan kehendaknya apapun yang terjadi. Dia merasa jika tidak diberikan pilihan sama sekali. Apa yang dia inginkan sebenarnya.
Dmitry memejamkan matanya saat memikirkan itu, kemudian menghela napas dan kembali tenang. Ekspresinya sudah kembali jadi lebih santai ketika ia membuka matanya. Dmitry kemudian berkata,
"Baiklah. Biar kukatakan sesuatu, tuan Stern. Jika aku mengikuti pemilihan ini untuk menjadi penerus ketua fraksi wilayah seperti katamu itu, maka sang raja maupun The Generals tidak akan diam saja dan membiarkannya terjadi. Ditambah lagi, apa aku bisa menjadi seorang Jenderal jika sekaligus aku seorang perwakilan ketua fraksi? Apa yang kau katakan itu terdengar sedikit tidak masuk akal, tuan Stern."
Stern sedikit mengangkat kepalanya dengan wajah percaya diri, dan mengatakan,
"Tentang itu, kau serahkan saja kepadaku. Semuanya yang telah dibutuhkan sudah kupersiapkan. Sang raja maupun para sebelas jenderal lainnya tidak akan bisa mengusikmu. Karena aku telah memiliki rencana matang yang pasti akan membuatmu masuk ke dalam pemilihan itu dan menggantikan peranku."
Dmitry hanya menatap dengan ekspresi bosan, lalu kembali menghela napas. Dia terlihat kehilangan semangat saat mendengar jawaban yang bukan dia inginkan. Ini memang terlalu mendadak.
Dmitry kemudian melirik ke arah Killyan yang sedang bersandar di meja belakang seraya menikmati minumannya dengan tenang. Dmitry lantas bertanya,
"Apakah orang di belakangmu itu juga ikut bagianmu, tuan Stern? Sepertinya dia masih tidak tahu apa-apa."
"Jenderal Killyan memang masih belum mendengar keseluruhannya. Tetapi, dia juga ikut ambil peran dalam rencanaku."
"Bagaimana dengan dia?" tanya Dmitry saat melirik ke arah Komodor Arazar yang sedang duduk dengan pose tegang sambil menyilangkan kedua tangannya di atas dada.
"Arazar sedari awal sudah bertugas di bawah komandoku. Dia tidak perlu diragukan." Stern menjawab pertanyaan Dmitry dengan ramah.
"Jadi begitu. Tuan Stern, bisa kau jelaskan kembali tujuanmu ingin menjadikanku sebagai ketua Fraksi Barat sekaligus pengganti peranmu sebagai seorang Jenderal sebelumnya?" Dmitry lebih menekan lawannya dengan pertanyaan ini.
Stern tampak terdiam untuk sesaat— memikirkan sesuatu yang harus dia bicarakan, dan mana yang tidak.
"Baiklah. Sebenarnya saat ini sebagian Fraksi wilayah sedang memanas akibat—"
"Aku sudah tahu itu, maksudku adalah, katakan padaku tujuanmu dibalik rencanamu itu, tuan Stern!?" Dmitry menyela dengan nada suara yang menggertak.
Melihat respon Dmitry, Killyan melotot kesal. Pembuluh darahnya berkumpul di sekitar matanya.
"Jaga nada bicaramu itu, Dmitry—"
Killyan tidak lagi melanjutkan perkataannya setelah melihat Stern mengangkat tangan kirinya— tanda perintah berhenti kepada dirinya.
"Tidak apa-apa, tuan Killyan. Kita tidak akan bisa membohongi seorang jenius yang memiliki gelar [The Librarian] satu ini dengan mudah." Stern sekali lagi menunjukkan ekspresi serius, dan melanjutkan, "Karenanya aku ingin membuat kesepakatan denganmu, Leonardo Dmitry. Ini akan saling menguntungkan kedua belah pihak."
Dmitry kembali memejamkan matanya— agak lebih lama dari sebelumnya. Sebagian pembuluh darahnya membentuk urat yang mengeras di sekitar pelipis wajahnya. Ekspresi ini sudah mempertegas emosi tidak percaya dalam hati Dmitry.
Dia sebenarnya sudah menemukan jawaban dari tujuannya kali ini. Dan dia tidak boleh gegabah dalam bertindak. Dmitry kemudian membuka matanya dengan sorot setajam pisau, dan berkata,
"Maafkan aku, tuan Stern. Sedari tadi kau hanya memutar-mutar arah pembicaraaan ini, aku tidak bisa memercayaimu."
Segera, Dmitry beranjak dari kursinya dan berjalan meninggalkan tempat itu seorang diri—
Sebelum mencapai pintu keluar tenda— Dmitry dibuat berhenti saat mendengar suara tertawa kecil yang pahit untuk didengar ; mungkin karena penutup wajahnya membuat suaranya terdengar tertahan dan teredam. Dmitry menoleh ke belakang, dan melihat Stern menepuk-nepuk kedua telapak tangannya seolah berhasil menguji sesuatu.
"Aku sudah menduga bagian ini, jika kau tidak akan memercayaiku begitu saja, tuan Dmitry." Stern berkata dengan nada yang rendah, dan sorot matanya yang redup memandang kecewa sesuatu dari dirinya.
Stern kembali menambahkan, "Karena itu aku terpaksa membawanya bersamaku. Masuklah!"
Stern memanggil seseorang seraya menjentikkan jemarinya. Kemudian, yang merespon dari luar tenda adalah suara langkah kaki yang berat menuju ke tempat mereka.
Dmitry menatap ke arah sumber suara dan menyaksikan siluet bayangan hitam yang datang dari arah luar tenda. Sesaat kemudian, sepasang sarung tangan hitam menarik kain penutup tenda— dengan percaya diri melangkah masuk ke dalam.
Dmitry merasa kaget hingga menunjukkan ekspresi yang tidak seperti biasanya saat melihat kedatangannya.
Seorang pria berambut coklat tua yang mungkin usianya sudah empat puluh tahun berdiri dengan pose elegan dan gagah— dengan mengenakan setelan yang tampak mahal, memakai seragam hitam sebagai dasarnya, dan lapisan rompi yang diukir dengan bordir emas ke dalam jahitannya.
Kesannya terlihat seperti seorang prajurit yang sangat brutal, didukung oleh ekspresi alami dari wajahnya yang memiliki banyak bekas luka goresan di masa lalu. Sebuah kotak hitam seperti koper tergenggam erat di tangan kanannya.
"Aku datang, tuanku." Dia berkata dengan nada rendah, seraya membungkuk dan memberi hormat dengan ayunan tangan kanannya yang menyentuh sisi dadanya.