"Alisya, sudah lama kamu menutup hatimu untuk yang lain. Waktu itu kamu memang menolakku, karena kamu hanya menganggapku sebagai sahabat. Tapi kali ini, aku mengatakan hal itu bukan bermaksud untuk menyatakan cinta kembali padamu. Aku hanya mengingatkan kamu, untuk perlahan-perlahan membuka pintu hatimu untuk yang lain karena menjomblo terlalu lama tidak enak tahu hahaha," jawab Rendi sambil tertawa.
Padahal dia jauh lebih parah, jomblo sejak lahir. Memang benar yang di katakan oleh Rendi saat ini. Tapi rasanya aku takut. Membicarakan ini terus menerus membuatku lelah. Aku tahu Rendi bicara seperti ini demi kebaikanku untuk bisa bahagia. Namun, tidak harus sekarang.
"Alisya sampai kapanpun, jika kamu mengingat kenangan itu tidak akan selesainya. Justru kamu akan menyesal, telah sia-siakan orang yang mendekatimu. Karena kita tidak tahu, jika itu orang baik dan kamu menolak dia. Jangan sampai kamu menyesal Alisya," ucap Rendi lagi.
"Iya Rendi, aku akan coba. Walaupun itu butuh waktu yang sangat lama. Terima kasih Rendi," ucapku
Rendi tersenyum padaku. "Sama-sama Alisya."
Malam hari itu berlangsung dengan lancar, aku kembali teringat dengan perkataan Rendi tadi untuk aku mencoba pelan-pelan untuk membuka hatiku. Tapi aku tidak begitu memikirkannya sekarang, karena hari ini kami sedang bersenang-senang. Sampai akhirnya, David mengajak semuanya untuk bermain jujur atau tantangan. Ketika permainan dimulai, David memutar botol kaca berisikan saus sambal, ternyata botol tersebut berhenti dan menunjuk ke arah Darsa.
Ketika David bertanya pada Darsa, untuk memilih jujur atau tantangan. Darsa memilih jujur. Kemudian david membuka suara, dan bertanya. Siapa yang Darsa suka.
"Aku menyukai Alisya, aku mecintaimu." Darsa mengeluarkan kalimat itu dari bibirnya.
Semuanya terkejut. Termasuk juga denganku. Tapi anehnya, mengapa Rendi tidak terkejut sama sekali hingga aku menaruh curiga pada Rendi. Sebenarnya apa yang terjadi hari ini. Mengapa Darsa tiba-tiba mengatakan hal ini.
Darsa kembali menjelaskan alasan dia menyukaiku. Dia merasa bahwa ini sudah waktunya, awalnya Darsa tidak memiliki perasaan apapun padaku. Tetapi sejak dia terus denganku, melihat wajahku, senyumku, dan tawaku dia jadi ingin terus dekat denganku. Bahkan saat aku menolong dia untuk kedua kalinya, dia begitu khawatir padaku, hingga dia rela menemaniku di rumah sakit.
Perasaan memang tidak bisa dibohongi. Tapi siapa sangka, bahwa Darsa mencintaiku, dia menyukaiku. Tapi aku tidak bisa menjawabnya, hatiku seperti teriris sekarang. Aku terdiam sejenak, semua orang langsung menatapku. Berharap aku memberikan jawaban hari itu juga. Namun kenyataan tidak, justru aku beranjak dari tempat duduk.
"Aku mau ke kamar. Selamat malam semuanya," ujarku sambil meninggalkan mereka semua di taman.
Aku hanya bisa marah didalam kamar sambil membanting semua barang-barang yang berada di dekatku. Aku tidak perduli pada luka yang ada di tanganku. Bibi Ijah yang mendengar aku membanting semua yang ada di kamar, langsung memberitahu ayahku.
Tapi kakakku menahan ayahku, untuk tidak pergi ke kamarku, dan membiarkanku untuk tenang sejenak.
"Jelaskan padaku, bagaimana bisa kamu mencintai adekku? Apakah kamu serius mencintai adekku? Atau ingin menyakiti adekku seperti mantannya dulu menyakiti adekku?" tanya kakakku dengan menatap sinis Darsa
"Aku benar-benar mencintai adekmu. Maaf Adya, tapi aku tidak bisa terus memendam perasaan ini," jawab Darsa.
"Dia sedang mengamuk di kamarnya sekarang, aku akan mendatangi adekku." Kakakku berucap sambil meninggalkan yang lainnya di taman.
Saat kakakku membuka pintu kamar, semuanya berantakan. Aku duduk di lantai seraya mentikkan air mata. Rasanya begitu sesak, sakit, aku sulit menahan rasa sakit ini. Jujur aku baru berusaha untuk membuka pintu hatiku, tapi yang terjadi hari ini membuatku untuk mengurungkan niatku. Kakakku masuk ke dalam kamar, sedangkan bibi Ijah merapikan barang-barang yang berserakan di lantai.
"Kakak tidak tahu, jika Darsa mempunyai perasaan suka padamu. Kakak minta maaf. Sini menangis saja sepuasnya." Kakakku berucap sambil senderkan kepalaku di bahunya yang tegap serta lebar.
Aku tidak berkata apapun selain menangis saat ini. Kakakku hanya mengelus kepalaku, hingga tanpa sadar aku tertidur karena menangis terlalu lama. Kakakku meminta bibi Ijah untuk mengantarku ke ranjang.
Saat Kakakku keluar dari kamar, Darsa sedang menunggu di depan kamarku, ternyata acara makan-makan sudah selesai. Kakakku mendatangi Darsa dan mengajaknya untuk mengobrol di ruang tamu.
"Mungkin ini akan sulit untuk Adekku untuk menerima dirimu. Tapi aku ingin kamu jaga dia Darsa. Aku tahu kamu suka dan cinta padanya, tapi ingat adekku Alisya masih berusaha untuk melupakan masa lalunya. Jadi aku meminta padamu untuk bersabar. Apa kamu bisa?" tanya Kakakku dengan sinis
"Bisa Adya. Aku akan tetap setia menunggu. Aku berharap saat aku kembali ke korea kamu dan adekmu bisa ikut kesana juga," jawab Darsa.
"Mengapa kami harus kesana?" tanya Kakakku dengan heran
"Sekalian dia liburan agar dia bisa melupakan masa lalunya. Ajak juga Ayah dan Ibumu. Karena Orang tuaku sudah lama tidak bertemu dengan orang tuamu," jawab Darsa.
"Aku akan membicarakan hal itu nanti pada adekku, aku tidak bisa memaksanya. Jadi semua itu tergantung dari keputusan adekku. Sekarang kamu istirahatlah, adekku sudah tidur tadi karena habis menangis. Selamat malam," ucap Kakakku sambil melangkah untuk berjalan ke kamarnya.
"Selamat malam," ujar Darsa.
Aku terbangun dalam keadaan kamar yang sudah rapi. Mataku menjadi bengkak akibat menangis semalam. Aku berjalan turun ke bawah mengambil air es, untuk menghilangkan mataku yang sembab.
Ketika aku masih berjalan untuk ke dapur, ternyata ada Rendi yang sedang di dapur sendirian. Aku mengalihkan pandanganku padanya. Rendi yang menyadari hal itu, langsung mendatangiku dengan wajah yang menyesal. Rendi meminta maaf kepadaku, karena tidak seharusnya membuatku menangis.
Rendi sejak awal sudah tahu kalau darsa menyukaiku. Aku saja yang terlalu bodoh, dan baru mengetahui hal itu saat kami sedang berlibur di vila. Rendi meminta aku untuk memberinya hukuman. Namun, aku tidak bisa melakukannya.
Dia adalah sahabatku, aku tahu dia melakukan kesalahan, tetapi aku tidak bisa menghukumnya. Bahkan untuk memukulnya saja, aku tidak mau.
"Hukumanmu sekarang, ambilkan es batu untukku aku mau mengompres mata. Aku tunggu di ruang tamu," ujarku sambil pergi meninggalkan Rendi.
Rendi membawakan air es dan juga sapu tangan untuk mengompres mataku ke ruang tamu. Orang tuaku hanya melihatku dari jauh, karena mereka tidak bisa ikut campur dengan masalah persahabatan kami. Aku menjelaskan kepadanya, kalau aku sudah tidak marah lagi padanya. Karena kejujuran dari Rendi, aku memaafkannya.
"Sekarang berhentilah membuat wajah penyesalan begitu, atau aku akan menyirami dirimu dengan air es," ancamku.
"Baik Alisya. Terima kasih sudah memaafkanku," ujar Rendi.
Kami sedang asik mengobrol di ruang tamu, Darsa datang untuk menghampiri kami di ruang tamu aku yang melihat dia sedang berjalan kemari. Aku langsung berdiri kemudian pergi dari tempat itu. Saat melihatku pergi Aqilla pun mengikutiku, sedangkan David ikut berkumpul dengan Darsa dan Rendi.
Darsa yang berusaha ingin menyapaku, tapi tidak aku perdulikan. Aku hanya lewat saja tanpa berbicara apapun. Aku bukan marah padanya tapi aku takut, setelah apa yang dia ucapkan tadi malam membuatku mengurungkan niatku untuk membuka hatiku kembali.
Aku takut rasa sakit hati ini akan muncul kembali dengan perkara yang sama, namun dengan orang yang berbeda.