Tanpa terasa waktu sudah sore. Sudah banyak waktu yang aku habiskan di luar dengan langkah yang tak pasti. Dengan perasaan sedih dan hampa, aku pulang. Aku membanting pintu dan mengurung diri di kamar. Aku memainkan musik untuk menghibur diri ku. Dan agar tidak ada yang bisa mendengar ku menangis, aku mengeraskan sedikit suaranya.
Tak lama kemudian kedua orangtua ku pulang dari kesibukan mereka setiap hari. Mereka selalu pulang bersama, dan saling setia menunggu jika yang lain belum menyelesaikan pekerjaannya. Aku terbangun karena mendengar suara teriakan nyonya itu memanggil pelayan rumah. Aku membuka sedikit pintu kamar ku dan melihat kekompakan mereka. Aku sangat senang melihat mereka kompak dan mesra. Tapi terkadang aku muak melihat reaksi yang berlebihan dari keduanya.
Aku juga bingung dengan perasaan yang campur aduk itu, mungkin itu disebabkan karena mereka selalu mengabaikan ku dan tak pernah menganggap ku ada. Dari celah pintu itu, aku melihat kegembiraan mereka memanggil anak kesayangannya yaitu saudara kembar ku. Mereka bertanya bagaimana harinya di sekolah, bertanya apakah dia sudah makan atau belum. Tapi aku, mereka bahkan tidak bertanya tentang diriku sama sekali. Entah aku sudah pulang atau tidak. Atau entah aku sudah mati atau masih hidup, mereka sama sekali tidak peduli.
Kebencian ku semakin bertambah melihat semua itu. Dulu saat aku masih kecil, aku tidak mengerti dengan semua itu. Wajah ku hanya sedih ketika aku mendapatkan ketidakadilan dari mereka. Tapi seraya aku bertumbuh, dan sekarang menjadi remaja, perlahan aku mulai bisa memahami semuanya. Hati ku sangat hancur melihat sikap seperti itu setiap hari.
**********
Suatu hari ada kabar gembira yang menghiasi rumah kami. Bisnis ibuku berjalan sukses. Aku sangat senang mendengar pencapaiannya itu.
Saat mendengar berita itu, aku ingin memberikan ibuku hadiah. Aku ingin memberikan makanan kesukaannya yang aku buat dengan tangan ku sendiri.
Maka aku mencari di internet tentang caranya membuat makanan itu. Kemudian mempelajarinya. Ibu ku sangat menyukai brownis.
Aku mempelajari resep itu dengan seksama dan membuatnya dengan hati-hati karena brownis itu untuk orang yang spesial. Kemudian aku menyiapkan sebuah kartu ucapan yang di dalamnya tertulis kata 'I love you. Please love me too mom.'
Aku berharap apa yang ku lakukan itu bisa membuatnya bahagia dan berubah.
Setelah semuanya selesai, aku memandangi hasil karya ku dengan sangat bahagia. Kerja keras ku berhasil. Brownis itu sangat cantik. Tak sabar aku ingin menghampiri ibuku dan memberikannya. Dan memberinya ucapan selamat.
Kemudian aku pergi mengampiri ibu ku yang saat itu tengah asyik menonton televisi.
"Bu, aku dengar bisnis ibu berjalan sukses. Aku sangat senang mendengarnya. Selamat yah bu. Oh yah bu, aku membuat kue ini untuk ibu dan aku ingin merayakannya bersama ibu." Ucapnya sambil meletakkan kue itu di atas meja.
"Mmm...terimakasih yah."
Dia berbicara tanpa memandang ku ataupun memandang kue itu. Tapi pandangannya berfokus pada layar televisi sambil sibuk mengganti-ganti saluran televisi. Tapi aku tidak menyerah, aku mencoba kedua kali untuk menawari makanan itu.
"Bu, ibu tidak mencobanya dulu, sedikit saja."
"Nanti saja. Ibu masih kenyang."
Setelah mengatakan itu, aku tetap berdiri disitu dan menunggu reaksi selanjutnya. Tapi tiba-tiba saja saudara kembar ku datang menghampirinya dan berteriak,
"Bu, lihat! Aku menang game. Lihat bu! Aku sudah mencapai level yang tinggi."
"Wah, anak ibu memang hebat. Oh yah, bisnis ibu kan berjalan lancar, kamu mau ibu belikan apa?"
"Benarkah? Selamat yah bu. Aku mau dibelikan Ipad yang terbaru bu, seperti punya temanku."
"Tapi kan kamu sudah punya nak."
"Itu kan sudah lama bu. Aku mau yang terbaru."
"Baiklah, ibu akan belikan. Untuk anak ibu tersayang pasti akan ibu beli. Tenanglah."
"Wah, makasih banyak yah bu. Ibu memang sangat perhatian dan baik hati. Tak heran aku makin sayang."
"Yah sudah, kita pergi sekarang saja, bagaimana?"
"Serius? Baiklah aku akan siap-siap dulu yah bu. Tidak akan lama." Balas saudara kembar ku lalu berlari ke kamar.
Aku yang masih berdiri disitu, benar-benar tidak dianggap. Dia bahkan tidak mengajak ku. Aku semakin kesal dan marah. Tapi aku menarik nafas dalam-dalam dan memberanikan diri bicara lagi,
"Tapi bu, bagaimana dengan kuenya, apa ibu tidak makan dulu walau hanya sedikit?" Apa ibu tidak mau mencobanya sedikit saja dan mengatakan kue itu enak atau tidak?"
"Tenang saja, nanti akan ibu makan. Jangan khawatir. Ibu buru-buru pergi. Biarkan saja disana."
Kemudian mereka berdua pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada ku untuk menghibur hati ku. Setelah itu aku duduk disana menunggu mereka berdua pulang. Aku terus menunggu hingga berjam-jam. Aku duduk sambil memandangi
kue yang masih utuh itu dan kartu ucapan yang masih tertutup rapat. Hingga belakangan aku menjadi sangat marah pada diriku sendiri. Aku sangat kesal sampai aku memukuli diri ku sendiri dan memaki diri ku.
"Untuk apa aku susah payah membuatnya?
Untuk apa aku repot-repot menyiapkan ini semua?
Untuk apa?
Percuma!
Semuanya tidak berarti.
Aku hanya terihat seperti orang bodoh yang berharap terlalu tinggi.
Bukankah aku sudah tahu hasilnya akan seperti ini?
Ini bukan pertama kalinya ibu ku tidak menghargai apa yang ku lakukan. Seharusnya aku biarkan saja.
Entah bisnisnya berhasil atau tidak, kenapa aku harus peduli?"
Karena begitu marah, aku membuang kue dan kartu ucapan itu ke tempat sampah.
Kemudian aku kembali ke kamar ku dan mengambil sebuah album. Aku mengambil beberapa foto, dimana terdapat gambar ibu ku di dalamnya. Kemudian aku membakar semua foto-foto itu untuk meluapkan rasa kecewa dan amarah ku.
Lalu tak berapa lama, aku mendengar suara mobil. Itu adalah suara mobil ibu ku. Yah, suara mobil baru yang baru dibelinya karena kesuksesan yang didapatnya. Maka aku cepat-cepat membersihkan semua sisa pembakaran itu sebelum mereka memasuki rumah.
Dari jendela kamar ku aku melihat mereka pulang sambil tertawa bahagia. Wajah saudara kembar ku begitu bahagia membawa paper bag di tangannya. Paper bag yang berisi Ipad keinginannya itu. Aku benci dan muak melihat senyum bahagia yang melintas di bibirnya. Tapi aku menahan semua kekesalan ku demi mempertahankan persahabatan ku dengan saudara kembar ku.
Kemudian aku berdiri di cermin sambil memandangi wajah ku yang malang. Aku berbicara pada diri ku sendiri, kenapa aku mengalami hal seperti itu. Apa dosa yang sudah ku perbuat hingga mereka berdua, kedua orangtua ku tidak adil kepada ku. Dan kapan itu semua akan berakhir.