Ke esokan paginya, tiba-tiba ibu ku berteriak kencang dari kamarnya. Dia memanggil-mangil ayah ku yang saat itu sedang duduk santai membaca surat kabar. Suaranya yang memekikkan telinga dan penuh amarah itu membuat ku semakin takut. Aku tertunduk gemetar di meja makan sambil berharap semoga perbuatan ku tidak ketahuan.
"Sayang! Sayang! Cepat kemari!"
Ayah ku segera naik menghampirinya.
"Ada apa sih sayang? Pagi-pagi teriak-teriak."
"Sayang, uang dan kalung emas ku hilang. Aku menyimpannya disini. Di dalam laci lemari ini. Kau tahu, hari ini aku ingin memakainya. Tapi ketika aku membuka laci, kalung itu sudah tidak ada. Uangnya juga tidak ada."
"Sayang, coba kau ingat-ingat dulu. Siapa tahu kamu menyimpannya di tempat lain."
"Tidak sayang. Aku tidak mungkin lupa. Aku tidak mungkin salah. Sungguh, aku menyimpannya disini. Pasti ada yang mengambilnya."
"Apa? Tidak mungkin. Siapa yang mengambilnya. Tidak mungkin pencuri masuk. Jika ya, maka barang-barang berharga kita yang lain juga sudah hilang."
"Apa mungkin pelayan rumah kita yang mengambilnya?"
"Tidak mungkin. Pelayan kita sudah lama bekerja bersama kita. Dan kita tidak pernah kehilangan."
"Lalu kalau bukan mereka, apa anak-anak kita yang mencurinya?"
"Tidak mungkin. Untuk apa mereka mencurinya. Mereka kan punya uang sendiri. Setiap hari aku memberi mereka uang saku kan?"
"Lalu, kalau semuanya tidak mungkin. Kenapa uang dan kalung emas itu bisa hilang?" Balasnya mulai marah.
Lalu dia berkata lagi,
"Aku akan periksa semua kamar. Ini tidak bisa dibiarkan. Jika aku menemukan pencurinya, aku tidak akan mengampuninya. Akan aku hukum seberat-beratnya." Balasnya sambil mengepal kedua tangannya.
"Sudahlah sayang. Tenangkan dirimu. Kita akan cari sama-sama nanti. Sekarang ayo kita turun. Ayo kita sarapan dulu." Ujar ayah ku sambil merangkul istrinya dan membawanya turun.
Sesampainya di meja makan, ibu ku memperhatikan kami semua yang sedari tadi duduk menunggunya.
Dia mengamati kami satu-persatu juga dua pelayan yang menyajikan makanan.
Aku berusaha untuk tetap tenang dan normal ketika mata ibu ku akan mengarah kepada ku. Jangan sampai sikap ku nanti membuat dia curiga.
Lalu ketika kami sedang menikmati makanan, tiba-tiba ibu ku bertanya pada saudara kembar ku tentang uang dan kalung emas itu. Dia menjawab bahwa dirinya tidak tahu apapun tentangnya.
Dan sementara dia menjawab. Aku berpikir mencari alasan. Karena dia mungkin akan menanyai ku juga.
Dan dugaan ku benar. Dia langsung menanyai ku.
"Hei, apa kau melihat uang dan kalung emas ku? Maksud ku apa kau sudah mengambilnya?"
Aku sudah terbiasa dengan bahasanya yang kasar. Dan karena aku sudah mempersiapkan diriku, aku bisa menjawab ibu ku dengan tenang.
"Tidak bu. Aku tidak melihatnya. Aku bahkan tidak pernah masuk ke kamar ibu."
"Ah, iya benar. Kau tidak pernah kesana. Dan kau memang tidak di izinkan kesana.
Agh... sudahlah. Aku pasti akan menemukan pelakunya cepat atau lambat. Dan aku akan patahkan tangannya.
Lihat saja!" Balasnya dengan penuh kebencian.
"Sudahlah sayang. Kamu makan dulu. Nanti kamu sakit. Tenanglah, nanti aku bantu cari kan.
Ok." Balas suaminya sambil memegang kepala istrinya lembut.
Seusai sarapan, kami pergi ke rutinitas kami masing-masing. Aku dan saudara kembar ku berangkat ke sekolah. Ayah dan ibu ku juga pergi bekerja.
Aku dan saudara kembar ku disekolahkan di tempat yang berbeda. Jika dia disekolahkan di tempat terbaik di kota itu, maka aku hanya disekolahkan di sekolah biasa. Tempat orang-orang biasa. Dan jika dia diantar oleh seorang supir, maka aku berjalan kaki. Perbedaan yang sangat jauh. Meski semua ketidakadilan dan perbedaan itu, aku tetap menyayangi saudara kembar ku. Tapi tidak dengan orangtua ku.
Di perjalanan menuju sekolah, aku menyempatkan waktu untuk singgah ke toko itu dan menanyai Ipad itu.
"Pagi pak.
Bagaimana dengan Ipadnya pak. Apa sudah bisa diperbaiki?"
"Belum dek. Kami masih memesan barangnya. Dan mungkin 3 hari lagi barangnya sampai."
"Apa? Lama sekali pak."
"Itu bahkan sudah cepat dek. Biasanya bisa memakan waktu lebih dari 3 hari. Karena adek begitu mendesak, maka aku rela bayar ongkos kirim mahal agar barangnya cepat sampai."
"Aduh... bagaimana ini pak. 3 hari itu adalah waktu pengiriman spare partnya. Lalu waktu untuk memperbaikinya bisa berapa lama pak? Aku harus tunggu berapa lama?".
"Aduh, kalau tentang itu, aku ga bisa pastikan dek. Tapi aku usahakan cepat."
"Yah sudahlah." Balas ku dengan wajah yang sangat lesu.
"Lagi-lagi aku harus kecewa karena harus menunggu lama. Dan lagi-lagi aku harus mencari alasan untuk berdalih ketika saudara kembar ku meminta Ipadnya. Aku tidak berani berkata jujur. Karena aku takut dia akan sakit hati dan tidak mau lagi berteman dengan ku. Hanya saudara kembar ku satu-satunya teman yang aku punya.
Dan seperti biasa, wajah ku murung karena aku tidak mendapat berita baik tentangnya. Pikiran ku pun tidak pernah fokus belajar, sementara perlombaan itu tinggal beberapa hari lagi.
Ketika guru ku sedang menjelaskan materi pelajaran di depan kelas, tiba-tiba saja pandangannya tertuju pada ku yang saat itu sedang melamun.
"Hei nak, kenapa kamu melamun?
Apa yang kau pikirkan?
Apa sejak tadi kau seperti itu dan tidak memperhatikan pelajaran?
Tinggal beberapa hari lagi kamu akan mengikuti perlombaan. Kalau kamu terus seperti ini, bagaimana kamu bisa menang?
Bagaimana kamu akan mengharumkan nama sekolah kita?
Lain kali jangan ulangi.
Kali ini saya maafkan. Tapi jika besok terulang kembali, bapak tidak akan segan-segan menghukum kamu berdiri di luar di bawah terik matahari.
Paham?"
"Yah pak." Balas ku tertunduk gemetar dan malu.
Aku heran. Kenapa semua orang tidak ada yang bisa memahami ku. Mengerti penderitaan ku. Sikap mereka semua selalu menindasku dan menekan ku dengan kejam. Tidak ada yang menaruh belas kasihan pada ku sekalipun aku sudah melakukan yang terbaik. Tidak ada. Baik guru, teman di sekolah, pelayan di rumah, apalagi orangtua. Mereka semua menghisap seluruh tenaga ku dan menguras emosi ku.
Bahkan suadara kembar ku yang ku sayangi dengan segenap jiwa, perlahan-lahan mulai pudar. Rasa sayang yang dimilikinya perlahan-lahan hilang.
Aku bisa merasakannya. Sejak sikapnya kemarin yang membuat ku sangat sakit dan semakin dibenci.
Aku takut jika suatu saat dia tidak mengasihi ku lagi. Setelah tahu semua perbuatan yang ku lakukan. Aku juga takut jika rasa sayang ku kepadanya berubah menjadi benci karena sikapnya. Aku hanya berharap, aku memiliki banyak waktu dan kemampuan untuk mengendalikan semuanya.