Noah sedang mengatur teleskopnya sembari mencari gugus bintang yang cukup terang. Elle melihat ke sekelilingnya, mengamati apa saja yang ada di dalam rumah pohon tersebut. Ia takjub melihat bagaimana Noah menata tempat itu begitu rapi. Bahkan ada lemari kecil lengkap dengan bajunya, rak khusus untuk menyimpan makanan ringan dan cola, serta kasur lipat dengan selimut yang berada di atasnya.
"Kau membawa barang – barang ini sendiri kemari ?" Tanya Elle ingin tahu.
"Aku sendiri yang membangun tempat ini, aku juga yang menata semua barang – barang yang ada disini." Jawab Noah pelan.
"Apa kau sering kemari, Noah ?"
"Sangat sering. Hampir setiap hari aku tidur disini." Noah tertawa pelan setelahnya.
"Apakah kau tidak akur dengan orang tuamu ?"
Elle langsung menutup mulutnya saat ia sadar ia sudah terlalu lancing bertanya hal seperti itu pada Noah. Lelaki tersebut melepas teropongnya kemudian melirik Elle sekilas.
"Maaf, aku tak bermaksud...
"Tak apa, sangat wajar bila kau ingin tahu mengenai lelaki bermasalah sepertiku."
"Apa maksudmu ?"
"Katakan padaku Elle, apa saja hal telah kau dengar tentangku ? Jujur saja, tak apa." Noah kembali fokus pada teleskopnya. Ia belum berhasil menyetelnya dengan maksimal.
"Kelsey memberitahuku bahwa kau tidak berasal dari Lexington. Kau pindahan dari New York. Kau sering bertengkar dengan teman – temanmu. Kau terlibat balap liar..."
"Intinya aku dicap sebagai lelaki bermasalah." Sahut Noah dengan cepat.
"Noah, tidak semua orang memahami jalan pikir orang lain."
"Aku tahu." Noah tersenyum singkat.
Suasana menjadi canggung seketika. Elle merasa bahawa ia telah mengambil topik pembicaraan salah, bahkan terlalu sensitif. Noah tahu hal tersebut dan ia tak ingin menjadi semakin dingin.
"Aku pindah ke Lexington saat orang tuaku bercerai tiga tahun yang lalu. Aku kemari karena aku mengikuti ibuku, tentu saja. Beradaptasi tidak semudah yang kukira. New York dan Lexington berbeda sangat jauh. Teman – temanku yang sekarang memiliki pemikiran yang sempit. Semua hal mereka anggap tabu, bahkan ketika aku berkata aku memiliki tato, mereka langsung menjauhiku."
"Ini seperti saat kau terbiasa tinggal di kota metropolit kemudian pindah ke desa yang terpencil. Perilakumu akan dianggap aneh oleh mereka karena mereka tidak tahu cara bersenang – senang." Elle menanggapi ucapan Noah dengan sedikit tertawa. Lelaki tersebut tersenyum setelahnya.
"Aku tahu apa yang kau rasakan. 19 tahun hidupku terasa seperti di tempat pengasingan. Aku tidak pernah punya teman sebelumnya. Kelsey adalah teman pertamaku."
"Wow ternyata hidupmu jauh lebih sengsara. Aku masih punya hidup yang menyenangkan 19 tahun di New York."
Elle spontan memukul Noah sambil menahan tawanya. Lelucon yang dibuat lelaki tersebut terdengar sarkasme dan lucu di waktu bersamaan.
"Katakan padaku Elle, apakah aku cukup baik untuk menjadi penanggung jawab di kelompokmu ?"
"Um..." Elle berpikir sejenak sambil berusaha menata kalimatnya. Noah menoleh pada Elle dengan tatapan semangatnya.
"Hal pertama yang kurasakan saat aku melihatmu adalah kau orang yang sangat misterius."
"Ah... ya." Noah berusaha menahan tawanya.
"Kau juga orang yang irit bicara. Kau sedikit pemarah. Tetapi kau sangat cocok menjadi pemimpin."
"Bagaimana bisa ? Semua hal yang kau sebutkan barusan adalah kelemahanku." Noah justru tertawa. Ia tak marah sama sekali dengan komentar yang diberikan Elle.
"Dan barusan kau tidak tersinggung saat aku berkata hal – hal yang kurang baik tentangmu. Itulah kelebihanmu. Kau bukan manusia anti kritik." Tandas Elle mantap. Noah berusaha memahami ucapan yang dilontarkan perempuan itu barusan.
"Kau tahu, aku sering mendengar teman – temanku mengeluh bahwa kau sangat disiplin. Tetapi di satu sisi, mereka juga senang bahwa kau selalu bersedia memberikan arahan untuk membantu mereka menyelesaikan tugas. Maksudku, nada bicaramu memang sangat tegas namun kau tidak pernah marah berlebihan. Yang terpenting, kau selalu punya kunci untuk menyelesaikan masalah. Tidak seperti orang lain yang memarahi dengan keras namun tak memberikan jalan keluar."
Noah tertawa lebar saat mendengar kalimat terakhir Elle. Ia tahu bahwa perempuan itu masih kesal dengan apa yang dilakukan Amanda padanya tadi.
"Kau harus memaafkan Amanda. Dia memang begitu."
"Itu sebabnya kau tidak menyukainya."
"Apa ?"
"Tak apa." Elle enggan mengulangi kata – katanya, takut bila hal tersebut menyinggung Noah.
"Katakan saja." Noah setengah memaksa perempuan tersebut.
"Aku mendengar Amanda menyukaimu." Elle mengatakan hal tersebut dengan was – was, terlihat dari caranya menatap Noah.
"Siapa yang mengatakan hal itu ?" Alis Noah terangkat sebelah.
"Sarah. Ia memberitahuku. Sepertinya mereka berdua bersahabat."
"Memang." Jawab Noah singkat.
"Noah, apakah kau pernah berpacaran sebelumnya ?" Pertanyaan tersebut tiba – tiba terlontar dari mulut Elle begitu saja, membuat perempuan tersebut terkejut sendiri atas ucapannya.
"Mengapa memang ?" Noah tertawa melihat perempuan itu salah tingkah.
"Maaf, kau tak perlu menjawabnya." Sergah Elle dengan cepat.
"Aku punya pacar di New York. Tetapi kami putus saat aku pindah kemari. Kau tahu, perempuan tidak bisa menahan diri untuk tidak jatuh cinta pada lelaki yang memberinya perhatian. Sedangkan aku jauh darinya."
"Dia berselingkuh ?"
"Aku tidak ingin membahasnya." Noah tersenyum kemudian Elle mengangguk paham.
"Aku hanya ingin kau tahu Noah, bahwa orang – orang yang mencintaimu tak akan pernah meninggalkanmu walaupun kau jauh dari mereka." Elle mengedipkan matanya pelan kemudian ia beralih pada teropong yang ada di depannya. Noah berpikir sejenak lalu lelaki tersebut mengambil sesuatu dari lemarinya.
"Minumlah." Noah menyodorkan sekaleng cola kepada Elle.
"Terima kasih." Elle meminumnya seteguk.
"Kau tahu, aku senang sekali kau menunjukkan bintang – bintang ini padaku. Aku pernah berkata pada ayahku bahwa aku akan kuliah di jurusan astronomi. Tetapi ia justru melemparku dengan bantal." Elle tertawa lebar mengingat kejadian tersebut.
"Lalu mengapa kau masuk jurusan filsafat ?"
Elle tercekat begitu Noah menanyakan hal tersebut. Ia berusaha tenang dan menjawabnya dengan santai.
"Aku mengikuti kata hatiku, bagaimana denganmu ?"
"Aku ? Aku tidak tahu mengapa aku masuk filsafat. Ibuku yang memilihkan jurusan ini. Ia berharap aku bisa menemukan jati diri setelah memasuki jurusan ini."
"Wow ibumu seorang pemikir sejati." Noah tersenyum mendengarnya.
"Mengapa kau tidak pergi ke sekolah kedokteran ? Aku tahu ayahmu seorang dokter."
"Aku hanya ingin mengikuti kemana takdir membawaku, Noah. Aku tidak ingin selalu serius dalam hidup. Keinginan terbesarku adalah dikelilingi oleh orang – orang yang mencintaiku. Dan... sedikit bersenang – senang." Elle menyelipkan makna khusus dalam kata – katanya.
"Kau mau bersenang – senang ? Ayo ikut aku." Noah langsung mengambil jaketnya yang berada di atas lemari.
"Kemana ?" Tanya Elle dengan bingung.
"Bersenang – senang. I'll take you to the places you've never seen before."
Elle tahu bila apa yang keluar dari kepala Noah adalah ide – ide gila namun ia menyukai saat lelaki itu mengulurkan tangan kepadanya, seolah berkata bahwa akan selalu ada hal baik di setiap langkah. Dan Noah mengajarinya cara mendapatkan kebebasan.
"Let's go." Elle menerima uluran tangan itu dengan senyum yang lebar, mengetahui bahwa Noah adalah orang yang benar – benar ia lihat dalam pengelihatannya sebagai lelaki yang siap menjadi rumah baginya. Walaupun Elle tahu bahwa ia harus membayar mahal atas hal ini, namun rasanya tak masalah karena apa yang ia dapat setimpal dengan pengorbanannya.