Akira sekarang berada di lapangan pinggir hutan yang selama ini menjadi benteng alami Fujiwara. Dia menemukan kunai miliknya tergeletak di antara rerumputan yang mulai menguning. Diambilnya kunai itu dan dia menatap dalam. Bercak darah pengkhianat mengering di sana.
Dia kembali ke tempat di mana dirinya menerima misi penyusupan dari Hiroshi ke dalam pertahanan utama pasukan Oda tempo hari.
Kemudian Akira berbalik badan, memandangi tempat terbuka dan sudah kosong itu. Sorot matanya menjulur hingga ke ujung ruang hampa. Hanya sisa – sisa asap tipis dari bekas bakaran ataupun lumbung yang dimusnahkan, mengawang di udara. Tak ada seorang pun di sana selain Akira.
Dia masih tak percaya bisa selamat dan lolos dari kawanan pemberontakan terhadap klan Fujiwara itu. Mungkin dia satu – satunya ninja yang selamat. Nasib kelima rekannya dan dua tim lain yang terakhir kali bersamanya, tidak diketahui kabarnya. Dia sempat mendengar besok adalah hari penghakiman.
Langkah gontai mengiringi jejak kaki Akira. Tapi dalam kepalanya memiliki satu tujuan, desa Totsukawa. Mungkin saja, di desa itu masih banyak ninja pendukung Fujiwara yang lolos dan selamat dari peperangan.
Desa Totsukawa menjadi desa terdekat dengan benteng utama Fujiwara. Jaraknya tiga jam perjalanan ke arah barat dari tempat Akira sekarang berdiri.
Ilalang dan batu – batu besar berserakan tak beraturan di sepanjang ruang sebelah barat. Jalan yang akan menjadi jalurnya menuju Totsukawa.
Terik matahari yang mulai condong ke pangkuannya cukup menyengat di kepala Akira. Dia berjalan kepayahan tak menentu dengan satu harapan, desa Totsukawa tak terkena imbas peperangan.
Dari kejauhan, Akira melihat bayang – bayang air menggairahkan pada jarak pandangannya. Kedua matanya yang sudah remang – remang seterang bohlam lima watt pun menjadi melek seketika. Dia berlari ke arah bayang – bayang air itu. Tapi, Akira merasa sumber air itu sama sekali tak mendekat. Semakin dia berlari, semakin bayangan air menjauh lalu hilang.
Itu hanyalah fatamorgana yang tak sempat terpikirkan oleh Akira. Dia belum menyadari sampai dia menepi ke pinggir dan bersender pada sebuah batu besar. Berlindung dari terik matahari yang begitu menyiksa.
Akira berhenti sejenak lalu berpikir untuk melanjutkan perjalanannya ketika senja menyapa, saat sejuk mengiringi, dan terik tidak lagi merusak kulit.
***
Lima menit kemudian, perlahan kedua kelopak matanya seperti ditarik paksa dengan beban berat, mengatup, sampai manik mata bening kecokelatannya tak terlihat lagi. Dia bergumul dengan lautan mimpi indahnya.
Akira mendapati dirinya hidup di pinggir sungai setelah pensiun dari dunia persilatan. Meski sesekali pejabat Fujiwara memintanya kembali, sebab dia punya kontribusi besar, Akira lebih memilih dengan kehidupan barunya.
Memiliki rumah sederhana jauh dari riuhnya keramaian. Tidak ada siapapun. Kebun – kebun tumbuh subur, sementara dia juga memiliki sampan untuk menangkap ikan di sungai. Kehidupan itu lebih menyenangkan di usianya yang sudah renta.
Kabut yang berkelun membuat semakin eksotis pemandangan di sekitar kediaman Akira.
Orang – orang dari masa lalu yang pernah berurusan dengan Akira dan Fujiwara mulai memburunya. Kepalanya akan menjadi barang yang bagus untuk tawar menawar dengan klan – klan besar, klan yang pernah berseteru dengan Fujiwara. Harganya akan sangat pantas untuk seseorang yang berulang kali membuat klan – klan lain kerepotan karena kecepatannya.
Sekelompok ninja muda pilihan dari klan Hosuki, kira – kira berjumlah lima orang, mulai mengepung kediaman Akira yang jauh dari hiruk pikuk keramaian. Mereka mengenakan pakaian serba hitam pekat, dan penutup wajah yang juga berwana hitam.
Tempat itu sangat tepat sebagai lokasi penculikan dan tidak akan ada orang yang tahu kejadian itu. Mereka tetap perlu waspada karena bagaimanapun juga, Akira adalah bekas ninja nomor satu Fujiwara.
Mereka mulai menyusun rencana untuk menangkap Akira. Umurnya mungkin sudah senja, tapi para ninja muda itu jelas tahu cerita kehebatan Akira di masa kejayaannya. Bahkan Hosuki pernah menjadi bulan – bulanan, ketika puluhan ninjanya dibuat tak berdaya di hadapan seorang Akira.
Dua orang di pintu depan, satu orang di pintu belakang, dan dua orang masing – masing berjaga di sisi kanan – kiri rumah sederhana itu.
Tok.. tok.. tok..
Salah satu dari kedua orang itu mengetuk pintu depan. Tak ada jawaban apapun dari dalam rumah. Mereka kembali mengetuk pintu itu dengan intensitas yang lebih cepat dan keras. Tetap saja tak ada respon dari dalam rumah.
Salah satu dari keduanya menjadi tidak sabar dan ingin segera mendobrak pintu itu. Tetapi ninja yang lainnya mengatakan untuk tidak perlu tergesa – gesa.
Tak lama kemudian terdengar bunyi ketukan dari dalam, seperti tongkat bertemu dengan lantai. Akira sengaja memberi tanda bahwa dia akan membuka pintu itu dengan segera.
Kedua orang di luar pintu depan menjadi sangat senang. Target mereka telah masuk ke dalam perangkap, dan siap untuk dieksekusi.
Akira meraih gagang teling pintu, lalu menariknya ke dalam hingga terbukalah pintu rumah itu.
Wushh..
Sabetan pedang dari salah satu utusan Hosuki itu meluncur cepat setinggi leher orang dewasa. Mereka sudah membayangkan kepala Akira menggelinding ke lantai setelah terkena sabetan pedang yang diasah tujuh hari tujuh malam itu. Tak hanya itu, mata tajam pedang itu juga dilumuri racun.
Ketika dua orang Hosuki itu melongok ke dalam, mereka bingung tak ada siapapun di sana. Padahal mereka sangat yakin seorang laki – laki berambut putih keperakan berdiri di sana. Mereka pun tertegun dalam keheranan.
"Apa yang membuat kalian datang ke rumahku?" suara seseorang terdengar dari belakang ninja yang tadi menyabetkan pedang. Dia menjadi gemetaran dan penuh tanda tanya, sejak kapan orang itu membokonginya.
"Orang itu.. sejak kapan dia berada di sini?" bisik salah satu dari kedua orang berpakaian serba hitam itu.
"Aku adalah.."
Akira tak selesai menjawab pertanyaan itu. Tiga buah kunai melesat dari arah belakang yang membuatnya harus menghindar cepat. Dia melompat gesit ke samping. Sekarang, Akira telah berdiri di depan rumahnya dengan sebuah tongkat.
Keributan itu memancing tiga orang lain datang. Kini mereka telah berkumpul dan bersiap menghabisi nyawa Akira.
"Lima orang pemuda melawan satu pria tua," kata Akira cukup keras. Dia sengaja mengatakan itu untuk mengejek tindakan pengecut para ninja dari Hosuki itu.
"Sudah.. jangan banyak bicara lagi," salah satu dari kelima ninja itu menghunuskan pedangnya dan berlari cepat ke arah Akira.
Serangan seperti itu sangat mudah sekali dihindari Akira, tetapi dia memilih bermain – main sejenak. Sudah sangat lama sekali dia tak bertarung lagi karena memilih meninggalkan dunia persilatan saat umurnya menginjak lima puluh tujuh tahun. Gerakannya menjadi cukup kaku meski masih cukup cepat untuk melawan lima orang itu.
Akira sangat mudah membaca gerakan lawan yang sekarang sedang bernafsu menghajarnya. Empat lainnya hanya berkacak pinggang menyaksikan duel itu. Mereka yakin temannya akan mudah mengalahkan Akira.
Bahkan, Akira sama sekali tak menggunakan kedua tangannya. Dia hanya menghindar saja tanpa menyerang balik. Beberapa kali sabetan pedang melayang tipis di depan wajahnya. Tapi Akira sangat menikmati itu.
Merasa sudah dipermainkan Akira, empat sisanya mulai menyebar ke segala sisi untuk mengepung Akira. Pria tua itu sekarang seperti seekor buruan di tengah predator ganas kelaparan.
"Pria tua sialan! Kau tak akan bisa lari lagi."
"Aku berpikir sebaliknya.." kata Akira yang tak jadi menyelesaikan ucapannya. Dia menyadari lima orang itu berdiri pada sudut yang membentuk area pentagram.
Mereka tersenyum sinis berhasil memancing Akira masuk pada teknik penyegelan milik klan Hosuki. Selama ini, klan Hosuki memang cukup terkenal dengan teknik penyegelannya yang sangat kuat. Bahkan, beberapa klan lain berupaya menghancurkan Hosuki karena kekuatan penyegelannya yang mengerikan itu.
"Bagaimana, Kek?" tanya seorang ninja Hosuki dengan senyum tersungging penuh kemenangan. "Apakah kau masih punya kata – kata terakhir sebelum jasadmu menyatu dengan belatung di tanah?"
"Gogyo fuin? Berarti kalian ninja dari Hosuki?"
Gogyo fuin atau teknik penyegelan lima elemen merupakan salah satu aliran dalam teknik segel.
Kekuatan segel ini bisa mengacaukan chakra dan membuat sang korbannya tak mampu mengontrol aliran chakra mereka dengan benar sehingga jutsu tak bisa bekerja dengan maksimal.
Teknik penyegelan lima elemen ini adalah milik klan Hosuki yang terkenal memiliki banyak teknik segel. Dengan lima ninja level menengah, teknik ini cukup kuat mengalahkan seorang ninja dengan level atas.
Sementara teknik segel, sesuai namanya merupakan teknik dasar ninja yang memungkinkan pengguna untuk menyegel, membelenggu, atau mengurung makhluk hidup, chakra, atau benda lain seperti senjata di dalam suatu objek.
Dengan menyegel fungsi tubuh atau chakra maka seseorang juga dapat melumpuhkan gerakan targetnya.
Merasa masuk perangkap teknik penyegelan itu, Akira menjadi cemas. Dulu, dia hampir terperangkap pada jebakan yang sama. Dia tidak menduga malah terjerat di depan rumahnya sendiri.
"Sayang sekali, kau telat menyadarinya," kata seorang ninja Hosuki lain. Mereka kompak membuka penutup wajah mereka.
Slashh..
Sebuah jarum bius meluncur bak roket menghantam target. Benda tajam sebesar pulpen itu melesat tepat mengenai dada kanan Akira. Cairan dalam jarum bius itu menyebar dengan cepat ke dalam tubuh Akira dan membuatnya hilang kesadaran. Kedua tangannya menggapai – gapai di udara, matanya berbinar menatap langit sebelum benar – benar menutup.
Tubuh Akira terkulai ambruk ke tanah dengan pandangan tipis dari balik kelopak matanya yang mulai rapat. Dia melihat orang – orang itu tertawa licik penuh kemenangan.
***
"Uhuk.. uhuk.." Akira tersedak.
Pemuda berambut kuning itu tersentak kaget karena merasa seperti ada sesuatu yang menghujam dalam dadanya. Kejadian itu serupa kenyataan. Dadanya terasa sesak. Seketika saja dia bangun dari tidurnya sejak siang.
"Ternyata hanya mimpi," batinnya kemudian.
Kepalan tangannya menggilas bebas kedua sarang matanya, lalu memandangi sekeliling yang tampak sudah mulai gelap. Dia berdiri dan teringat dengan tujuannya, Totsukawa.
Akira bergegas kembali melanjutkan perjalanannya yang cukup menguras energi. Istirahat panjang tadi cukup untuk mengisi ulang tenaganya meski kerongkongannya masih terasa sangat kering.
Alunan syair – syair syahdu dari beberapa hewan malam mengiringi perjalanan Akira kembali ke desanya. Dia sudah tidak sabar bertemu Takeda, adik dari ayahnya yang selama ini mengasuh dirinya sejak masih berumur delapan tahun. Tubuh Akira hilang ditelan kegelapan malam yang mulai menyusup ke setiap inchi ruang. (RS)