Gadis side
Ujo langsung memeluk ku dengan erat ketika kami bertemu di cafe tempat kami berjanji untuk saling bertemu. Ia tampak sedikit berubah lebih berisi dan terlihat lebih berwibawa dengan kumisnya. Dua tahun tak bertemu tak membuat kami menjadi canggung, kami malah bersemangat membahas teknologi-teknologi baru yang sedang kami kembangkan. Saling terkagum dengan pencapaian yang di raih. Dan saat ini pun ujo disini dalam rangka mengembangkan teknologi baru yang sedang ia bangun bersama dengan perusahaan nya yang baru ia bangun satu tahun belakangan ini bersama beberapa teman lab kami dulu.
Alya yang tak mengerti dengan obrolan kami hanya mendengar kan sambil sesekali mengangguk jika ada bahasan yang ia pahami. Membuat aku dan ujo terbahak melihat kepolosannya.
"Ah seneng nya kita bisa kumpul kaya dulu lagi" ujar ujo sambil merenggangkan tangannya. Seolah melepas sesuatu yang sudah lama terganjal dibadannya.
"Iya, cuman kurang davi ya?" Ujarku sambil menyeruput ice late ku. Ujo tampak melirik alya ketika aku menyinggung davi. Rasanya aku sudah lama tak berkomunikasi dengan nya. Terakhir saat dia berada di bolivia. Tak seperti aku dan ujo davi memilih melenceng jauh dari bidang kami. Ia lebih memilih menjadi photographer alam yang pekerjaan nya keliling dunia. Terkadang dia berada di suatu wilayah terpencil yang bahkan tak terjangkau oleh internet. Ntah apa yang membuatnya memilih pekerjaan yang meletihkan itu. Setau ku dia bukan tipe adventurer yang tergila-gila dengan kecantikan alam dan bercita-cita mengelilingi dunia. Setiap aku bertanya davi hanya bilang jika ia ingin melupakan cintanya. Lebih tepatnya dia ingin mengobati patah hatinya. Ya pertamanya demikian namun berakhir menjadi hobi.
"Loe tau mantan nya siapa jo?" Tanya ku kemudian.
"Hah? Coba loe tanya aya" Ujo tampak tergagap. Seperti tak ingin menceritakan sebuah rahasia besar.
Alya yang di lempar pertanyaan tampak tak kalah paniknya. Membuatku semakin penasaran. Sebenarnya siapa mantan davi yang membuat ia kabur dari hidupnya dan membuat ujo dan alya tergagap seperti ini. Aku menatap ujo menyelidik. Aku bukanlah tipikal orang yang ingin tahu telalu dalam akan kehidupan pribadi orang lain. Tapi tingkah mereka yang seolah ingin menutupi sesuatu membuatku ingin membongkarnya .
Ujo tampak terintimidasi dengan tatapan ku. Ia baru hendak menceritakan sesuatu ketika tiba-tiba alya menarik tangan ku dan mengajak kami berkeliling Cambridge.
"Udah mau sore kita ke bridge of sighs yuk" ujar alya sembari menarik ku keluar. Membuat aku dan ujo akhirnya mengikutinya.
Kami bertiga asik menikmati suasana bridge of sighs lalu beralih kebeberapa musium . Setelah akhir nya membeli sandwich untuk makan malam kami. Duduk di pingiran sungai sam sambil memperhatikan beberapa perahu touris yang lewat. Memberikan suasana liburan yang menyenangkan. Kalau di pikir-pikir setelah sekian lama berteman baru kali ini aku merasakan tamasya bersama ujo dan alya meski minus davi. Karena dulu saat kuliah aku tak punya cukup waktu dan uang untuk melakukan kegiatan seperti ini.
"Habis ini kalian mau kemana?" Tanya ujo sambil mengunyah sandwich nya yang tinggal setengah.
"Ntah, yang jelas besok pagi sebelum pulang kita mau ke the backs" ujar ku
"Hmp pilihan bagus" ujo menelan potongan sandwich nya yang terakhir. Dan berpamitan. Karena tak bisa menemani kami sampai malam. Masih banyak pekerjaan yang harus di beresi.
Dengan pelukan terakhir akhirnya kami berpisah. Namun percakapan kami di cafe tadi siang masih mengganggi ku. Sebelum ujo benar-benar berlalu aku menahan nya untuk bercerita tentang apa yang terjadi. Namun di luar perkiraan ku ujo malah menjawab dengan jawaban yang tidak aku harapkan.
"Ga enak gw ceritanya. Loe tanya alya aja ya" Saat itu alya sedang ke toilet hingga aku tak bisa langsung bertanya padanya.
Sejujurnya aku memiliki firasat yang tak enak tentang alasan davi pergi. Namun aku tak ingin menghancurkan suasana liburan ini. Aku akan menahan rasa penasaran ku. Setidaknya nanti sampai kita tiba di manchaster.
Namun meski begitu. Pikiran itu terus menghantuiki. Bahkan aku tak bisa benar2 menikmati sisa liburan kami. Alya tampak membaca air mukaku. Alih-alih melanjutkan berkeliling menikmati Cambridge di malam hari. Alya mengajak ku kembali ke hotel yang sudah kami pesan sebelum bertemu dengan ujo di cafe. Dan aku menurutinya.
Sepanjang perjalanan tak ada kata yang terucap dari mulut kami. Aku sibuk dengan pikiran ku. Dan alya ntah apa yang ada dipikiran nya saat ini.
Sampai dikamar hotel kami memilih membersihkan diri sebelum akhirnya ke kasur kami. Alya tampak menatap ku dalam sambil menggengam kedua tanganku. Aku menantikan apa yang akan ia ucapkan.
"Iya, itu aku" seolah bisa membaca isi otak ku. Akhirnya alya bersuara.
"Mantan davi yang bikin dia kabur dari kehidupannya. Itu aku." Duniaku seolah berhenti. Bagaimana mungkin. Aku takan semarah ini jika bukan davi yang alya jadikan pelarian saat terpisah denganku. Aku akan memakluminya jika lelaki itu bukan sahabat dekatku. Karena bukan hanya dia yang mencari pelarian, akupun demikian. Aku menarik napas ku panjang melepas gengaman alya dan hendak pergi meningalkannya sendirian di ruang ini namun tangan alya telah menggapaiku kembali.
"Gadis please, dengerin aku dulu," ujar alya terisak. Membuatku membalikan badan dan menatapnya kalut.
"Sebenernya berapa banyak rahasia yang kamu simpen dari aku?" Emosiku pecah seketika
"Maksud kamu?" Alya menatapku tak mengerti.
"Obat tidur, obat penenang, davi, apa lagi?" Aku menatap alya tajam meminta penjelasan.
"Dua minggu kita bersama, kenapa kamu ga cerita apa-apa tentang kehidupan kamu setelah aku pergi?"
Alya tampak tak percaya aku bahkan tau tentang obat-obatan yang dia konsumsi.
"Aku cuman gamau kamu salah paham dan semakin terbebani" ujar alya sambil terisak. Sebenarnya aku ingin memeluk nya. Karena toh semua yang terjadi padanya berawal dari aku. Namun rasa marah karena tak di percaya dan dibohongi menghalangiku melakukan nya. Aku melepas gengaman alya sekali lagi.
*****
Alya side
Aku bukan nya tak mau menceritakan tentang peperanganku setelah gadis pergi meninggalkanku hanya saja jika ia tau tentang kecanduanku terhadap obat tidur dan penenang tentu dia akan semakin merasa bersalah. dan jika ia tau betapa bodohnya aku mempermainkan hati sahabatnya hanya menjadikan nya pelarian dan melukainya hingga membuat ia lari dari hidupnya. Dia pasti akan membenci aku. Dan tidak akan menerimaku seperti sekarang.
Dan semua ketakutan ku akhirnya terjadi. Sebenarnya aku sudah tau, cepat atau lambat gadis akan tau tentang hal ini. Hanya saja aku belum menyiapkan ancang-ancang untuk kemungkinan ini.
Dan saat gadis hendak pergi meninggalkanku. Tiba-tiba saja gejala gangguan panik ku yang telah lama hilang kembali. Dadaku terasa sesak. Dan badan ku mulai menggigil. Rasa ketakutan akan ditinggalkan terasa amat menakutkan untuk ku. Dengan tergesa aku mencari obat penenang yang selalu aku bawa di tas ku namun tak ada satupun yang aku temukan. Aku lupa aku tak pernah membawanya lagi semenjak aku bersama gadis. Tampak nya gadis menyadari nya. Ia menghentikan langkahnya dan berlari mendekatiku. Memeluk ku dengan erat. Badanku masih bergetar sambil sesekali menarik napas yang terasa semakin berat.
"Maaf dis. Please, Jangan tinggalin aku lagi" bisik ku dalam pelukannya. Membuat gadis semakin memeluk ku.
"Ngga, ngga, aku ga akan ninggalin kamu, kamu ga perlu obat penenang kamu lagi. Aku ada disini. Aku yang minta maaf" aku bisa merasakan airmata gadis menetes di badanku.
setelah beberapa saat dan aku mulai merasa tenang, gangguan panik inipun akhirnya mereda lebih cepat. Setelah aku benar-benar tenang gadis segera memberiku air dan memeluk ku lagi. Berulang kali minta maaf dan air matanya seolah sulit berhenti karenanya.