Chereads / meera(terlanjur pergi tanpa pamit) / Chapter 13 - berganti tahun

Chapter 13 - berganti tahun

tahun lalu, dari yg tak mengenal hingga menjadi kenal. dari yg biasa menjadi luar biasa. tuhan telah mempertemukanku dengannya, ntah untuk alasan apa?

ribuan kembang api dibakar dan meletus bersamaan, menandakan tahun telah berganti, dan menyambut tahun baru penuh harapan dan doa. "Ya allah, meeraku jauh disana, tapi dekat di doa. " buatlah dia tersenyum, buatlah dia bahagia." tutur doaku malam itu.

Esok harinya, aku yg tengah menikmati embun di pagi hari, bayanganku tertuju padanya. duduk di bawah pohon memandang jauh bumi ini.

"Hey nu!" suara devi menyapa dari balik pohon.

"sendirian ajah!" tanyanya berjalan mendekati. tangannya menggenggam pundakku, ia pun ikut duduk menemani. 

"Esssst," bunyi dirinya menggigil. "Dingin banget yah nu!" menambahkan.

"heeh!" "kayanya enak nih, kalo minum teh hangat!"

"Sana bikin." suruhnya padaku.

"Males!"

"Dasar."

Devi, mengeluarkan ponsel dalam kantong baju, menunjukan sebuah foto di hanponnya "lihat nu! baguskan?" foto antara aku dan dirinya tengah berduaan. "Bagus!" puji singkat.

ia  membuka lensa kameranya, kemudian melakukan foto selvi kembali.

Hasilnya ia posting ke facebook. "Aku pos di fb yah!"

"Terserah!"

"Eeh liat nu liat nih!" dengan hebohnya devi kembali menunjukan hanpone.

"Ibu faridah ngomen." ucapnya.

Aku pun tersenyum kala mendengarnya.

"Berduaan sajah tuh!" ucap leni yg baru datang bersama beni dari belakang.

"Kata ibu faridah juga, si unung makin ganteng ajah!" ujar devi membacakan komen bu faridah di fb.

Beni yg mendengar lantas mengeluarkan sindirannya, "idih si unung mana si unung!"

Menirukan gaya ibu faridah sewaku mencariku di sekolah.

Ibu faridah sendiri adalah guru sejarah SMA.

Ia sering memanggilku dengan sebutan "unung" sebutan manja untuk seorang anak.

"Dev, bilang ke ibu faridah! "Ibu masih ngefans ajah sama si danu?"

Devi pun  menulis kata yg ku suruh, lalu dikirimkan kepada ibu faridah.

Tak lama ibu faridah membalas,

"Kata ibu faridah juga, " jika ibu punya anak gadis, pasti ibu akan jodohkan sama danu!" beber devi. Sontak semua yg mendengar di buat ketawa olehnya.

"Kata ibu faridah, kapan kita akan main ke sekolah?" tambah devi.

"Nanti ajah pas pelulusan?" timpal leni.

Devi mulai berkaca-kaca, "rindu yah masa-masa SMA dulu!"

"Halah, siapa pula yg kamu rindukan? "Mantan juga gk punya!" sindirku.

Beni menambahkan, "lagian orang yg di rindukannya juga ada disini?".

"Apaan sih kalian?" jawab devi ambek.

---o0o---

Sepulangnya dari puncak.  ibu memberitahukan, "si ilham kemaren nyariin kamu!" 

"kenapa?" tanya biasaku. "katanya, meera menyuruh kamu kesanah di malam thn baru!" 

"yg benar bu?" tanyaku seakan tak percaya.

tak tunggu lama, aku segera berangkat untuk menemui meera di rumahnya.

Tiba di halaman rumahnya,  langsung ku ucapkan salam, "asalammualaikum!" pertama salamku tak ada yg menyahut. Lalu aku mengulangi hingga 3x. Barulah ibu meera keluar membukakan pintu. "Eeh danu ternyata!"

"Iyah bu." jawabku dengan tersenyum.

Sebelum aku menanyakan, ibunya sudah mengira, "cari meera yah?"

"Benar bu!"

"Meeranya udah brangkat ke pandeglang." tutur ibunya membuatku percaya begitu sajah. Segera ku pamit darinya kemudian berangkat ke pandeglang.

Tiba di pandeglang hampir sore, suasana terlihat sepi, pintu pagar setengah terbuka tanpa di tunggu  sekuriti.

Masuklah aku tanpa permisi, beruntung di dalam sekolah aku bertemu dengan dina, yg sedang melintas di hadapan, segera ku panggil dirinya, "din dinaa." ia menengok lantas berjalan menemuiku.

"Eeh nu, ngapain?" tanyanya. "Gk sama meera?" menambahkan.

"Justru, kesini nyari meera!"

Dina merasa heran, "lah!" dengan alis yg berkerut. "Gimana sih? Pulangnya di jemput, ko kesininya gk di anterin lagi!" tanyanya.

Aku pun di buat bingung, "masa sih meera belum kembali, kata ibunya ia sudah berangkat. "Yg benar sih din, emang meera blum kembali?"

"Jika tak percaya cari ajah di asrama!" tuturnya semakin membuatku bingung.

Aku pun menggarug-garuk kepala, celangak celongok gk karuan. "Coba di telepon ajah!" suruh dina.

Aku nyengir karna tak memiliki hp.

" sama kamu ajah di telponnyah!"

"Lah ko saya?"

"Saya lg gk punya hp!" "kemaren jatoh trus rusak."

Dina meraba-raba kantongnya, mencari ponsel, sedikit berpikir karna hpnya gk ada di kantong. "Hpnya di kamar kayaknya!" ucap dina.

"Ya sudah ambil gih!"

"Kamu tunggu aja di kantin, nanti saya nyusul kesana!" pinta dina. Ia pun mengambil hpnya sementara aku menunggu di kantin.

Di tengah bangku kantin yg kosong, bertemankan sebotol minuman aku menunggu kedatangan dina. Aku masih di buat tak percaya dan bertanya-tanya, "masa ibunya meera berbohong si?" perasaan buruk sangka muncul dalam benakku.

Dina segera tiba menemuiku, duduk berhadapan. "Sekarang telponnya?" ucap dina. Ku pinta agar nanti dulu, kemudian menyuruhnya berbohong. "Kamu jangan bilang ke meera, bahwa aku ada disini!"

Dina mengangguk, "terus tanya apa?" tanyanya. "Tanya dia masih di mana? "Terus kapan kesini!"

Dina kembali mengangguk, membuka ponselnya dan melakukan pangilan kepada meera. "Hi ra?" tanya dina dalam panggilan suara. "Hi din?" jawab suara meera.

"Lagi di mana nih?" tanya dina kembali.

"Masih di rumah."

Huhh, dadaku terasa sesak, saat mendengar meera yg masih berada di rumahnya.

"Gimana thn baruannya?" tanya dina.

"Biasa ajah din, gk ada yg spesial."

Ku tundukan kepala, ketika "tak ada yg spesial" terucap darinya.

"Emang gk merayakan bareng danu?"

"Dianya gk datang!"

"Emang kemana?"

"Denger-denger ke puncak katanya!"

"Btw kapan kesini?"

"Blom tau din."

Panggilan suara yg di lakukan dina dan meerapun di tutup. Baru terpikir olehku ternyata meera kecewa dengan ketidak datanganku di malam thn baru.

Dia juga sengaja menyuruh ibunya, agar bilang padaku bawa dia sudah berangkat. Padahal saat itu meera melihat di balik jendela kamarnya, saat aku datang ke rumahnya.

"Kamu thn baruan ke puncak nu?" tanya dina.

Aku mengangguk. "Sebelum kesini, saya dari rumah meera." "ibunya berbohong bahwa katanya meera udah berangkat, nyatanya dia masih di rumah!"

"Meera kali yg minta, kayanya dia kecewa tuh sama kamu!"

"Ya sudahlah, saya balik. " tapi kabarin yah klo meera udah datang!" pintaku

"Ngabarin lewat apa?" tanya dina bergurau.

Aku pun tersenyum. "Iya yah." "kamu tulis ajah nomer kamu di kertas, nanti aku hubungi."

Dina pun mencatatkan nomornya di kertas.

Aku pun berjalan menuju motor, dina mengikuti dari belakang. Saat aku naik ke motor kemudian hendak memakai helm, dengan ragunya dina menahan. "E_em, nu."

Aku menoleh ke arahnya. "E_eem." kembali dengan katanya yg gugup. "Apa din?" tanyaku.

"Bisa minta tolong gk?"

"Tolong apa?"

"Mau beli sesuatu, tapi adanya di pasar badak!"

"Ya sudah aku anterin."

Sore itu aku menemaninya belanja.

Ia mengajakku minum di sebuah kedai, dan memesankan sebuah es cappucino. Duduk di sebuah teras masjid agung pandeglang, sambil menunggu waktu maghrib.

"Udah lama kenal meera?" tanya ia perlahan.

Kakiku terlentang, telapak tanganku menggenggam es. "Baru dua bulan."

"Sejak aku kenal meera, aku tak pernah melihat dia berhubungan dengan cowok, selain kamu!" tutur dina.

"Berarti aku hebat yah!" ujar sombongku.

Bersamanya bukan berarti mencintai, dina sengaja mengulur-ngulur waktu, menjadikanku sandaran dalam kejenuhannya.  taman di alun-alun, aku lalui bersama, berjalan santai mengisi waktu. 

"sUdah jadian?" tanya ia menengok wajahku.

Aku tertawa kecil hehe.

Dina bertanya kembali, "apa yg membuatmu suka sama meera?"

"Hatiku yg memilih!"

Dina mengangguk-ngangguk. "boleh juga tuh!"

"Din, jika nanti meera datang ke asrama, kabarin aku! Dan jangan bilang aku mencarinya!"

"Iyah!"

Malam itu dilalui bersama dina, ia bertanya ke sana kemari, cerita kesini ke situh.

Setiap orang memiliki pandangannya masing-masing, jadi tak usah bersusah payah agar terlihat baik di mata orang, karna kita akan menjadi orang biasa dalam pandangan orang-orang yg tidak mengenal kita.

keesokan harinya, meera datang kembali ke asrama di pandeglang. mengetahui hal itu, dina segera menemuinya dan masuk ke dalam kamar meera. 

"danu, kemarin datang kesini nyariin kamu!" ucap dina. 

"aku tahu!" 

dina mulai terheran. "ada masalah tah?" meera menyangkal dengan gedigan kedua bahu. 

"kemaren dia bilang padaku!" "seandainya kamu lebih awal memberi tahunya, dia pasti taakan pergi ke puncak." 

"itu urusan dia!"

sejak kepulangannya, dina merasa ada yang aneh dengan perubahan sikap yang di lakukan oleh meera.

dina segera menghubungiku lewat panggilan suara. dalam panggilan suara ia menjelaskan, ada beberapa hal yg harus di bicarakan denganku, mengenai meera.

Di depan asrama, dina menunggu kedatanganku.

"Hai din!" ujarku saat turun dari motor. Tangan dina ikut melambai, "hai" membalas.

"Bilangin sama meera, aku tunggu di sinih!" pintaku terhadap dina.

Dinapun segera pergi, untuk menemui meera.

Dina segera kembali menemuiku, seusai bertemu dengan meera, ia membawa kabar, "meera udah tidur!"

Aku tak percaya dengan alasannya, karna waktu masih sangat petang.

Aku memaksa untuk menemui meera di kamarnya. Sampai di sepan pintu kamar meera, ku ketuk-ketuk. "Ra~" berulang kali aku lakukan, dia tetap tak menyahut. "Buka dong, aku ingin bertemu!"

Ia tetap tak menjawab.

Mendengar ke gaduhan yg aku lakukan, seisi asrama keluar hingga memarahiku, "gk sopan" kata mereka.

Lantas, dinapun menariku keluar. "Apa-apaan sih kamu? Lihat tuh, yg lain pada keluarkan?" ucap dina menegurku.

"Aku gk mengerti, kenapa sih dengan meera?"  "kenapa dia tak mau menemuiku?" tanyaku bertanya-tanya.

"Sabar nu, sabar." dina mencoba menenangkanku.

"Aku mau ngomong sesuatu denganmu!" ucap dina.

"Apa?" tanyaku sewot.

"Ini menyangkut meera!"

"Yaudah ngomong?" ujar luapan emosiku yg tak terkendali.

Merasa tersentak, raut wajah dina kian murung.

"Sory din, aku emosi!"

Dina mengangguk, "gk papa!"

"Apa yg kamu mau omongin?"

"Jangan disini!" "kita cari tempat lain ajah yuk!" ajak dina.

Akupun mengikutinya, dan membawanya ke alun-alun pandeglang.

Di sebuah bangku taman, aku duduk bersamanya.

"Sejak meera pulang dari rumahnya, sikapnya menjadi berubah!"

"Iyah, aku juga merasa!"

"Menurut kamu, kenapa coba?"

"Yah gk tau!"

Kami berpikir bersama.

"Dina?" ujar seorang pria yg datang tiba-tiba. Kagetna dina langsung berderi. "Fan?" replek ucapan dina dengan bola mata melotot.

"Ouh, jadi begini?" ujar pemuda tadi menambahkan. Hingga terjadilah percek-cokan antara dina dan pemuda itu.

Aku tak mengerti apa yg terjadi, aku dibuat pelanga-pelongo melihatnya.

Sebagai seorang pria, aku tak tega melihat dina, di caci maki olehnya. Ku coba melerainya. "Hei hei, apa-apaan ini?" ucapku.

"Hei brengsek, gk usah ikut campur lo!" jawabnya memarahiku.

Aku mencoba menjelaskan kepada pria tersebut, tendang kebersamaan antara aku dan dina, tapi dia tak memberikan kesempatan.

Hingga keluar kata "putus" dari mulut lelaki tersebut di hadapan dina.

Berderai air mata membasahi pipinya, dengan lemah dina menubrukan lututnya ke tanah.

Aku menjadi bersalah atas semuanya, meraih dina yg tengah menangis, memapahnya untuk kembali terduduk di bangku.

Ia terus menangis terisak-isak, membuatku merasa kasihan. "Gara-gara aku yah! Kamu jadi bertangkar!"

"Engga nu! "Dia orangnya begitu, posesif!"

Sepanjang perjalanan pulang ke asram, dina termenung dalam kesedihan.

Tiba di halaman asrama, meera mendengar suara motorku, ia buka tirai jendela, dan memperhatikan keberadaanku.

Aku yg tengah memapah dina, menenangkannya agar tak bersedih.

Langkahnya yg laun, jalannya menunduk, dina meninggalkanku masuk.