Chapter 9 - sakit

Sampainya di kota pandeglang, hujan mulai reda, meera memintaku untuk menepikan motor, dan berhenti di sebuh toko baju.

Ia membuka jas hujannya, kemudian menyuruhku menunggu di luar, sementara ia masuk kedalam toko tersebut.

Tak lama setelah masuk, meera keluar dengan membawa bingkisan,

Ia buka bingkisannya, lalu di berikan padaku, katanya "pake nih, Baju itukan udah basah!"

Kuterima pemberian satu stel baju darinya, langsung ku pake, "makasih yah!" ucapku setelah memakai bajunya.

"Wiss, cocok juga baju yg ku pilihkan!" ucap pujiannya sendiri, dengan penuh pemerhati.

"Tuh, kamu terlihat ganteng kan, dengan baju pilihanku ini!" tambah ia memujiku.

"Kegantenganku itu udah dari lahirnya! mau pake baju apapun akan tetap terlihat ganteng!"

Ia menyikutku, "songong banget!" katanya.

Ketika melanjutkan perjalanan, ia sempat mengajaku makan, katanya, "biar perut gk kedinginan!"

Berhubung badanku sudah dirasa tak enak, jadi aku menolaknya. Kemudian membawa meera kembali ke rumah om iwan.

Ia kembali komplen, "ngapain katanya ke rumah om iwan lagi, bukan langsung pulang ajah!" aku tak menghiraukan celotehnya dan tetap membawanya kerumah om iwan.

Tiba kembali di rumah om iwan, tubuhku kian lemah, aku tetap membuka pintu gerbangnya, pandanganku mulai burem, aku melihat kunang-kunang mengelilingi kepalaku, aku sandarkan tubuhku sejenak di pagar, guna menghilangkan rasa pusing kepalang.

Meera meraih, kedua tangannya menggenggam bahuku, ia dekatkan wajahnya dengan wajahku yg tengah menunduk, "kamu gk pa-pah?" tanya dengan cemas.

Seketika pandanganku gelap, aku terjatuh pingsan, sempat meera menahan tubuhku, tapi ia tak kuat karna terlalu berat.

Dengan berdeku, ia angkat kepalaku dan di tempatkan di lututnya, ia nampak panik dan cemas, dengan acuh ia teteskan airmatanya.

"Nu nu-" "kamu kenapa?" ucap cemasnya, sambil menggoyang-goyangkan tubuhku, ia usap-usap wajah hingga membelai rambutku.

Mendengar kegaduhan di luar, om dan tanteku segera mengecek keadanya! Mereka melihat meera tengah menangis, dengan panik mereka segera menghampirinya.

Dengan geger tanteku berkata-kata, "eh kenapa nih, kenapa dengan danu, ko bisa begini?"

Tanpa basa- basi, om iwan langsung membawaku ke dalam, di bantu tante dan meera. Aku tak ingat apa-apa lagi malam itu.

Hingga datang waktu pagi, barulah tubuhku terasa membaik, saat ku buka mata, aku sudah berada di sebuah kamar, lengkap dengan selimut serta sebuah kain yg masih tersimpan di atas jidatku bekas kompresan.

Aku tak melihat siapa-siapa di kamar itu. Akupun mendesus di barengi dengan geraka tubuh, ku dorong selimut kemudian bangkit.

Aku teringat akan meera, kemudian bertanya pada diri sendiri, "dimana meera?" aku mencoba keluar dari kamar itu dengan jalan merangkak ke dingding, tiba-tiba tanteku melintas, dan melihat keberadaanku, iapun menarikku kembali ke kamar. "Istirahat dulu, keadanmu masih lemas!" ucap tante.

Tanpa menjawab, aku baringkan kembali tubuhku di kasur.

Tanteku menutupnya dengan selimut.

"Ibu kamu nanti kesini!" "tante yg ngabarin!"

Bukannya menjawab soal ibuku yg akan menjemput, aku malah menanyakan keberadaan meera, "meera kemana?"

"Hehehe" tanteku malah tertawa. "Tau gk, semalem diatuh khawatir banget dengan keadaan kamu!"

"Semalem ia nginep disini?" tanyaku.

"Dia gk nginep, melainkan terjaga menjaga kamu semaleman!" tutur cerita tante.

Ku usap wajah, merasa tak enak hati padanya, lalu duduk dan menanyakan hal apa sajah yg terjadi semalem.

Tante mulai menceritakan dengan seriusnya: "saat kamu jatuh pingsan(diluar) ia bersedih sambil merangkulmu! "Saat kamu di bawa ke kamar, ia menjagamu, mengompresnya, membelai belai wajahmu, lalu ikut tertidur di sampingmu!"

"Huh" aku tak bisa bayangkan akan hal itu.

"Dia tuh, kayaknya suka banget deh sama kamu!" tambah tanteku.

Hatiku berbunga-bunga mendengarnya.

"Om kamu lalu menceritakan kepadanya, bahwa kamu itu dari kecil mudah sakit jika terkena air hujan!"

"Lalu dia (meera) sekarang kemana?" tanyaku.

"Ouh, tadi tante anterin dia ke sekolahan! Katanya mau ngajar!" "diajuga titip pesan, "katanya cepat sembuh!"

Beberapa jam kemudian, aku yang masih terbaring di kamar, mendengar suara ibuku yg datang, terdengar perbincangannya di luar bersama tanteku.

Segera ku tarik selimut, untuk menutupi sekujur tubuhku.

"Krek krek. Cekreekk." suara pintu terbuka kian terdengar. Di balik selimut, aku yakin ibuku yg datang.

"Nu nu!" panggil ibuku. Iapun menarik selimutnya. Lalu meraba-raba keningku sambil membolak balikan telapak tangannya.

"Hei hei!" ia membangunkan dengan cara menggoyang goyangkan badanku.

"Hemm" aku mendesah "ibu." sapaku dengan nada lemah.

"kenapa kenapa?" "katanya kamu abis hujan-hujanan yah?" tanya ibuku nyerocos.

Aku tak beralasan, karna akan panjang urusannya. Hanya anggukan kepala dan sedikit menekukan wajah yg ku lakukan.

Ibu membelai-belai rambutku, matanya yg terus menatapku, "kemaren, om iwan dan tante ria kerumah, katanya kamu jalan-jalan yah sama si meera! Sampe hujan-hujanan kaya gini?" tanya ibuku.

"Iyah bu!"

"Kamu tahu? Meera itu siapa?" tanya ibuku dengan seriusnya.

Ku jawab dengan gaya ku, "tau! Ia seorang wanita, cantik pula!"

Sontak ibuku langsung mencubit pipiku. "Iihh ibu serius nih!" ia membantah.

Aku mulai berpikir, pasti ibuku akan mengeluarkan fatwanya. Eeh benar sajah ketika ia bilang, "setatus meera dan istrinya si ilham, itu sama kaya kamu dan si ilham, masih sepupuhan!"

"Lantas, apa yg membuat ibu khawatir?" tanyaku.

Ibuku menoleh dan membelakangiku. "Kata orang tua dulu, "pamali" "ibarat menilas satu rumpun pohon bambu!" tuturnya.

"Hehehe" aku tergugu mendengarnya, kemudian duduk untuk mengklarifikasi, ada kata halus larangan yg di maksudkan.

"Kata-kata orang tua dulu, itu adalah sebuah asumsi bu, pendapat mereka yg di yakini!"

"Tapi kadang-kadang, ucapan orang tua dulu sukan benar!" tambah ibuku.

"Hehmm" aku menghelakan. "Apa yg menjadi pedoman hidup kita bu?" tanyaku.

Ibuku menjawab, "agama!" dengan nada lemah.

"Apakah agama melarangnya bu?"

Ibuku menggelengkan kepala. Lalu membuat asumsi baru yg tak masuk akal. "Biasanya nu, akan ada yg saling mengalahkan!"

"Ibu gak usah berdalih, kehidupan sudah ada yg ngatur!"

Ibuku kemudian berdiri, berjalan menghampiri jendela. Ku ikuti dirinya dengan berdiri di belakangnya, sambil memegang pundaknya aku berkata, "ibu gk usah khawatir! Danu dan meera cuman berteman ajah ko!"

Ibuku menjawab, "hari ini kamu bilang teman, besok pacaran, mungkin lusa berharap menikah!"

"Bhahaha., terlalu dini bu, ngomongin pernikahan mah!"

Setengah hari ibuku di rumah om iwan, setelah itu, ia mengajakku untuk pulang, katanya "jangan ngerepotin tante ria dan om iwan." tapi aku menolak, dan tetap tinggal di rumah om iwan, lagian tante ria juga tak merasa keberatan kok.

Akhirnya ibuku pulang sendirian.

Meera yg sudah selesai dengan mengajarnya, sesegera menghubungiku lewat panggilan suara. Katanya ia cemas dan menanyakan keadaanku, sebelum menutup telponnya, ia berjanji akan menjenguku malam itu.

Sakit yg sedang ku alami mendadak sembuh, setelah mendengar kabar darinya, yg akan menjengukku.

Ku tunggu dengan tak sabar kedatangannya malam itu..

Malam tlah tiba, aku, om iwan dan tante ria, sedang menyantap makanan di meja.

Nada bbm di ponselku terdengar bunyi, segera aku melihatnya. Ternyata itu chat dari meera, yg berisi tulisan "aku sudah di depan rumah om kamu!" tanpa koma maupun titik.

Segera aku berhenti dari makan, dan bergegas keluar menemuinya.

Ku dorong pintu pagarnya, meera dan dina, tengah berdiri di samping motor matik nya.

Aku langsung tersenyum melihatnya. Begitujuga sebaliknya.

"Aku kira, kamu bakal datang sendiri??" tanyaku. Ia menjawab dengan sedikit elakan, "i-h, aku kan gk bisa bawa motor!"

Aku menoleh ke arah dinya, tanya basa basi kabarnya, "sehat din?"

"Alhamdulilah." jawab dina. "Kamu gimana?" tanya balinya.

"Agak mendingan nih!" tuturku. "Eeh, dorong ajah motornya ke dalam!"

Dinapun mendong motor, kemudian ku tutup kembali pagarnya.

Meera berpenampilan beda malam itu, kayak nya, ia pakai baju paling bagus diantara baju-bajunya yg lain. Dengan wangi farpum yg has biasa ia pakai, sepertinya ia tumpahkan semuanya, karna wanginya malam itu, melebihi batas wajar, bibirnya di merah-merahin dengan gincu.

Ku tatap penampilannya itu dalam-dalam. Dan sedikit mengejek, "prasaan ada yg beda nih!" "kyak yg mau datang ke acara pesta ajah!"

Ia menatapku dengan sinis, wajahnya di tekut serta bibir sedikit maju, "ada yg salah?"

"Hihihi," aku tertawa manis padanya, "kamu ituh, gk dangdan juga udah cantik! Apalagi dangdanan kaya gini." "aku takut makin terlarut ajah di buatnya!"

"Dibuat larut kenapa?"

"Larut dalam prasaan padamu!"

Dari kejauhan dina mendesah, "ehem ehem!"

Kami melihat kearahnya!

Dinapun menambahkan, "hargain dong!"

Kami tertawa mendengar ucapannya, "hahaha"

Malam itu, aku dan meera bercumbu dan merayu, sesekali ia menyindir kelemahanku, ku balas dengan pujian.

---000---

Bulan 11(november) 2011. Waktuku banyak terisi bersama meera. Alun-alun pandeglang, masih jadi tempat pavorit dikala malam minggu tiba.

Kini waktu branjak ganti, masuk di penghujung bulan 2011, do'aku masih sama, dan harapanku ingin lebih baik dari bulan kemaren.