Setelah Raya selesai membersihkan tubuhnya, dia beranjak ke kasur empuk favoritnya. Namun baru saja dia hendak naik ke atas kasur tiba-tiba pintu kamarnya diketuk oleh seseorang dari luar.
"Non, sudah tidur belum?" tanya Si Mbok.
"Belum Mbok, sebentar aku buka pintunya," sahut Raya.
Raya pun membuka pintu kamarnya dan ternyata si Mbok yang berada di luar sana. Raya pun segera membukakan pintu untuk si Mbok dan menanyakan maksud kedatangannya.
"Ada apa Mbok?" tanya Raya ketika pintu kamarnya terbuka.
"Ini Non, Mbok mau antar susu buat Non. Tadi ibu bilang Non Raya harus minum susu dulu sebelum tidur," jelas si Mbok.
Minum susu sebelum tidur memang selalu menjadi kebiasaan anak-anak Bagus dan Seny. Karena dari kecil mereka sudah terbiasa maka sampai mereka sebesar ini pun kebiasaan itu akan terus dilaksanakan.
"Oh iya Mbok, terima kasih ya. Mbok tidur aja nanti biar Raya yang bawa gelas kotornya ke dapur," kata Raya.
"Gak apa-apa Non, biar Mbok tunggu aja di sini," ujar si Mbok.
"Ya udah kalau gitu Raya minum dulu ya Mbok." Raya mulai meneguk susu dari gelas yang diberikan oleh si Mbok.
Si Mbok tersenyum melihat anak majikannya sedang minum susu. Tak perlu waktu lama untuk Raya menghabiskan segelas susu tersebut. Dia langsung menyodorkan gelas kosong pada si Mbok ketika dia selesai meminumnya.
"Ini Mbok. Terima kasih ya Mbok udah repot-repot anter susu ke kamar Raya. Raya jadi malu deh," kata Raya tak enak hati.
"Gak apa-apa Non. Kenapa harus malu Non? Kan udah jadi tugas si Mbok, melayani seluruh anggota keluarga di rumah ini," kata si Mbok menjelaskan.
"Iya tapi Raya kan udah gede Mbok. Besok-besok biar Raya ambil sendiri ke bawah ya, Raya gak mau Mbok capek." Raya mengusap bahu sang asisten rumah tangga nya itu.
Mendengar ucapan Raya yang begitu perhatian pada dirinya membuat si Mbok terharu dan tak bisa berkata-kata lagi. Dia pun berpamitan pada Raya untuk kembali ke dapur karena pekerjaannya belum selesai.
"Si Mbok balik ke dapur dulu ya Non. Permisi," pamit si Mbok.
"Iya Mbok,"
Setelah kepergian si Mbok, Raya pun menutup kembali pintu kamarnya dan menguncinya. Di atas kasur kesayangannya dia mulai mengutak-atik ponsel berpelindung warna ungu muda itu. Hal pertama yang dia lakukan adalah menekan huruf-huruf pada layar ponselnya untuk mengirim pesan pada sang pacar.
"Fer, kamu udah tidur? Boleh aku telepon?" tanya Raya dalam pesannya.
Ferry tak membalas pesan Raya tapi dia langsung menelepon gadis pujaannya itu. Dengan wajah penuh senyum Raya menjawab panggilan dari Ferry.
"Hey, kok jadi kamu yang telepon aku?" tanya Raya dengan suara gembira.
"Iya dong. Aku gak akan biarin pacar aku yang telepon aku duluan," rayu Ferry.
"Huuu ... gombal! Baru juga sehari jadi pacar udah gombal," ejek Raya.
"Ya gak apa-apa dong. Lagian itu bukan gombalan kok," jelas Ferry dengan suara yang terdengar sangat teduh.
Darah hangat mengalir di seluruh tubuh Raya begitu dia mendengar ucapan Ferry barusan. Andai saja Ferry bisa melihatnya dia tentu akan merasa malu karena kini kedua pipinya yang putih terlihat begitu merah. Karena keduanya terdiam, maka Ferry pun menanyakan apa maksud Raya ingin meneleponnya tadi.
"Ray, kamu mau ngomong apa? Katanya ada yang mau kamu sampaikan sama aku," tanya Ferry.
"Eh iya sampe lupa kan," ucap Raya.
Gadis itupun mulai menceritakan kejadian makan malam bersama keluarga tadi. Dia menceritakan pada Ferry dengan suara yang sangat gembira. Dia merasa bangga karena telah jujur pada orangtua dan kakaknya. Walau hubungan mereka masih terbilang sangat baru, tapi memang ada baiknya jika semua diawali dengan kejujuran.
"Kamu serius Ray? Jadi keluarga kamu udah tau kalau kamu udah punya pacar? Apa mereka juga tau kalau aku yang jadi pacar kamu?" tanya Ferry tak percaya.
"Iya Fer. Awalnya aku juga takut jawabnya, aku takut mereka minta aku buat gak pacaran dulu," jelas Raya.
"Terus mereka bilang apa aja Ray?" selidik Ferry.
"Ya ternyata Mama sama Papaku punya pemiikiran yang sama kayak kita," ucap Raya senang.
Ferry bingung dengan perkataan Raya. Pemikiran yang sama yang bagaimana maksud Raya. Ferry benar-benar terkejut mendengar kabar ini sampai dia tidak bisa mencerna ucapan Raya dengan baik.
"Maksudnya gimana Ray? Aduh denger cerita kamu aku langsung gak fokus nih!" ujar Ferry.
"Ya ampun Ferry!" Raya terbahak mendengar kepolosan pacarnya.
Ferry pun menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia menjadi malu pada Raya. Karena tak ada jawaban lagi dari Ferry maka Raya melanjutkan ceritanya.
"Jadi Mama sama Papa aku sama sekali gak melarang hubungan kita asalkan ...." Raya menggantungkan kalimatnya.
"Asalkan apa Ray?" desak Ferry.
"Ya asalkan kita tetap fokus pada ujian kita dulu, dan hubungan percintaan kita ini kita jadikan pemicu semangat saat ujian," jelas Raya.
Mendengar penjelasan Raya barusan membuat hati Ferry lega. Dia merasa lega karena rupanya orangtua Raya hanya berpesan seperti itu. Ferry berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan mengabulkan serta menjaga amanat orangtua Raya.
"Ray, aku janji aku gak akan ganggu konsentrasi belajar kamu. Karena kita kan juga sama-sama punya mimpi untuk menggapai cita-cita kan," ucap Ferry.
"Iya Fer. Pokoknya kita jadikan hubungan ini bukan hanya soal perasaan tapi juga soal cita-cita," ucap Raya.
"Iya Ray, siapa tau nanti ke depannya kita berjodoh," harap Ferry.
Raya hanya tersipu mendengar ucapan Ferry. Dia langsung membayangkan jika memang dia dan Ferry benar-benar berjodoh, pasti dia akan merasa sangat senang. Karena Raya terlalu asyik melamun, dia sampai mengabaika Ferry yang masih menunggunya di sana.
"Ray, kamu masih denger aku kan?" tanya Ferry.
"Oh iya Fer, tadi Papa juga bilang kalau kita sudah selesai ujian kamu diminta datang ke sini untuk kenalan sama keluarga aku. Kamu mau gak?" tanya Raya.
"Hah? Kenalan? Ray aku kok jadi takut ya," ucap Ferry.
"Loh, takut kenapa Fer? Kan cuma kenalan biasa aja kayak yang waktu kamu datang ke sini bareng Reva," jelas Raya.
Ferry mengerti maksud Raya, tapi dia tetap saja merasa malu jika bekenalan langsung dengan orangtuanya Raya karena saat ini statusnya adalah Ferry sudah menjadi kekasih Raya, Ferry menerka-nerka apa yang akan dikatakan oleh orangtua Raya nanti ya?
"Fer, kamu gak mau main ke rumah aku nanti?" selidik Raya.
"Bukan gak mau Ray tapi aku takut," ucap Ferry jujur.
"Ya ampun Fer, kamu kan udah pernah ketemu sama Mama dan Papa aku jadi apalagi yang kamu takutkan? Udah santai aja ya," ujar Raya.
"Iya Ray, lagian kan masih minggu depan. Aku masih bisa mempersiapkan diri aku sebelum ketemu sama orangtua kamu," kata Ferry.
Raya senang sekali, ingin rasanya dia melompat di atas kasurnya. Dia masih tidak menyangka walau hubungannya dengan Ferry masih dibilang cinta monyet tapi respon kedua orangtuanya sudah seperti percintaan orang dewasa saja.
Perasaan Ferry pun campur aduk. Dia takut kalau nanti orangtua Raya tidak menyukai dirinya menjadi kekasih Raya karena status sosial Ferry yang sangat berbeda dengan keluarga Raya.
Karena waktu sudah semakin malam, maka Ferry meminta Raya untuk istirahat dan menyudahi obrolan mereka di telepon.
"Ray, ini udah malam, kamu tidur gih!" perintah Ferry.
"Iya Fer, aku juga udah ngantuk sih. Kamu juga ya," ucap Raya.
"Iya. Ya udah kita matiin ya teleponnya," kata Ferry.
Mereka pun mematiikan sambungan telepon mereka masing-masing. Raya tak henti-hentinya tersenyum membayangkan saat nanti dia membawa Ferry ke depan orangtuanya. Perlahan mata Raya mulai meredup dan gadis itupun mulai terlelap.