Chapter 5 - cara tawa

Malam itu, tepat pukul 19:30wib. aku sudah sampai di alun-alun pandeglang. Setengah jam lebih awal dari perjanjian, sengaja aku lakukan agar tak membuatnya menunggu.

menunggu kedatangannya aku duduk-duduk di bangku taman, mengisi waktu dengan membaca sebuah novel.  Orang-orang banyak yg berlalu lalang di sekitaran, Tapi tak ku hiraukan.

Meera berjanji akan menemuiku di alun-alun pukul 20:00 wib.

Ia berpesan "tak usah di jemput, nanti akan datang bersama temannya."

Cerita di dalam novel yg sedang ku baca, mulai mengasikan, membuat ku larut ikut dalam ceritanya. hingga aku lupa jam sudah bergeser setengah jam.  kedatangan meera guna menemuiku lupa aku perhatikan.

Terdengar seseorang bicara dari belakangku: "serius amat tuh!" katanya.

Tanpa menoleh ke arahnya aku menjawab: "iyah nih!" dengan kata haru.  "Ouh jadi gituh!" tambah orang tersebut seakan ngambek.

Akupun menengok ke arahnya. Sedikit terkejut ketika tahu itu adalah meera. "Hai ra!" sapaku padanya. "Hai.!" balasnya.

Sambil menjulurkan tangan, mengajaknya bersalaman aku bertanya: " kok tau, bahwa aku duduk disini?"  ia menjabat tanganku sambil menjawab: "tercium dari wangi parfum yg kamu pakai!"

Senyuman kecilpun aku lemparkan padanya.

"Sama siapa?" tanyaku. Meera menarik teman di sebelahnya: "nih kenalin teman saya!" 

Kembali ku julurkan tangan: "danu." ajakku berkenalan. "Dina." ucap namanya.

"Cuman berdua?" tanyaku.  "Emang kenapa?" jawab sinis meera.  "Nggak." elakanku. Padahal di hatiku berkata: "cuman ganggu suasana ajah!" dengan keberadaan temannya.

"Tenang kak, saya gk akan ganggu ko!" ujar dina merasa gk enak hati.  Hatiku kembali berkata: "waw, hebat tuh orang, bisa tahu isi pikiran saya!" 

Tak berselang lama, datang seorang pemuda menghampiri kami. " hai semunya!" sapaan pemuda tadi. Dengan mengangguk aku tersenyum menatapnya.

Ekspresi wajah dina begitu senang, senyumnyapun kian lebar. "Ra, kenalin nih, pacar saya!" ucap dina.  "Hai." timpal meera menatap pacar dina.

Dina menarik pemuda itu, berjalan beberapa langkah menjauhi aku dan meera. "Ra, kenalin nih pacar kamu!" ujar candaku pada meera. Meera menghempaskan tanganku. "Apaan sih!" jawabnya.

Aku pun duduk berdampingan dengannya. "Udah lama?" tanya meera mengawali.

"Lumayan sih!" jawabku.

"Sejak kapan?"

"Sejak pernikahan si ilham!"

Ia terhenti sejenak, alisnya berkerut, matanya sininis. "Pertanyaan kemana, jawabnya kemana?" tutur meera.

"Apa maksud kamu?" tanya santaiku.

"Maksud kamu juga apa?" tanya baliknya, dengan suara tinggi. "Kan tadi kamu bertanya,  udah lama? Trus aku jawab lumayan, kamu menambahkan sejak kapan? Aku jawab lagi sejak pernikahan si ilham! Truss salahnya dimana?"

"Maksud kamu, sejak pernikahan si ilham itu apa?"

"Sukanya!"

"Sama?"

"Kamu!"

"Itu yg gk nyambung!"

"Huh, gitu ajah marah." aku melihat di kedepan, ada sepasang kekasih sedang bercumbu dengan romantis, sambil berpegang tangan. "Kamu lihat mereka ra?" tunjuku pada meera.  Meera melirik kearah yg ku tunjuk, lalu bertanya:"kenapa?"

"Masa pacaran sambil pegangan tangan kaya gini!" jawabku dengan memperagakan pegangan tangan ala mereka.

Meera memandang tajam tangannya yg sedang ku pegang. "Trus ini apa-apaan?"

"Ini cuman pragaan tau, pacaran ala muslim gk boleh pegangan tangan, belum mahrom!"

Sontak meera menghempaskan tanganku: "alesan ajah!" ambeknya.

"Tadi baca buku apa?" tanyanya dengan sebuah buku dariku  "Heem." jawab tengokku. Lalu kutunjukan buku novel yg sedang ku pegang: "aku tadi baca novel."

"Karya siapa?" tanya sembari mengambil buku yg sedang ku pegang.  "Judulnya cinta suci meera!" mendengar ucapku ia langsung menatap dengan tajam. "Hehehe!" cengirku. 

Meera membuka lembara buku tersebut. "Kamu harus baca deh ra!" seruku.

"Emang kenapa?"

Aku mulai menceritakan sinopsis dari novel cinta suci zahrana, sebuah buku yg di tulis oleh habiburahman el shirazy. 

"Didalam novel ini, mengisahkan sosok zahrana, ia wanita yg hebat, pintar dan banyak meraih prestasi. Zahrana seorang wanita yg lebih mengutamakan karirnya. Hingga membuatnya lupa akan usia yg meranjak dewasa."

"Trus apa yg membuat saya harus membacanya?" tanyanya.

"Supaya kamu sadar, bahwa karir bukanlah segalanya!"

"Aku bukanlah wanita karir, aku hanyalah seorang pengabdi."

"Kita jalan kesana yuk!" ajakku mengalihkan topik pembicaraan. 

bersamanya berjalan berdampingan, langkah kami laun. Sementara novelku masih di pegang olehnya.

"Apa yg membuatmu suka membaca novel?" tanyanya memperlihatkan novel.

"Ada yg bilang, buku itu jendela ilmu! Aku rasa kenapa aku suka membaca novel, karna ada kehidupan didalamnya." "kamu tau ra, rumus di dalam sebuah novel rata-rata hampir sama, yaitu tentang cinta!"

"Lantas, jika semua berumus sama, kenapa tak terlihat membosankan?" "malah makin di gemari!"

"Ada sebuah proses yg menjadi pembeda!"

"Kamu, udah pernah blum menulis sebuah novel?" tanyanya

"Blum!"

"Biasanya, kalo orang yg suka membaca, apalagi membaca sebuah novel, orang itu akan terdorong untuk mencoba meng ekspresikan dirinya lewat tulisan."

"Aku sempat berpikir demikian. tapi, aku belum punya seseorang untuk menjadi tokoh dalam ceritanya." 

Ia menekok ke arahku: "pacar kamu?" biasanyakan seorang pacar paling gampang di bikin cerita!"

"Memang betul, dan perlu kamu ketahui! Sebentar lagi cerita itu akan ku buat."

"Jangan pandang aku seperti itu!" ucapnya merasa iba saat ku tatap ia begitu dalam.

Aku rasa malam itu begitu hangat, indah dan tentram. Sesekali aku dengannya duduk di bawah pohon, memandang langit yg di penuhi bintang.

Jika aku bisa bernyanyi, mungkin aku akan bernyanyi untuknya, menemani malamnya agar tak terlihat sepi.

"Kita sudah bertemu untuk yg ke tiga kalinya. Kamu tahu, apa yg ku temukan sekarang?" tanyaku dengan santai.  "Apa?" tanya ia.

"Suatu keajaiban!"

"Jangan so puitis." "kamu tahu nu, yg aku hawatirkar yaitu kesedihan dibalik senyuman!"

"Apa maksudnya?"

"Tak selamanya hidup itu seimbang, tak ada kesedihan yg bertahan lama, atau kebahagian  terdengar abadi." konsekuensi kehidupan itu hanya dua, antara kesedihan dan kebahagiaan." pungkas meera.

jika kita sedang berada di posisi bahagia, kita pasti lupa bahwa kesedian semakin dekat untuk mencoba keyakinan. sama dengan yg ku alami, aku tak pernah berpikir dunia akan membalikan keadaan, dan membawaku dalam keterasingan.

Aku tutup malam kebersamaan, dengan mengantarnya pulang ke asrama.

---o0o---

Pagi kembali menyapaku, aku tuturkan rasa syukur dengan harapan dan semangat tinggi. Segera untuk mandi, hingga berdandan. Kemudian  berangkan dengan spedah motorku untuk menemui meera, tanpa sepengetahunnya.

Sesampai di depan asramanya, pintu pagar masih tertutup rapat, suasana juga terlihat sepi, maklum hari itu hari minggu jadi sekolahnya libur.

Segera aku turun dari motor, lalu berjalan ke arah pos sekuriti. Ku ketuk-ketuk pagarnya sambil mengucap salam: "salammualaikum, permisi pak!" seruanku dari luar. Tiga kali aku melakukan hal yg sama. Kemudian munculah sekuriti berbadan tinggi besar mendekat ke arahku. "Waalaikumsalam, ada apa yah?" tanya sekuriti tersebut dengan nada suara  mendengung. "wow" ia mengagetkan, membuatku terperenjap dengan dada menjumbul.

"Ma'af pak! Saya mau ketemu dengan meera!" ucapku sambil memegang pagar.

"Mau apa?" tanyanya galak.

"Ada perlu ajah!"

"Kamu siapanya?"

"Saya suaminya!" ucap bohongku.

Raut wajah sekuriti itu tampak heran, sambil menunduk ia di buat tak percaya, kemudian berbisik sendiri: "kapan ce meera menikah?"

Pak sekuriti kembali menadahkan wajahnya ke arahku dengan tajam: "kamu jangan berbohong!" Ce meera itu blum menikah, jadi jangan ngaku-ngaku sebagai suaminya." ucapnya begitu nyolot.

"Klo bp gk percaya, silahkan bp sekarang temui meera! Bilang padanya,  suaminya nungguin di luar!" 

Pak scurity jadi penasaran olehku. Iapun pergi akan menemui meera, tapi sebelum itu ia mengancamku: "awas kalo bohong, telinga kamu hilang satu!" ancamnya sambil nunjuk.

Aku menunggunya di luar, duduk di atas motorku. dari kejauhan sekuriti tadi berjalan tergesah-gesah.

Di tengah perjalanan, ia melihat dina sedang  melitas di depannya. Kedua matanya langsung melek, langsung berterik: "din- dinaa!" memanggil dina dengan tangan melambai-lambai.

Dina pun menghentikan langkahnya, lalu menengok ke arah sekuriti. "Saya?" tanya dina menunjuk dirinya. Pak sekuriti manggutkan kepala: "iyah kamu!" 

Dina terdiam, pak sekuriti menghampirinya.

"Din, liat meera gk?" tanya pak sekuriti dengan napas naik turun.

"Ada apa pak?" tanya heran dina.

"Nggak! diluar ada yg nyariin ce meera!" tunjuk pak sekuriti ke luar. "Kamu liat meera gk?"

Dinapun tengok-tengok ke luar: "siapa yg nyariin meera?"

"Gk tau tuh, katanya suaminya!" ujar pak sekuriti.

"Suaminya!" kaget dina mendengar. "Sejak kapan meera punya suami? Nikah aja blom!" timpal dina.

"Kata orangnya sih gitu!" 

"Ya sudah, sekarang bp temui meera! Saya temui orang itu!"

Pak sekuriti melanjutkan menemui meera, sementara dina datang menemuiku.

Dari jauh mulai terdengar suaranya; "ouh ini yg ngaku-ngaku suaminya meera!" aku pun tergugu mendengar celotehnya. 

Dina membuka gerbangnya, dan mendekat ke arahku. "Kk yg semalem itu kan? Tanyanya.

"Mana meera?" balik tanyaku. Dina berdiri di hadapanku dengan menjawab: "sedang di panggil sama sekuriti." "tadi saya kaget, saat pak sekuriti bilang ada suami meera nyariin di depan!"

"Heheehe." aku tertawa di buatnya.

"Parah! Kamu sudah ngerjain pak sekuriti!"