Chereads / Hal Yang Sulit Dilupakan / Chapter 24 - #23 PERASAAN

Chapter 24 - #23 PERASAAN

Jika kamu memendam perasaan kepada sahabatmu, katakanlah. Karena jika kamu memendam rasa terlalu lama, justru akan lebih sakit daripada penolakan yang kamu dapat.

***

Ayahku tidak menyangka bahwa anaknya yang bernama Ratna telah melakukan perbuatan yang sangat keji terhadapku. Ayahku dan ayahnya sudah berteman sejak lama, walaupun kekayaan ayahku lebih diatas bukan berarti dengan seenaknya menghakimi orang, tanpa memiliki bukti. Ayahku selalu mengajarkan kepada kami untuk tetap merendah, dan tidak boleh sombong kepada siapapun.

Tetapi apalah daya, hukum tetap harus berjalan karena ini saat ini aku masih dalam kondisi yang parah, dan belum sepenuhnya pulih akibat dari perbuatan Ratna.

Ayah Ratna tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menampar anaknya yang sangat dia sayang. Karena anaknya begitu keterlaluan sampai melewati batas hingga telah menyakiti anak yang ternyata ayahnya berteman dengan ayahku sejak lama. Kemudian polisi memutuskan, untuk mempenjarakan Ratna untuk waktu yang sangat lama.

Esok harinya, ketika aku ingin menggapai remot untuk menyalakan televisi tubuhku hampir terjatuh dari kasur, dan Darsa dengan cepat menolongku. Orang tuaku dan kakakku hanya senyum saja melihat anaknya hampir jatuh. Justru hal itu membuat wajahku begitu geram, karena bagaimana bisa mereka tersenyum saat anaknya hampir terjatuh, dan ditolong oleh orang yang sok menjadi pahlawan kesiangan.

Tetapi hanya saja, ini sungguh canggung karena selama dia berada di rumah sakit dia selalu mengawasiku. Seperti bodyguard saja. Padahal bodyguard aku itu adalah pak Abraham, bukanlah dia. Sedangkan sahabatku, masih berada di perjalanan untuk menjenguk diriku di rumah sakit.

"Sandarkan aku," kataku dengan meminta tolong kepadanya.

Justru Darsa tidak langsung menuruti permintaanku. "Aku pikir minta di lepaskan. Karena yang aku ingat kamu orangnya sensitif." memang aku minta ingin dilepaskan, tetapi dengan kondisiku yang seperti ini, membuat hal itu tidak mungkin terjadi.

"Jika aku sudah sembuh bisa saja aku berkata begitu tapi luka ini belum sembuh, jika terjadi sesuatu kamu harus bertanggung jawab karena kamu membuat luka ku tidak sembuh," ucapku.

Terlintas di pikiranku. Mengapa aku sangat sulit untuk marah? Aku merasakan seperti ada yang aneh pada diriku. Bahkan aku jadi berpikir, bahwa ada masalah juga di kepalaku karena kejadian itu. Ketika Darsa membantuku untuk bersandar di bantal, sahabatku datang dan masuk ke dalam kamar rawat inap dengan membawa makanan kesukaanku.

"Lihat kami membawa makanan kesukaan mu ayo makan dulu. Akhir-akhir ini kamu kan hanya makan sedikit. Sini aku suapin," ucap Aqilla sambil membawa makanan itu kehadapan ku.

Aku justru menolak untuk di suapin. Karena aku begitu malu, umurku sudah berkepala 2 tetapi masih disuapin. Apalagi disuapin oleh sahabatku sendiri, Aqilla. Tapi aku menolak, aku pikir akan bisa makan sendiri. Aqilla yang mendengar jawabanku itu, justru tertawa kecil.

"Iya memang kamu bukan anak kecil, tapi apa kamu bisa makan dalam keadaan tanganmu yang belum sembuh total?" tanya Aqilla

Aku hanya bisa menunduk dengan senyum kecil. Tetapi Rendi mendatangiku, kemudian kembali bercanda ingin menyuapi diriku. David pun juga tidak mau kalah, dan mengambil posisi untuk merebut makanan yang dipegang oleh Rendi. Melihat hal itu, kakakku langsung memberikan sedikit pelajaran kepada kedua pria itu. Bagaimana kakakku tidak melakukannya, aku sedang dalam keadaan sakit, tapi mereka malah ribut berebutan posisi untuk menyuapiku makan.

"Kata Kakakku yang mendonor kan darah untukku kamu Rendi. Benarkah itu?" tanyaku

"Itu benar," jawab Rendi.

Aku tidak menyangka, Rendi yang sudah bersahabat denganku saat umur 5 tahun, kini dia melakukan kebaikan yang luar biasa. Walaupun hanya mendonorkan darah, tetapi aku sangat berterima kasih. Karena berkat darah dari Rendi, aku jadi tertolong.

"Terima kasih banyak." Hanya itu yang bisa diucapkan olehku saat ini. Aku bisa tidak berkata apa-apa pada Rendi. Rendi hanya tersenyum dan membalas "Sama-sama lagi pula kamu sahabatku, kita juga sudah seperti saudara jadi santai saja." Dia selalu mengatakan hal itu, hingga membuatku hanya diam dan tidak mampu berkata kembali selain membalas senyumannya.

Di malam hari, semua orang sudah tidur kecuali aku dan Darsa saja yang belum tidur. Aku hanya duduk terdiam, sedangkan pria itu hanya memandang aku seperti burung hantu. Aku langsung mengalihkan pandanganku, karena bingung dengan sikap nya akhir-akhir ini, pria itu seperti senang sekali melihat wajahku. Hingga aku berpikir, apakah wajahku ini seperti pajangan, sehingga harus dilihat terus menerus.

"Sampai kapan kamu memandang ku begitu, apakah di Korea kamu juga punya kebiasaan memandang orang seperti itu?" Aku langsung mengeluarkan pertanyaan yang menurutnya, itu bisa membuat darsa takut dan tidak melihat wajahku kembali.

Tapi justru tidak berlaku bagi dia, dan Darsa terus melihat wajahku. Ternyata alasan Darsa melihat wajahku karena dia tidak menyangka, bagaimana gadis sepertiku bisa begitu kuat. Karena yang dia tahu, dimana-mana orang yang di culik, dan dilukai hingga parah pasti akan mengalami trauma yang berat.

Bahkan luka yang aku dapatkan itu, pasti akan membekas ketika sudah sembuh. Tulang bahuku juga retak, dan itu rasanya pasti sakit. Biasanya cewek tidak tahan akan sakit yang dialaminya. "Sebenarnya aku takut. Tapi aku percaya Allah selalu ada bersama ku dan aku percaya pasti akan ada yang menemukan ku, walaupun saat itu aku sudah dalam keadaan seperti itu," ucapku dengan memberikan setengah senyum pada Darsa.

Darsa begitu terkejut mendengar jawaban yang keluar dari mulutku. Darsa mengangkat tangan kanan sebagai tanda ingin memulai kenalan dari awal. Awalnya darsa mengira bahwa aku akan menolak hal itu, karena buat apa berkenalan lagi kalau pada saat itu saja sudah pernah saling berkenalan, yah walaupun aku balas dengan dingin.

Aku tidak bisa mengangkat tanganku, karena terhalang oleh alat penyangga itu.

Aku tersenyum "Memang tidak ingin berkenalan dengan mu waktu itu. Oke kita mulai dari awal. Aku Alisya, salam kenal," ucapku.

"Aku Darsa salam kenal juga," ucap Darsa membalas senyumanku.

Dari situlah, kami kembali berkenalan dengan cara yang benar.

Esok harinya, Dokter mengatakan kalau aku boleh jalan-jalan di area rumah sakit dengan menggunakan kursi roda. Kakakku kemudian menemani aku untuk jalan-jalan di area rumah sakit. Saat sedang menikmati pemadangan, aku melihat mobil di parkiran berwarna hitam. Aku melihat orang itu keluar, dan ternyata itu Rendi. Rendi mendatangi aku yang posisinya lagi menikmati pemadangan pada saat itu.

"Sudah boleh jalan-jalan ya." Rendi berucap sambil berdiri di hadapanku.

"Iya Alhamdulillah aku bisa menikmati udara diluar, bosen banget aku di kamar terus," ucapku.

"Mau aku temani?" Dia bertanya sambil menatapku dengan mata yang menyala.

Aku tersenyum dan menganggukan kepala. "Boleh."

Kakakku meninggalkan kami berdua dan kembali ke kamar rawat inap untuk meletakkan tas kerja Rendi. Aku bertanya mengenai pekerjaan rendi di bank tadi. Seperti biasanya Rendi melayani customer, makan siang, kemudian kembali melakukan kegiatan itu. Lalu pulang, tetapi sebelum itu, Rendi singgah sebentar ke rumah sakit untuk menjenguk aku sebentar.

Melihat Rendi begitu capek karena habis kerja, dia rela datang ke rumah sakit hanya menjenguk aku.

Kami duduk berdua di taman sambil Rendi istirahat sebentar. Aku menatap ke langit-langit seraya menghirup udara dengan pelan. Saat aku melirik ke arahnya, wajah Rendi seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi dia tidak ingin mengatakannya padaku. Hal ini yang tidak disukai olehku. Aku sudah pernah mengatakan pada Rendi jika ada sesuatu, cerita padaku. Aku mencoba bertanya ada apa dengannya. Hingga Rendi membuka suara, untuk menjawab pertanyaanku itu.

"Aku berharap dengan aku mengatakan hal ini, tidak membuat kita menjadi canggung sebagai sahabat. Aku mau bilang kalau. Aku menyukaimu, aku mencintaimu. Sudah sejak lama waktu kita bersahabat aku sudah memendam perasaan ini padamu Alisya. Aku tahu ini waktu yang tidak tepat karena kamu masih dalam keadaan belum fit total. Tapi tidak ada salahnya aku mengatakan nya sekarang." Rendi berucap sambil menyentuh tanganku dengan pelan.

Justru ini membuatku sontak terkejut karena apa yang aku dengar kali ini adalah, soal perasaan Rendi yang sesungguhnya kepadaku. Tapi aku terpaksa harus menjawabnya hari ini juga.

"Aku akan menjawabnya hari ini. Aku minta maaf bukan aku tidak suka padamu. Aku menyukai mu, tetapi sebagai sahabat sekaligus seperti saudaraku sendiri, maaf jika jawaban ku ini menyakiti hati mu tapi aku memiliki rasa suka padamu sebagai sahabat. Lagi pula aku masih takut untuk membuka hatiku kembali. Aku ingin, setelah kamu menyatakan perasaan ini sama aku, jangan sampai hubungan persahabatan kita putus ya, karena kamu adalah sahabatku sekaligus saudaraku," ucapku.

Rendi seperti memalsukan senyumannya. Aku bisa tahu jika Rendi senyum dengan tulus, pasti dia akan tersenyum simpul. Tapi kali ini tidak. Aku yakin dia pasti sangat sedih. Karena dia mungkin mengira aku akan menerima cintanya itu. Tetapi ternyata, aku menolak.

"Tenang saja kita akan tetap menjadi sahabat dan seperti saudara. Setidaknya aku sudah menyatakan perasaanku padamu," ucap Rendi.

"Semoga nanti kamu mendapatkan jodoh yang bisa menerima kamu apa adanya dan bisa sabar menghadapi kamu yang nyebelin ini hahaha," ledekku sambil tertawa.

"Hahaha iya semoga kamu juga ya mendapatkan jodoh yang bisa menghadapi ocehan mu setiap hari," ucap Rendi dengan meledekku balik.

"Hahaha mulai deh. Kita sama-sama nyebelin juga orangnya hahaha," ucapku sambil tertawa.