Chapter 4 - kidung

Alasanku menghentikan motor itu, untuk mengisi bahan bakar, tapi bukan bensin melainkan bahan bakar perut.

"Prutku lapar nih, makan dulu yuk!" jawabku dengan pertanyaan meera tadi.

"Boleh tuh."

ku putuskan untuk makan pecel lele, selain harganya yg murah, tempatnya begitu sepi, nyaman buat berduaan. 

kami duduk saling berhadapan, satu tanganku menahan dagu, terasa pipiku sangat tembem mungkin akibat terlalu banyak tersenyum.

Aku merasa aneh dengan hari itu. Bibirku sangat berat untuk tertutup inginnya senyum trus.

"Kamu senyum ajah dari tadi! bangga yah jalan denganku?" ucap dengan pede nyA. Aku tak menjawab, melainkan tambah melebarkan senyuman.

"Kamu tahu ra?"

"Tau apaan?"

"Jangan di potong dulu, tanyaku blum usai!"

"Ok ok."

"Kamu tau gk?"

"Gk." potong ia kembali.

"Iiiihh kamu rese deh!"

"Hahaha." tawanya. "Trus gimana dong, kamu kan bertanya, kamu tau gk, yah aku jawab tidak."

"Emangnya kamu tahu, apa yg akan aku tanyakan?"

"Nggak! emang apaan?"

"Dengerin dulu yah, rese nih kamu." "kita udah bertemu brapa kali?" tanya santaiku.

"Eeemm." ia sok mikir dengan menempelkan telunjuk ke otaknya. "Brapa kali yah? Sepuluh atau dua puluh?"

"Iiihh serius nih!"

Wajahnya mulai terlihat datar, ia menjawab dengan benar: "dua kali." sambil mengacungkan dua jarinya.

"pertama di resepsi pernikahan." "kedua yah sekarang!" "emang knapa?" wajahnya kian bertanya-tanya.

"Kamu tahu, pertemuan pertama itu bisa di sebut apa?"

"Yah mungkin, itu suatu kebetulan."

"Trus yg kedua?"

"Bisa jadi kebetulan lagi."

"Hahaha" tawaku begitu tergugu. "Aku setuju, jika pertama adalah sebuah kebetulan! Tapi yg ke dua, kayak nya ini adalah keberuntungan!" ucap launku.

"Keberuntungan bagi siapa?"

Tanpa mengungkap dengan kata, aku hanya menepuk-nepuk dadaku. (Keberuntungan bagi ku)

Sedikit merasa tak adil, tangannya mendorong bahuku: "bruntung bagi kamu! Tapi siap buat saya, hahahaha"  "trus jika nanti kita bertemu kembali, apa itu artinya?" timpal meera dengan pertanyaan.

Sebenter aku terdiam dalam senyuman, tengok ke kanan tengok ke kiri mengulur waktu.

Meera tak sabar, lantas menggebrak meja. "Bruuk" suara gebragan tangannya. 

Orang-orang yg ada, melirik melihatkan kami. 

meera mengangguk seraya merasa malu.

"Aku rasa, jika nanti kita bertemu kembali, itu akan menjadi pertemuan kali ke tiga." "dan aku menganggapnya sebagai suatu keajaiban."

Seteleh mendengar pernyataan itu, wajahnya terlihat menyepelekan, hendak tawa tapi di tahan.

---o0o--- moments later suasana di depan asrama sekolah.

"Disini kamu mengajar?" tanyaku saat sampai di tujuan.

"Iyah. ''Di sini aku bukan guru!"

"Lantas?"

"Aku hanya membantu mereka (guru)."

"Ajarkanlah kepada mereka, apa yg dulu kamu pelajari!"

"Hehe so bijak!" sindirnya.

Di depan gerbang asrama itu, aku masih terduduk di atas motor, sementara meera berdiri di sampingku, dengan pandangan ke arah asrama, helm yg ku pinjamkan blum sempat ia buka, masih menempel di atas kepalanya.

Aku merogoh saku celana, untuk mengambil hanpone, lalu ku buka, waktu sudah menuju pukul 22:35 wib.

Tangannya saling berpegangan, pandangannya menunduk ia berucap: "makasih yah, tumpangan serta traktirannya?" kemudian memandang wajahku: "ini gratis kan?" tambahnya. 

"Hahaha." tawaku cukup nyaring. "Gk bisa gituh, di negri ini tak ada yg namanya gratis!"

Responnya kian heran, itu terlihat dari dua alisnya yg mengerut: "harus ku bayar?"

"Yah tentu!" jawabku nampak serius.  "Yaudah brapa?" tanyanya mulai nyolot, dengan merogok uang di dalam tas.

"12 (dua belas)."

Wajahnya mulai mem'erah, senyumnya sedikit sirna: "dua belas apa?" tanya bingung suara menyentak

"Dua belas angka, angka yg menjadi nomer telpon kamu!"

Rasa gedednya muncul, iapun mendorong badanku dengan laun: "sialan! Pin bb ajah nih!" tawarannya.

Aku berikan hanpone ku padanya, agar di masukan pin bb punya nya. Di tahun itu bbm (black barry mesenger) sangat marak di gunakan.

"Yaudah yah, aku masuk dulu! Udah malem nih!" ucapnya sambil melirik ke arah jam di pergelangan tangannya. "Ouh iyah!" kemudin meera melepas helm di kepalanya: "ini gk di tanyain?" tunjukan helm padaku.

"Nanti ajah aku bawanya!"

"Emang knapa?"

"Kamu masih membutuhkannya!"

"Jd ini buat aku?"

"Bukan gitu, tapi simpan ajah!"

"Buat apa?"

"Biar ada alesan buat aku datang kemari lagi!"

"Dasar kamu!"

Segera ku rapihkan jaketku, lalu memakai helm. Meera masih berdiri menemaniku.

"Aku pamit yah!" ujarku. Kepalanya mengangguk: "hati-hati!" 

Sebelum aku tancap gas, aku kembali meliriknya: "malam minggu, jalan yuk!" ajakan padanya.

"Nanti lewat chat ajah kabarinnya" jawab singkatnya.

Aku tersenyum bahagia, kemudian meninggalkannya. sejauh motorku berjalan ia tetap berdiri melihatkanku.

---o0o--- moments later

Sesampainya aku pulang kerumah, masuk kedalam kamarku, langsung menubrukan tubuh ke kasur. "Hahh, huhuu." tarikan serta hempasan napasku.

Tubuhku terlentang di atas kasur, kepalaku berbantalkan sebelah lengan. Padanganku ke langit-langit, aku tersenyum bahagia.

saat itu aku sangat bahagia, jika ada salah seorang yg menemaniku, mungkin aku akan menceritan kebahagianku itu kepadanya. Aku terpikir, lebih baik aku tulis sajah momen-momen bersamanya(meera) biar nanti di ceritakan ke anak cucu.

Aku membuka laci, ku temukan sebuah buku kecil lengkap dengan pulpennya. Ku ambil buku itu, lalu ku buka dan mulai menulisnya.

Rasa bingun sedikit menghampiri, ketika harus ku namakan apa cerita ini?.

Munculah ide saat itu, aku teringat bahwa pertemuan pertama terjadi di tanggal 11 bulan 11 (november) tahun 2011.

Ku berikan judul buku itu 11.11 from meera.

Semenjak bertemu dengannya kembali, malam-malamku mulai stabil. 

Pagi itu, aku bangun lebih awal. Kicauan suara burung terdengar nyaring, embun yg hinggap di atas daun terlihat segar. Tak sempurna jika pagi yg indah itu, tak bertemankan segelas kopi. 

Sambil bernyanyi riang aku membuat kopi.

Dengan sinisnya ibuku menyindir: "tumben-tumbenan, pagi-pagi udah bangun?" dengan kedua tangan sedang menggosok piring piring kotor.

"Bangun salah, gk bangun apalagi!" tembalku.

"Kemaren kemana ajah?" sindir ibuku kembali.

Ku duduk di depan rumah, sambil menghisap sebatang rokok. ku pegang hanpone sambil melihat bbm. "Ping" kiriman chatku pada meera.  "Ya." balasan meera.  "Met pagi hati, Kamu tau gk? Pagi ini, dunia sedang tersenyum melihatmu" tambah chatku.

"Pagi juga! Tersenyum karna apa tuh?"

"Karna aku menyapanya!"

"Hihihi." pungkas meera.

Ilham datang menghampiri, dengan tengtengan gelas di tangannya: "hasil kayak nya!" tanyanya sambil menemaniku duduk. Ku lemparkan senyum padanya.

"Nyampe jam brapa semalem, nganterin si meera?" tanyanya kembali.

"Masih sore, sekitar jam 11an."

"Dibawa kemana dulu tuh orang?"

"Dibawa kemana?" "saya cuma ngulur waktu ajah, biar bisa berlama-lama!"

---o0o--- beberapa hari kemudian.

Hari itu adalah hari sabtu, tandanya malam minggu segera tiba. Ku kabari ia lewat panggilan suara: "tut tut tuutt" bunyi dering telponnya. Iapun mengangkat lalu menjawab: "halo, salammualaikum!"  "waalaikumsalam." ku jawab. "Aku mau menagih janji nih!"

Ia menjawab: "janji apa?"  "jaji, malam minggu katanya mau jalan!" 

"Nagih janji, apa ngajak janjian nih? Hihihi." ucap ia. 

"Tepatnya ngajak janjian sih!" "gimana bisa gk?"

"Eemm gimana yah!"

"Gimana apanya? Bisa gk tuh?"

"Nanti aku pikir-pikir dulu!"

"Brapa lama?"

"Apanya?" tanya heran meera.

"Mikirnya!" jawabku.

"Eeemm, paling tiga harian!"

"Gk sekalian tujuh hari, biar nyampe ke minggu depan!"

"Hihihihhi" tawa ia dengan ngakak.

Sebetulnya aku merasa deg-degan mera mau nggak jalan denganku. Dengan jiwa yg tenang aku berharap ia mengatakan "iyah"