Chereads / meera(terlanjur pergi tanpa pamit) / Chapter 6 - hari yg sama

Chapter 6 - hari yg sama

jalannya tergesah-gesah, pak sekuriti tadi kembali membawa meera.

Dari kejauhan meera sudah melihat keberadaanku, sambil menggelengkan kepala ia mendesah: "duhh ngapain tuh anak!"

"Tuh meera!" tunjuk dina kian girang.

Meera mendekat ke arah kami, lalu diam di sebelah dina. Dengan lembut ku sapa: "pagi ra!" tak lupa dengan senyumnya.

"Assalammuaaikum atuh!" seruannya padaku. 

"Waalaikumsalam!" aku menjawab.

Dirasanya salah, ia menyeru padaku: "Harusnya kamu!"

"Kamu juga gk salah." tegasku.

Tak ingin terlihat mengganggu, atau mungkin tak mau ikut campur, Dina pergi, katanya "mau masuk untuk mandi."

Meera juga masih dalam keadaan lusuh, itu terlihat dari baju tidur bekas di pakenya semalem.

"Udah cuci muka blom ra?" tanya isengku.

"Mm- mm." ia melihat jam di pergelangan tangan. "Masih pagi, ada apa nih tumben-tumbenan?" tanyanya.

"Aku rindu!"

"Oo-eee." gayanya seperti mau muntah. "Pagi-pagi udah ngomongin rindu!' tuturnya.

Aku turun dari atas motor, berjalan mendekat ke arahnya, pandangan berkaca-kaca, kedua tangan ku masukan kedalam saku celana, kemudian berkata: "rindu itu bagian dari keajaiban! Datangnya tak menentu, tak kenal waktu dan dimana tempatnya" "rindu tak bisa di obati, kecuali di pertemukan!"

"Haruh." keluh meera memegang jidat. "Trus terang ajah deh mau ngapain?"

"Aku mau mengambil helm, yg tempo dulu ku titipkan di sini!" satu alasan yg telah terlontarkan kepadanya.

"Ouhh, bilang ke dari tadi!" ia memalingkan badan dari pandanganku, melangkah beberapa langkah.

"ya udah tunggu sebentar, aku ambl dulu!" imbuhnya.

Saat ia hendak meninggalkan, aku menahannya: "e-eeh, tunggu dulu!"  tanganku yg reflek tanpa sadar ku tahan lengan bajunya. Kembali ia menoleh ke arahku. Aku pun menambahkan: "bukan cuma helm saja!."

"So-!"

"Sama kepalanya!"

"Kepala siapa?" jawab ia menyentak.

"Kepala kamu!" "hihihii."

"Nih potong ajah!"

Aku berpikir sejenak, memikirkan bagaimana caranya  mengajak dia jalan-jalan. 

Ide jahat dalam otakku mulai muncul, sedikit ku coba mengibulinya: "semalam selepas bersamamu, aku tertidur dengan lelap. Kemudian masuk alam bawah sadar,(mimpi)."

"Hem-em." gumamnya.

Aku lanjutkan ceritanya: "di mimpiku itu, kamu tau gk?"

"Appah?"

"Aku berada di atas gunung, pemandangannya begitu menakjubkan, di sana aku tengah termenung di bawah pohon yg rindang, satu hal yg membuatku marah, yaitu ketika seseorang berkata-kata mencemooh ku "jomblo yah!" dengan lantangnya."

"Bhahaha" tawanya menertawakanku. "Di mimpi ajah, ada orang yg mengejekmu, apalagi di alam nyata!" ejeknya.

"Saat itu pula aku terbangun, dan marah-marah sendiri: " sialan tuh orang!"

"Hubungan kamu datang kesini apa?"

Aku menjelaskan dengan serius. "Yg pertama, kamu harus tahu, dengan tempat yg ada di mimpiku itu!"

"Berarti aku harus tidur dulu, biar bisa mimpi sampai ke tempat yg kamu maksud!" Hihihi.

"Gk perlu, aku tahu tempat nyatanya di mana!"

"Ouh yah? Cerita mimpimu itu sangat meragukan, itu mimpi apa opini?"

"Bulset, ia begitu curiga." bisik di hatiku.

"Yang kedua, aku ingin menunjukan pada mereka, bahwa aku bukan seorang jomblo." lanjut ucapanku.

"Untungnya buatku apa?"

"Akan ku terima, kamu jadi pacarku!"

"Ngarep!" "sudah deh, aku sudah tahu, poko kamu datang kemari untuk apa?"

Aku dibuat malu olehnya.

"Kamu mau mengajak ku jalan-jalan kan?"

"Luar biasa." ucapku bertepuk tangan "ini keajaiban lagi, kamu sudah mengetahuinya tanpa ku jelaskan!"

Meera menengok langit, gumpalan awan hitam menutupi birunya. "Langitnya mendung, gk bagus buat jalan-jalan." tuturnya.

Aku pun mengikutinya, memandang ke arah langit yg memang sedang mendung: "mendung tak berarti hujan!" "aku tak melihat matahari di atas sanah!(langit)." turunkan pandangan ke arah wajahnya. "Matahari itu telah turun, dan aku melihatnya berada di depanku."

Matanya menyorot tajam ke mataku. Kami beradu pandangan dengan terdiam. "Itu puisi?" tanya gemasnya. Sontak pertanyaan itu membuyarkan imajinasiku, dan membuatku tertawa ter bahak-bahak.

"Yakin nih, kita jalan?" tanya tegasnya.

Ku tegaskan sekali lagi: "iyah." titik gk pake koma.

Ia melihat dirinya sendiri. "Aku belum mandi nih!" 

"Apa perlu ku mandikan?"

Ia menyuruhku untuk masuk ke dalam asrama, kemudian menginstruksikan menunggu di kantin, sampai ia selesai dan menemuiku.

Aku berjalan-jalan di sekitarnya. Melihat ruangan demi ruangan yg sepi. 

Kemudian terdiam di kantin, sambil memesan kopi.

Satu jam aku menunggunya, habis berbatang-batang roko, dan segelas kopi. Datanglah meera menemuiku.

Betapa terpesonanya diriku, melihat keelokan rupanya. Mataku melotot se akan tak mau berkedip, tanpa sadar mulutku sedikit menganga, masih untung  sampai gak keluar air liur.

Baju blusnya sangat feminim, rok pencil skirtnya begitu elegan, di lengkapi dengan tas flap bag, penampilannya seperti mau ke kantor. 

"Berangkat sekarang!" ajaknya padaku. Aku diam tak menjawab, melainkan trus memandanginya.

Ia menggebrak meja. "Hei!" "jadi gk nih?"

Aku tersenyum padanya, lalu bertanya: "mau ke kantor, apa mau jalan-jalan nih?"

Ia diam dengan wajah asamnya, mungkin sedikit tersinggung.  lalu ku puji dirinya: "penampilan kamu terlalu cantik!" "aku takut akan banyak orang yg terpesona di buatnya.!"

Barulah senyumnya tampak kembali. saat itu matanya yg berbinar rona pipi kemerahan memberikan cahaya pada langit yg tengah mendung.

"Helmnya mana?" tanyaku. "Ouh iyah lupa!" jawabnya dengan menepuk jidat. Ia segera berlali untuk mengambilnya. "Kamu tunggu aja di depan!" imbuhnya sambil berlari.

Ku tinggalkan kantin itu, dan menunggunya di depan.

---o0o--- suasana di perjalanan.

putaran roda sepedah motorku terasa kencang, tapi sayang spidometernya menunjukan isi bensin yg mulai menipis.  Baru beberapa kilometer berjalan, sengaja ku ajak meera, untuk mampir sejenak ke rumah om iwan. " kita mampir dulu sebentar yah!" 

"Hem-m, mampir ke mana?"

"Nanti aku kenalkan!"

sampai di rumah om iwan, terletak di karang tanjung, tetangga kecamatan dengan maja.

Aku beranjak turun dari motor, sementara meera tetap duduk santai di atas jok. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, langsung ku buka pagar rumah tersebut.

"Nu, itu rumah siapa? Main buka-buka aja!" lerainya padaku. Setelah pagar terbuka, kembali aku naik ke atas motor, menghidupkan dan memasukan ke garasi rumah tersebut.

Satu buah mobil dan motor terparkir di dalamnya. Hatiku menebak: "om iwan pasti ada nih!"

Kemudian ku tarik tangan meera. "Ayo masuk!" ajakanku. Wajahnya masih tanda tanya, tapi ia mengikutiku.

Ku ketuk pintu rumah itu "tok tok tookkk" tak lupa memberi salam: "salammualaikum!"

Tak lama, terdengar sahutan wanita dari dalam: "waalaikum salam!" kemudian pintunya dibuka, aku sudah bersiap siap mengagetinya. Tanteku yg membuka pintu, pertama ku lihat pandangannya masih menunduk, kemudian ia tadahkan melihatku, saat itu pula aku berteriak: "bbuaaa."

"Astagfirallah hal adzim." kaget tanteku, dengan mengelus dada. Sedikit jengkel ia  pun memukul pinggangku. "Kamu nu!"

Aku pun menertawakannya. "Hehehe"

"Ngagetin ajah!" ucap marahnya.

bersalaman kepadanya. "Apa kabar tan?" dan berkata.  Ia mengelus kepalaku dan menjawab: "alhamdulilah baik!"  "sama siapa ini?" tanya dengan kehadiran meera.  Meera menggeserku dan bersalaman kepadanya: "saya temannya tante!"

"Ouh temannya." sahut tanteku.

"Hari ini bilang teman! Besok pacar." potongku.  Meera mencubit perutku: "apaan sih?" dan mengelak.

"Ayo masuk-masuk!" ajak tante.

"Om iwan ada tante?"

"Ada tuh di dalem, lagi ngopi tadimah."

Ku temukan om iwan tengah duduk santai, wajahnya menunduk dengan dua tangannya memegang koran. 

"Gk bosen apa om, tiap hari bergelut dengan koran mulu?" tanya sindirku. Ia melipat koran tersebut, kemudian menoleh ke arahku.

"Hai nu!" "tumben baru kesini lagi?"

"Iyah om!" lantas  duduk di sebelahnya.

"Ee-eeh siapa ini?" tanya om iwan nunjuk meera.

"Ini istriku om!" aku menjawab. "Muka gila, mimpi di pagi hari!" sindir om ku.

Aku kenalkan meera pada om dan tanteku, mereka menyambut dengan baik,

Menurutku, om dan tanteku memiliki kepribadian yg  ekstrovert, mudah bergaul dan terbuka. 

Begitu dengan meera, ia merasa di hargai, kerap kali tanteku mengajaknya berbincang.

"Tante, si repan ke mana?" tanyaku yg tak melihat keberadaan revan. Revan itu anak tante dan om ku yg masih balita, kira-kira 4thnan. 

Kata tanteku: "revan di ajak jalan-jalan sama bibinya."

"Ouh, trus di garasi, mobil siapa tuh?" tanyaku.

Kali ini om iwan yg menjawab: "itu mobil kantor."

"Hebat udah di kasih pentaris ajah!"

Lalu om iwan menawarkan pekerjaan untukku. "Nu, mau gk kerja?"

"Kerja apaan?"

"Kerjaannya enak ko! Kamu cukup jalan-jalan, terus temukan informasi apapun yg kamu tahu, rangkum menjadi sebuah artikel."

"Saya gk ahli di bidan itu om!"

"Karna kamu belum mencobanya! " setiap satu artikel yg masuk redaksi terus terbit, akan di bayar 20ribu." tutur om iwan.

"Danu mana mau!" potong tante. Aku terdiam tanpa meng iyah atau tidakan tawaran itu.

"Gimana kabar ayah kamu, sehat?" tanya om iwan.

"Alhamdulilah sehat!"

Om iwan menanyakan "di mana ayahku sekarang berada?" aku pun menjawab; bahwa "aku tak tahu, apakah ayah udah pulang kerumah, atau masih di pabrik. Karna semalem aku tak menemuinya."

ujar om iwan, sebetulnya hari itu ia berencana mengunjungi rumahku, berhubung revan ada yg mengajak main, jadi rencana itu di undur menjadi sore.

Hampir satu jam aku di rumah om iwan, meera merasa sudah tak nyaman. Tak menunggu waktu, aku pun berpamitan.

"Om, tante, kami pamit dulu yah!" kataku.

"Mau ke mana kalian? Tanya tante.

Aku menjelaskan tentang rencanaku dengan meera yg akan pergi ke kampung domba.

Muncul sindiran dari omku: " kamu mau menemui saudara kamu yah?" yg ia maksud saudaraku adalah kambing.

"Om gk tau yah, sekarang di kampung domba, bukan hanya peternakan, tapi di jadikan tempat wisata om."

Keadaan bensin di dalam motorku sangatlah kering, di tambah dengan minimnya isi dompet, sebenarnya alasanku mampir terlebih ke tempat omku, tak lain tak bukan, berharap bisa di beri kebijaksanaan berupa dolar. Lihatlah alasanku kepada om iwan.

"Om, boleh gk aku pinjam motornya?"

Om iwan dengan herannya bertanya balik padaku: "emang motor kamu kenapa?" meera juga berpikir demikian.

"Motorku rusak om!"

Semua yg mendengar pernyataan ku, di buat tak percaya.

"Itu bisa sampai kesini?" tanya omku.

"Iyah, entah kenapa sampai kesini mendadak rusak!" 

Tiba-tiba tante langsung memotong."emang rusak apanya?"

Dengan tegas ku jawab: "kayaknya dari bahan bakarnya sih!"

Omku terdiam dengan senyum, tante sudah mulai mengetahui akal-akalanku, ia tersenyum mesem.  Meera masih bingung.

"Udah yah, si danu mah cuman alesan ajah, motor rusak segala." tutur tante.

Om iwan berdiri, sambil merogoh kantong, dan mengeluarkan dompetnya. Akupun menahan dan berkata: "om jangan di sini, ada meera tuh, gengsi dong!"

Meera mulai mesem, dan paham dengan alasanku tadi. Dengan rasa tidak malu, aku mengambil uang yg di beri oleh om iwan. Pokoknya om iwan itu the besth lah.