Masuk di penghujung tahun, libur panjangpun di mulai. 25 desember adalah hari yg membingungkan.
Aku di hadapkan oleh dua pilihan, pertama devi dan alumni SMA, merencanakan acara reunian, yg bertempat di teluk, sebuah tempat di pinggir pantai yg menjadi pelelangan ikan.
kedua, meera memintaku untuk menjemputnya, mengajak ke pantai trus minta di anterin pulang ke rumahnya.
Yang jadi masalah, semua aku janjikan iyah.
Hingga ku buat satu keputusan yaitu memilih meera, ketimbang teman-temanku.
Pagi itu aku berangkat menjemputnya, sampai di pandeglang kota, aku berhenti di sebuah konter, berniat menjual telepon seluler milikku.
Hari itu dompetku benar-benar tak bisa berbuat banyak, mau minta sama orangtua gk enak, minta sama om iwan malu, jadi kuputuskan menjual hanpone saja.
Jam 10:00 wib, barulah aku sampai di tempat meera, padahal janjinya pukul 08. aku sudah telat dua jam, dalam hati berharap "semoga meera gk kecewa."
Aku bergegas menghampiri pak sekuriti, dan bertanya, "pak bisa ketemu sama ce meera?" pintaku padanya, dengan ucapan terburu-buru.
Pak sekurita memasang wajah garang, menjawab dengan nada tinggi, "dua jam, ce meera nungguin kamu disini!" sambil melihat jam di tangannya.
"Wah" ucap sedihku merasa bersalah. "Ijinkan saya menemuinya pak!" aku memintanya kembali.
Tanpa menjawab, pak sekuriti langsung membukan gerbangnya. Akupun masuk guna menemui meera.
Di lingkungan asrama, aku bertanya-tanya pada orang-orang sekitar, "liat meera gk?"
Mereka menggelengkan kepala.
Setengah jam aku mutar-muter, namun tak ku temui dirinya, di rasa cape akupun duduk di sebuah bangku.
Kabar aku yg tengah mencarinya, sampai di telinga meera. Betapa terkejut, ketika ia menghampiriku.
ku langsung mengajukan maaf atas keterlambatan ini, "aku minta ma'af yah!"
Ia tak menjawab, hanya berdiri di depanku sambil melipatkan tangannya, wajahnya terlihat asem dengan bibir yg manyun.
Berkali-kali aku meminta maaf padanya, iapun menjawab dengan jutek, "kira'in gk jadi!" dengan wajahnya berpaling.
"Manamungkin aku ingkar janji padamu!"
"Trus, kenapa terlambat?" tanyanya kembali dengan jutek.
"Yah maaf!" aku tak memberikan alasannya.
"Kenapa nomer kamu gk aktip?"
"Jadi gini." terpaksa aku harus berbohong, "saat perjalanan kesini, hp ku jatuh di motor! " aku coba benerin ke konter, kata konternya udah gk bisa di benerin lagi! Mangkanya aku datang kesini terlambat!" tutur kebohonganku.
Emosinya kian reda, meera percaya begitusaja dengan alasan ku.
Aku bilang, "jadi, bersediakah untuk ma'afin aku?"
"Yaudah ayo jalan!" jawabnya.
Di persimpangan jalan ia meminta berhenti, katanya mau beli oleh-oleh buat keluarganya di rumah.
---o0o---
Di sisi lain, lihatlah teman-temanku yg kecewa padaku. Devi, leni dan beni menyusul kerumahku, ngajak bareng ke acara reunian.
Hanya ibu dan ayahku yg mereka temui.
Devi bertanya dengan keberadaanku, "danu kemana bu?" tanyanya pada ibuku.
Ibuku menjawab, "udah brangkat tadi pagi!"
Reaksinya mereka terheran, berbisik satu samalain, "pergi kemana si danu?"
"Klo boleh tau, danu pergi kemana bu?" tanya devi kembali.
"Ouh klo itu ibu gk tau! " diamah klo mau pergi gk pernah mau bilang-bilang!"
Devi mencoba menghubungiku lewat telpon, "nomer yang anda tuju sedang tidak aktip, cobalah beberapa saat lagi!" tapi sayang nomerku sudah tak aktip lagi, karna kartunya sedang di dalam dompet.
"Nomernya juga gk aktip bu!" ucap devi setelah menghubungiku.
"Yg bener?" jawab ibuku.
Ibuku mengambil hanpone di atas kulkas, iapun mencoba menghubungiku, tetap saja nomerku gk aktip.
"Iyayah gk aktip, lobet kali hanponenya!" ucap ibuku. "Emangnya mau pada kemana?" tanya ibuku.
Beni menjawab, "acara reunian bu!"
"Sebelumnya, danu udah di kasih tau belum?"
"Udah jauh-jauh hari bu!" timpal devi.
Acara reunian itupun terjadi dengan semestinya, mereka bercanda, tertawa, dan berbagi cerita satu sama lain meski tanpa kehadiranku.
Tapi bagi devi, itu adalah hari yg mengecewakannya.
---o0o---
Tibanya aku dan meera melintas di kawasan pantai carita.
Sesuatu yang tak di rencanakan sebelumnya.
Meerang mengajak untuk bermain di pantai.
Apapun yg terucap dalam mulutnya, aku tak bisa menolak.
Di tepi pantai.
Seperti katanya, "aku lebih suka pantai!" "pantai itu memberikan kedamaian, tentram dan indah!" kata meera padaku, waktu di kampung domba.
Dengan riang gembira, meera berlari ke arah pantai. Pijakan kakinya di atas pasir dengan tarian. Tangannya ia bentangkan, hingga angin menerjangnya. Ia tersenyum dengan lembut.
Tak pernah ku lihat dia sebahagia itu.
Aku yg berdiri tegak di belakangnya. Ia menoleh ke arahku, kemudian mendekati, hingga akhirnya menariku dan mendorong ke ombak, akupun tercebur.
Ia menertawakanku sambil berlari.
Ku kejar dirinya, hingga tanpa sengaja tubuhnya jatuh dalam pelukanku.
Aku dan meera, menari di atas ombak, hingga samudra menjadi saksi.
"Jika hari itu, adalah hari terakhir napasku berhembus, maka hidupku akan terukir dengan indah."
Keromantisan aku dengannya berlajut, ketika kami duduk di atas pasir, saling bersandar.
Dalam nada santai aku berkata padanya, "ra, satu kata yg tak mau aku dengar darimu?"
"Apa?" tanya meera penasaran.
"Selamat tinggal!"
Iapun mengedrukan kepala di punggungku, "itu dua kata tahu!"
Aku mengelak, "yah pokonya begitu!"
Nada launnya bertanya, "emang kenapa?"
"Ta'ada perpisahan yg tak menyakitkan!" jawab ku.
"Jadilah seperti matahari! " biarpun hari berganti, masa berubah, dan orang-orangnya baru, dia tetap setia menyinari, tak mengubah takdirnya." tutur meera.
"Kamu tau, apa yg merindukan matahari?" tanyaku.
Meera menjawab dengan sigap, "bulan."
Aku tersenyum di buatnya.
Meera menambahkan, "jangan seperti bulan, biarpun bercahaya besar dan terang, tapi ketergantungan pada yg lain!"
"Trus?"
"Jadilah seperti bintang! " biarpun cahayanya kecil tapi dia mandiri." "tidak bergantung dengan yg lain!"
Kata-katanya hari itu, mampuh ku tulis sebagai simbol dari mutiara.
Sebagai penutup di hari itu, kami di suguhkan dengan pemandangan yg menakjubkan, ketika matahari mulai tenggelam dengan perlahan.
Aku dan meera, melangkah bergandeng tangan, sedikit demi sedikit meninggalkan pantai.
Suasana di tempat palkir pantai itu.
Aku dan meera yg sudah siap melanjutkan perjalanan, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan menghalangi jalan.
Keluarlah seorang perempuan dalam mobil tersebut, lantas menghampiri kearahku.
Sontak, ku langsung mengalihkan pandangan, jiwaku ketar-ketir gk karuan, setelah tahu bahwa perempuan tersebut adalah devi.
Akupun mulai teringat bahwa mobil yg menghadang itu milik si beni.
Mau tidak mau, aku sudah terlanjur kepergok oleh mereka.
Dengan jalan yg gesit, devi memasang wajah garang, menghampiri, langsung memukul motorko dengan kata, "nuu!" "rupanya ini, alasan kamu gk ikut reunian!" suaranya yg ketar membahana.
Akupun menggaruk-garuk kepala sambil senyam senyum kuning, senyum malu.
Beni dan lenipun menyusul devi yg sedang menemuiku.
"Bagor!" sindir beni terhadapku. "Rupanya si danu disni, kitamah nyariin kamu ke rumah! Mana hpnya te aktip lagi!" tutur beni kemudian.
Akupun kembali melemparkan senyuman, "hampura jo!" "hp urang urang rusak!" lantas memberikan pernyataan.
Meera yg nampak kebingungan turun dari boncengan motorku. Segera ku tarik kemudian memperkenalkan mereka, "kenalin ra, mereka ini teman SMA ku!"
Meerapun mengangguk, dengan sedikit senyum ia menyalami mereka satu per satu.
"Hari udah hampir maghrib nih!" kataku sambil melihat jam. "Saya harus nganterin meera dulu."
Beni manggut manggut, "silahkan silahkan."
Terlihat wajah devi yg murung, dengan kesal ia segera masuk kedalam mobil.
Akupun bersama meera langsung pergi meninggalkan mereka.
Tibanya di rumah meera pukul 19:12wib.
Orangtuanya menyambuk dengan ramah. Meera berkata, "masuk dulu nu!"
"Ya iyah lah! " tega banget, jika langsung nyuruh pulang."
"Akh kamu ini ngeyel mulu!" cibirnya.
Sambil duduk santai bersama keluarga meera, ibunya bertanya padaku, "si aa dari mana?"
"Eemm." saat hendak ku jawab. Meera langsung memotong. "Dia sepupuhnya ka ilham bu!"
"Ouh."
Akupun mangguk.
Ibunya kembali bertanya, "ketemu meera dimana?"
Lagi-lagi, meera yg menjawabnya. "Diakan yg nganterin mera, waktu munjungan kerumah ka ilham."
Aku kembali mengangguk membenarkan.
Waktu merangkak jalan, meere mengajakku duduk di depan rumahnya, katanya, "biar gk di gangguin sama ibunya mulu."
Iapun membuatkanku segelas kopi, "nu kopinya! Disini udaranya dingin, beda dengan di pandeglang." ucapnya, kedua tanganya menggenggam segelas teh hangat.
"Brarti, aku harus bisa menyesuaikan cuaca disini dong!" kataku.
"Maksud kamu?" tanyanya.
"Yah agar terbiasa, jika nanti harus tinggal lebih lama disinih!".
Meera mengerti dengan maksud dari ucapanku tersebut, lantas mencubit sambil menggeram, " ehemm."
"Aku boleh tanya nggak?" tanya ia.
"Tentang!" jawabku.
"Temas SMA mu, waknu di pantai tadi!"
"Kenapa dengan mereka?"
"Gk kenapa-napa!"
Mendengar ucapannya, langsung ku tatap wajah meera dalam-dalam. Ia memalingkan wajah, lantas menambahkan, "kayak nya, perempuan itu, kecewa sama kamu!"
"Maksud kamu si devi?" tanya tegasku.
Tanpa menyebut, meera meng iyahkan.
"Dari masa SMA, si devi orangnya emang gitu, agak manja-manja giman gituh."
"Tapi itu lain nu!"
''Hahaha," aku menertawakannya.
"Aku seorang wanita, aku paham bagaimana prasaannya!"
"Ok-ok aku jelasin masalah si devi." ujarku.
"Jadi diatuh emang begitu, klo kemaunya di tolak dia pasti kecewa, trus klo di bohongin yah pasti marah!"
Meera membantah ocehan itu, "semua orang juga akan seperti itu!"
"Sudahlah, ngapain bahas soal itu!" pungkasku.
Aku kira meera marah, sesaat meninggalkanku, kemudian kembali membawa sebuah gitar.
"Kamu bisa main gitar?" tanyanya padaku.
Langsung ku jawab, "tidak!"
Ia merasa tak percaya, "massa sih?"
Aku tegaskan, "iyah."
Meera mulai duduk dan memainkan gitar tersebut.
Sumpah, jika tak ingin membuatnya kecewa, aku ingin sekali menertawakannya, dikala ia bernyanyi, dengan suara dan petikan gitarnya yg fals.
Ia mendengarku yg sedikit cekikikan, lantas menegur, "kenapa kamu ketawa? "Ngetawain saya tah?" tanyanya dengan jutek.
Aku mengeles, "nggak, aku cuman malu ajah!"
"Malu kenapa?"
"Kamu ajah cewe bisa main gitar, sedangkan aku cowo!"
"Mau aku ajarin!" tawarannya begitu sombong.
"Boleh tuh." jawab rendahku.
Meera mulai memperlihatkan padaku, "nih, tangannya di letakan disini! Ini namanya kunci A."
"Ouh, gituh kunci a yah!"
"He'em."
"Trus klo kunci b?"
Meera kembali menunjukan, hingga seterusnya.
Setelah itu, ia berikan gitarnya padaku, "nih kamu coba!"
Ku raih gitar tersebut, dengan gaya sok polos, aku menekan ke tiga grip, "gini ra?"
"Iyah." ia menganggukan kepala.
Kemudian ku petik dari senar gitar tersebut, sambil sedikit bernyanyi.
Suara gita itu nyaring tak terdengar fals.
Meera menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Di baliknya ia teryawa terbahak, sempat-sempatnya masih mengejekku, "itu masih salah, hihi" sambil tersenyum malu.
Setelah ia mengetahui bahwa aku lebih jago darinya, ia malah menepok pundakku. katanya "kamu nyebelin baget jadi orang! Katanya gk bisa, itu apa?"
"Hehh, klo aku bisa, mungkin aku udah jadi pemain band terkenal!"
"Udahlah jangan ngeles mulu!" tutupnya.
Menghabisi waktu malam itu, aku dan meera bernyanyi, lagu yg kami bawakan tentang ke romantisan. Indah bukan??
Jika saja tuhan memberitahukan padaku, bahwa malam itu, adal malah terakhir kebersamaanku dengan meera.
Mungkin aku lebih memilih menetap ketimbang harus meninggalkannya.