Chapter 6 - 6

Elle berjalan bersama Kelsey ketika ia melihat sebuah mobil berwarna putih melintas dengan pelan. Elle meemiliki firasat bahwa Kelsey akan dijemput hari ini.

"Kels, sepertinya Jude menjemputmu."

Kelsey menoleh kemudian ia melambaikan tangannya pelan. Kaca mobil itu turun seiring dengan terlihatnya perempuan muda dari dalam sana.

"Kau mau pulang bersamaku ?"

"Tidak, aku masih punya urusan." Tolak Elle dengan halus. Kelsey berlari begitu saja meninggalkan Elle yang berdiri di tepi taman.

Elle mengambil ponselnya yang bergetat sejak tadi. Disana ada sebuah nomor yang tidak ia kenal.

"Halo ?" Angkat Elle dengan hati – hati. Terdengar suara embusan nafas yang berat dari sana.

"Elle, kau bisa menemuiku sekarang ?"

"Noah ?" Ujar Elle tak percaya.

"Aku tunggu di depan perpustakaan." Sedetik kemudian Noah mematikan panggilannya. Elle segera beranjak dari tempatnya dan pergi masuk ke dalam gedung kampus lagi. Dia menaiki lift dan memencet angka 3 disana. Hatinya berdebar keras sekali, bagaikan ada kupu – kupu terbang di perutnya. Sesekali ia tersenyum kemudian memasang wajah datarnya lagi.

"Akhirnya kau datang juga." Ujar Noah dari kejauhan. Elle melangkah pasti ke arahnya dengan tenang.

"Ada apa kau memanggilku selarut ini ?"

"Ibuku membawakan sesuatu untukmu."

"Ibumu ?" Elle meralat kata – kata Noah tetapi lelaki itu sudah terlebih dahulu mengulurkan sebuah kotak makan disana.

"Aku harap kau belum makan."

"Ya... um... Maksudku aku memang belum makan." Elle menggelengkan kepalanya beberapa kali untuk menghilangkan kegugupan dari kepalanya. Ia mendudukkan dirinya ke bangku panjang sambil membuka kotak makan itu perlahan. Noah memperhatikan dengan detail setiap perubahan mimik wajah Elle, memastikan perempuan itu merasa baik – baik saja dengan pemberian ibunya.

"Mengapa ibumu memberikanku ini ?" Tanya Elle tiba – tiba. Ia hampir saja lupa belum menanyakan alasannya.

"Aku tadi sempat pulang ke rumah dan ibuku bertanya tentang perban ini. Jadi aku menceritakan semuanya, lalu ia membungkuskanmu makanan ini."

"Hei Noah..." Elle seketika menoleh pada Noah. Seperti biasanya, tatapan mata lelaki itu selalu dalam.

"Kau tak perlu repot seperti ini. Aku benar – benar ikhlas membantumu. Seharusnya kau bilang itu kepada ibumu."

"Aku tahu, tapi aku tak bisa mencegah ibuku jadi makanlah saja." Noah menimpalinya dengan tenang.

"Apa kau sudah makan ?"

"Sudah bersama ibuku tadi."

"Baiklah." Elle mulai menyuapkan sesendok kalkun panggang ke mulutnya. Dari baunya saja sudah terasa lezat menurut Elle, ternyata rasanya memang luar biasa.

"Wow. Masakan ibumu enak sekali." Puji Elle dengan semangat. Noah tersenyum kemudian ikut duduk di sebelah Elle.

"Aku sudah tahu kau akan menyukainya."

Elle tersenyum mendengarnya. Ia menghabiskan makanannya dengan cepat karena ia sangat lapar.

Noah menghadap ke belakang. Ia mengeluarkan sebuah teropong dari tasnya. Elle memperhatikan lelaki itu sejenak sambil menutup kotak makannya.

"Apa yang kau lihat ?" Tanya Elle ingin tahu. Noah segera memberikan teropong yang ia bawa pada Elle. Elle meneropong ke segala arah dan yang bisa ia lihat hanyalah langit yang buram.

"Ini kurang jelas, Noah."

"Tetapi aku tetap menikmatinya. Aku punya satu teleskop sangat bagus. Aku membelinya saat mendapat uang setelah memenangkan taruhan di balap motor. Dan sekarang aku ingat bahwa kau pernah menggambar teropong dalam tugas harianmu." Elle menoleh sejenak sambil tersipu malu. Noah tertawa pelan melihatnya.

"Aku menyembunyikannya di suatu tempat rahasia. Yang jelas tempat itu sangat tenang."

"Wow. Jangan – jangan kau menyembunyikannya di kamar mandi." Ujar Elle dengan nada sarkasmenya yang membuat Noah tertawa.

"Kau ikut taruhan di balap motor ?" Tanya Elle, membalikkan topik tiba – tiba. Noah menoleh seketika sambil mengangkat kedua bahunya.

"Rasanya sangat menyenangkan bisa merubah hobi menjadi uang." Elle terdiam seketika saat ia merasa Noah tak terlalu ingin membahas hal tersebut. Noah menyadari hal tersebut dan ia tidak ingin Elle berpikiran seperti itu.

"Apakah kau juga sama dengan mereka ?"

"Maksudmu ?" Elle spontan menolehkan kepalanya, menatap Noah dengan serius.

"Apakah kau juga berpikiran bila aku adalah segala hal – hal buruk di dunia ini ? Kau sudah pasti tahu maksudku." Noah menekankan kata – kata terakhirnya yang membuat Elle paham. Elle tersenyum kecil, membuat Noah menebak – nebak apa isi kepala perempuan itu. Biasanya Elle tak pernah tersenyum saat berbicara dengan orang yang belum kenal dekat dengannya.

"Kau tahu Noah, kita tidak bisa memaksakan pandangan orang lain terhadap kita. Maksudku, setiap orang punya standar masing – masing."

Ucapan Elle barusan terdengar sangat bijak, membuat Noah tersenyum sesaat.

"Jangan menatapku seperti itu." Ujar Elle sambil tertawa singkat ketika Noah tak bisa melepaskan pandangan matanya dari Elle.

"Tetapi pandangan orang lain sering membuat kita tidak nyaman."

"Aku tahu. Mereka selalu melebih – lebihkan sebuah hal. Percayalah Noah, aku melewati hal – hal seperti itu setiap hari." Elle tersenyum sesaat.

"Kau bisa cerita padaku." Noah mengungkapnya empatinya.

"Aku sudah terbiasa, tenang saja. Untuk mengatasi hal seperti ini, yang kau butuhkan adalah sebuah lensa yang baru. Lensa yang bisa kau gunakan untuk melihat dunia lebih luas lagi sehingga kau sadar bila masih ada hal yang lebih penting selain pendapat orang lain terhadapmu."

"Sayangnya aku tidak menemukan lensa yang kau maksud."

Elle tersenyum mendengarnya kemudian menoleh dengan matanya yang berseri – seri.

"Kau hanya belum menemukannya." Sekarang giliran Noah yang tersenyum. Elle benar – benar menyukai cara Noah tersenyum, senyum yang ia lihat di masa depannya, senyum yang selalu muncul untuk mengulurkan tangannya pada Elle.