Suara ketukan sepatu membuat seorang pemuda dengan kaos bewarna hitam itu menolehkan kepalanya. Di sana, di tangga, gadis itu memakai blouse bewarna putih dengan sepatu bewarna senada seperti atasannya dengan warna baby blue dan hitam di beberapa bagian. Ikat pinggang bewarna snow black melilit di pinggang rampingnya dan dibiarkan menjuntai sebagian hingga mengenai bagian lututnya yang tertutupi loose jeans. Sebuah shoulder bag bewarna baby blue terlihat sangat cocok tersampir di bahunya. Rambut hitam kecoklatannya dibiarkan terurai dengan riasan wajah yang terkesan simple. Terlihat cantik. Sangat cantik.
Pemuda itu berdehem setelah tertegun beberapa saat. Ia melirik jam tangannya. "Ayo, udah siap kan?"
"Iya." Gadis itu mengikuti langkah sang pemuda menuju pintu kayu bewarna putih dengan beberapa ukiran di permukaannya. Gadis itu menyambar kunci rumah di gantungan sebelah pintu. Gerakannya terhenti sesaat sebelum dia memutar kunci itu.
"Dave, sorry, ada yang lupa. Aku ambil dulu, ya?"
"Hm, gua tunggu di mobil."
Michaella segera bergegas menuju kamarnya. Ia meraih beberapa botol yang terletak di atas nakas sebelah kasur lalu memasukkannya ke dalam tas. Setelah memastikan tidak ada lagi yang tertinggal, ia segera turun ke bawah, mengunci pintu dan gerbang, lalu masuk ke mobil putih milik Dave. Beberapa saat kemudian, mobil itu melaju semakin cepat ke tempat yang dituju.
25 menit berlalu. Mereka sudah sampai di salah satu mall di Jakarta Pusat dan bergabung dengan keempat orang lainnya. Setelah menunggu Kagendra yang sedikit terlambat, sekarang mereka berada di salah satu restaurant all you can eat. Michaella duduk berhadapan dengan Allya, sedangkan sisanya di meja sebelah. Mereka duduk terpisah karena Allya sedang merajuk kepada Babas dan Kagendra yang tak henti meledeknya selama di perjalanan.
"Ih, bau apa nih? Allya, lu pake parfum apa? Parfum bunga bangke, ya?"
Allya yang baru saja datang sehabis mengambil side dish menghembuskan napasnya kasar ketika Dave mulai ikut-ikutan meledeknya.
"Liatin, pipinya pake digembungin gitu. Dikira lucu kali, ya, kayak gitu," sambung Babas.
"Berisik!"
"Berisik!" ulang Kagendra mengikuti Allya.
Michaella yang sedang membalik daging di alat grill terkekeh pelan. Ia menaruh beberapa daging wagyu dan sosis yang sudah matang ke piring Allya. "Udah, Allya. Makan dulu, diemin aja."
Saat makan pun acara ledek-ledekkan itu masih berjalan. Ada saja hal yang dibuat bahan ledekkan oleh Kagendra. Sedangkan Babas dan Dave memilih untuk tidak ikut-ikutan semenjak Ziel memberikan tatapan tajam kepada mereka dengan auranya yang suram.
Allya mendesah lelah ketika sosis yang ia bakar gosong lagi. Michaella memberikan tatapan bersalah karena terlalu fokus dengan ponsel di tangannya.
"Yah, gosong lagi. Kasian.. Kalo gak bisa masak, gak usah sok-sokan pisah meja."
Mata Allya sudah berkaca-kaca. Ia kesal kepada Kagendra. Dari tadi tidak ada sudahnya pemuda itu meledek dirinya.
Suara dentingan alat makan yang diletakkan di atas meja dengan keras mengalihkan perhatian mereka. Ziel bangkit dari duduknya lalu berjalan menghampiri Michaella.
"Pindah."
Michaella mengangguk pelan. Ia tidak berani menatap mata Ziel, apalagi setelah kejadian semalam.
"Itu kan nanti bisa!" Gadis itu tersentak. Ia menarik tangannya yang semula hendak menutup tasnya yang terbuka lalu segera bangkit untuk bertukar tempat duduk dengan Ziel.
Nafsu makan Michaella yang buruk ditambah bentakkan dari Ziel tadi membuat gadis itu hanya menatap kosong piring berisi kentang goreng. Matanya sesekali melirik ke meja sebelah. Dengan telaten Ziel membakar daging yang ada lalu menaruhnya di piring Allya. Orang-orang pasti akan menganggap mereka sebagai sepasang kekasih yang sedang berkencan daripada sahabat.
"Sekarang jam berapa?" bisik Michaella pada Kagendra mengingat ponsel gadis itu yang sempat ia taruh di dalam tas sebelum bertukar tempat.
"Jam 1 lebih. Kenapa?" Gadis itu mengubah raut wajahnya. Terlambat. Ia pun memberanikan diri untuk menghampiri Ziel.
"Bian, tas aku," ucap gadis itu seiring dengan berhentinya tawa Allya.
"Ziel, Ella. Bukan Bian. Ulangin!" Michaella memutar bola matanya. Terserah, mau memanggil Bian atau Ziel, yang pasti ia sangat membutuhkan sesuatu yang ada di dalam tas itu.
Tanpa mengindahkan perkataan Allya, Michaella mengulangi kalimatnya. Dan itu berhasil untuk membuat Ziel bergeser untuk memberi ruang agar gadis itu bisa mengambil tasnya.
Srett
Shoulder bag yang semula sudah berada di genggaman Michaella berpindah secara paksa ke tangan Allya.
Michaella menghembuskan napasnya kasar. "Apa Allya?"
"Kan udah pernah dibilangin untuk gak manggil Ziel 'Bian'. Kenapa masih diulangin?" Michaella menatap horror Allya. Ok, Allya sedang sensitif sekarang entah karena ia sedang melalui siklus bulanannya atau perkara Kagendra tadi, ia memaklumi itu.
"Jawab!"
Sumpah, demi apapun Allya.. Michaella diam tak membalas. Yang ada dipikirannya sekarang adalah bagaimana ia bisa mengambil tasnya lalu pergi dari sana.
"Allya, udah, mungkin Michaella lupa," lerai Langit.
"Lupa? Apa harus aku ingetin tiap hari biar kamu gak lupa?"
"Kamu tuh cuma orang baru!–"
"Orang baru? Asal lo tau–"
Ucapan Michaella terhenti ketika tiba-tiba Ziel bangkit dari duduknya lalu menarik paksa gadis itu keluar dari restaurant. Seruan Allya dan keempat sahabatnya yang lain sudah tak dihiraukannya lagi.
Bruk!
Ringisan terdengar dari bibir mungil remaja berusia 16 tahun itu. Ziel memojokkan dirinya ke tembok toilet khusus pengunjung disabilitas. Pintu besi itu terkunci dengan sendirinya.
"Sebenernya tujuan lo apa sih?!"
"..."
"Jawab Michaella!"
"Apalagi? Aku mau kita kayak dulu, Bian!"
Ziel memundurkan tubuhnya ke belakang. Tangannya terangkat menyugar rambut hitam legamnya. "Kayak dulu? Mau tau jawabannya?"
"NGGAK BISA! GAK AKAN BISA, ELLA!"
"Kenapa?!"
"PERLU BERAPA KALI GUA BILANG, KALO SEMUA UDAH BERUBAH!"
"Kamu bisa kalo kamu mau coba, Bian."
Ziel memutar keran wastafel lalu membasuh tangannya. Pemuda itu terkekeh pelan. Ia menatap Michaella dari pantulan kaca di depannya. "Sayangnya, gua gak mau coba."
Ia menarik kertas tissue yang tergantung di samping cermin untuk mengeringkan tangannya. Ziel meremas kertas tissue itu.
"Dan satu lagi. Kalo lo masih mau ada di circle gua, jangan sampai mereka tau kalo Michaella adalah sahabat masa kecil Fabian Aziel Keenan. Terutama.. Allya."
~~~
Dua orang gadis itu memfokuskan dirinya pada layar 32 inchi di depannya. Jemari mereka dengan lincah bergerak pada controller playstation di tangannya. Geraman tertahan terdengar bergantian dari kedua gadis itu ketika salah satu dari mereka terdahului yang lainnya.
"Chel, arghh! Ngalah please, satu race aja."
"No."
"C'mon lah. Mobil yang lu pake speednya lebih tinggi dari gua."
"Ok, satu race. Pake mobil yang sama. Kalo lu menang–"
"Lu bakal turutin omongan gua? Gimana? L-lu kan jagonya main balapan gini," bujuk Cindy.
"Gass."
Race kali ini terjadi dengan sengit. Cindy melakukan segala macam cara untuk membuyarkan fokus Michaella. Bahkan, jus jambu yang terletak di antara mereka sudah jatuh dan tumpah. Untungnya ada nampan di bawah gelas itu sehingga tumpahannya tidak mengenai karpet berbulu yang mereka duduki.
"Lu tadi telat kan?"
"Hooh."
"Kenapa?"
"Lupa."
"Kok bisa?"
"Gatau."
"Masa?"
"BACOT YA CINDY!"
Hal itu berhasil membuyarkan fokus Michaella. Dengan mudah Cindy menyalip mobil Michaella dan melewati garis finish lebih dahulu.
"Yes! Gua gak mau minta lo macem-macem kok Chel. Cindy kan anak baik."
"Halah."
"Oh iya, gimana lu sama Ziel?"
"Ya.. gitu," jawab Michaella lesu setelah beberapa saat.
Cindy berpindah tempat. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur queen size milik Michaella. "Allya suka Ziel?"
Michaella mencabut kabel pengisi daya dari ponselnya lalu ikut merebahkan diri di sebelah sahabatnya. "Semua orang juga tau, Cin."
"No, menurut gua dia terlalu protective sama Ziel. Padahal pacaran aja ngga."
"Iya sih. Tadi aja gua manggil 'Bian' dia kea marah-marah gitu."
"Wah, belom tau aja dia, lu siapa," canda Cindy.
"Tapi Bian juga kasih harapan ke Allya, Cin. Selama sebulan lebih gua sekolah di tempat yang sama bareng mereka, citra Bian yang orang lain tau itu dingin, cuek, bodo amatan orangnya. But, semua berubah saat dia sama Al–."
"Ziel kayak gitu sama Allya karena dia cari sosok pengganti lo, dan itu ada dalam diri Allya. Ya, meskipun awalnya berulang kali dia dapet penolakan dari Ziel."
Michaella mengangkat tubuhnya. Ia bersandar pada kepala ranjang. "Dan itu apa yang gua alamin sekarang. Penolakan yang selalu gua dapet dari Bian."
"Jadi," Cindy mendudukkan dirinya menghadap Michaella. "Yang perlu lo lakuin sekarang.."
"Berjuang untuk dapetin Bian kembali."
Cindy tersenyum. "Dan tunjukkin ke Allya siapa lo sebenarnya. Gua bisa bantu lo. Pikirin tawaran gua, Chel."