Chereads / Amerta / Chapter 9 - Bermain

Chapter 9 - Bermain

Suara air mengalir disertai kicauan burung membuat semua orang yang mendengarnya merasa tenang. Cahaya matahari bewarna keemasan masuk melalui sela-sela bangunan di atasnya. Tempat yang sepi dan jauh dari jangkauan siswa-siswi karena letaknya di gedung belakang ini membuat salah satu ruang di sudut sekolah itu dijadikan tempat andalan para most wanted SMA Garuda Sakti untuk bersantai.

Beberapa sofa bewarna coklat tersusun rapi di sana. Pemandangan tempat ini pun cukup bagus, karena berhadapan langsung dengan taman kecil. Selain itu, terdapat juga kolam ikan tepat di seberang sofa-sofa itu terletak. Warna-warni ikan serta percikan ketika makhluk air itu bergerak menjadi hiburan tersendiri sebagai pelepas penat setelah belajar bagi mereka.

"Kalah, traktir makan di kantin seminggu, ya?" seru seorang pemuda yang berdiri di pinggiran kolam ikan.

Babas mengencangkan tali sepatunya. "Ok."

"Deal. Mulai dari hari ini," putus Langit

"Siapa duluan?" tanya Dave.

"Gua deh." Langit mulai bersiap mengeluarkan ancang-ancang untuk melompati kolam ikan.

Tepat dihitungan ketiga tubuh Langit melayang akibat dorongan yang ia berikan. Dan, ya! Langit berhasil melompati kolam ikan walau ia hampir kehilangan keseimbangan saat kakinya berpijak di pinggiran kolam seberang.

Ziel mulai menaiki pinggiran kolam dan langsung melompat tanpa aba-aba. Ia berhasil berpijak dengan sempurna. Pemuda itu menarik sisi bibirnya melihat raut tidak percaya dari keempat sahabatnya.

"Gila, pake ilmu apa lu?" tanya Dave.

"Alah, gitu doang gua juga bisa. Liatin nih!" Babas mengikat tali sepatunya dengan kuat. Dasinya dikibaskan ke belakang pundak. Ia berjalan menuju pinggiran kolam dan mengeluarkan ancang-ancang untuk melompat.

Byur!

"AHAHAHHAHAH MAMPUS!"

"SOK-SOKAN SI LU BAS! HAHAHHAHAH!"

Michaella dan Allya yang baru datang dengan batagor dan minuman ditangannya terkejut dengan pemandangan yang tersaji di hadapan mereka. Kedua gadis itu pun segera menghampiri pemuda penggila otomotif itu.

"Bukannya ditolongin malah diketawain!" sungut Allya. Ia mendelik tak suka ke arah empat pemuda yang masih tak bisa menyembunyikan tawanya.

"Gua ada seragam cadangan di loker. Bentar, gua ambil," ucap Langit setelah membantu Babas keluar di kolam.

"Ih, Babas bau amis," gidik Kagendra.

"Jijik. Mana ada lumut-lumutnya gitu." Ziel menunjuk ke arah seragam Babas yang terdapat warna hijau di beberapa bagian.

"Ewh, jijik sekali," timpal Kagendra.

Allya menginjak kaki Kagendra. Dan mulailah aksi ceramah gadis itu yang membuat Ziel dan Kagendra terdiam. Di belakangnya, Babas tersenyum puas melihat 2 sahabatnya diceramahi. Karena ia tahu, ceramahan Allya tidak akan ada habisnya apalagi pada Kagendra yang kemarin sempat meledeknya terus-terusan.

Dave memilih menghindar dari sana, takut terkena ceramahan juga. Netra hitamnya menangkap sosok gadis yang sedang berjongkok di pinggir kolam. Ia pun menghampiri gadis itu.

Ia terkekeh kecil ketika decakkan kesal keluar dari mulut gadis itu setelah sekian kalinya ia gagal menangkap ikan yang menggelepar di sekitaran kolam. Pemuda itu baru tersadar dengan beberapa ikan yang keluar dari kolam. Ternyata jatuhnya Babas ke kolam cukup membuat kekacauan pada ekosistem kolam.

Ia mulai memasukkan kembali ikan yang tadi menggelepar di tanah ke dalam kolam. Setelah bagiannya selesai, ia menghampiri Michaella yang dari tadi belum juga selesai.

"Sini." Gadis itu tersentak.

"I-itu. Cepet, nanti keburu mati," ujar Michaella ketika ikan di hadapannya sudah tak bergerak dengan enerjik seperti beberapa detik yang lalu.

Satu ikan terakhir berhasil dimasukkan Dave ke kolam bersamaan ketika Michaella menariknya ke bagian samping kolam.

"M-mati.." Mata gadis itu berkaca-kaca. Ia menunjuk ke arah ikan yang diam di dasar kolam dengan kondisi terbalik.

"Itu bukan mati. Kekenyangan dia."

Dengan cepat Michaella menolehkan kepalanya ke samping. "Kata siapa?"

"Kata gua. Udah, ayo!" Dave menggandeng Michaella untuk menghampiri yang lainnya.

"Dave, sikunya Babas berdarah nih." Allya menunjuk siku Babas yang dibalut dengan dasi milik Ziel.

Kagendra melebarkan senyumannya. "Skuy UKS. Sekalian bolos boleh lah, ya."

Langit menepuk paha Kagendra. "Gila lo, tiap hari bolos. Ngga-ngga, Dave sama Babas aja. Abis ini lu ada ulangan kan?"

"HAH? OH IYA ULANGAN! F*CKK GUA BELOM BELAJAR! OK BYE SEMUA, GUA MAU CARI BACK UP JAWABAN DULU."

~~~

Suara gesekan kertas mendominasi ruang kelas XI-IPA-2. Seluruh penghuni kelas itu sibuk berkutat dengan soal-soal di hadapannya, kecuali seorang wanita dengan rambut bergelombang yang tak henti menggulirkan bola matanya memantau gerak gerik para muridnya.

Tok! Tok!

Pintu bewarna coklat itu terbuka sedikit, memunculkan seorang pria berkacamata. Kepalanya mengangguk memberi kode sesaat sebelum Bu Tantin bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju pintu.

"Kerjakan dengan jujur ya anak-anak. Ini ulangan terakhir kalian sebelum ujian akhir semester. Ibu tinggal dulu sebentar. Ketua kelas, awasi teman-temanmu."

Raut wajah para murid yang semula terlihat tertekan berubah drastis dalam hitungan detik, namun mereka segera menyembunyikannya agar guru biologi itu tidak curiga.

Pintu tertutup.

"GC TULIS DEPAN WOI!"

"WEH CEPETAN!"

"PUNYA SIAPA YANG UDAH SELESAI?"

Sekretaris papan sudah stand by dengan spidol di tangannya. Ia dengan lincah menuliskan jawaban di papan tulis setelah menerima lembar jawab dari si 'kunci jawaban kelas'. Hal seperti ini bukanlah kali pertama mereka lakukan. Sudah dari kelas 10 dan untungnya pembagian kelas tidak terlalu acak sehingga tokoh-tokoh yang berperan tidak jauh berbeda. Hening yang tercipta selama setengah jam yang lalu tertelan dengan suara ribut sekarang. Seorang sekretaris lainnya yang kebetulan sudah menyelesaikan ulangannya menyeret bangku untuk di dudukinya di depan pintu. Ia mengawasi keadaan sekitar melalui celah pintu jikalau Bu Tantin kembali atau ada guru yang lewat.

"MAYDAY, MAYDAY, BU RETNO LEWAT! DIEM!"

Dan benar saja, sedetik kemudian tidak ada satu kata pun yang terlontar dari mulut mereka. Beberapa saat setelah memastikan Bu Retno sudah berjalan jauh dari kelas mereka, Gio, si sekretaris kelas, menganggukkan kepalanya.

"LAN- HAPUS PAPAN, HAPUS! BU TANTIN BALIK!"

Gio segera menutup kembali pintu kelas lalu berlari menuju tempat duduknya, begitu pun yang lainnya. Mereka bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa selama 10 menit yang lalu. Bersamaan dengan kembalinya Bu Tantin, bel pertanda berakhirnya proses belajar mengajar hari ini berbunyi. Sorak gembira terdengar bahkan dari kelas-kelas yang berada di lantai 3 ini.

~~~

"Yo wassup!" sapa Kagendra pada ketiga pemuda yang baru memasuki kelas XI-IPA-2.

"Bacot Kagendra!" ketus Babas.

"Bacot Kagendra," ulang pemilik nama itu. "Eh, main yuk!"

"Main apaan?" tanya Dave.

"Mafia game, werewolf, uno, capsa, apa aja boleh. Gua bawa kok kartunya."

Allya menyilangkan tangannya. "Gak ah, bosen. Tiap hari mainnya itu mulu. Gak ada permainan lain emang Gen?"

"Ada. Tapi Allya masih kecil, belum cukup u– heheh ngga-ngga." Kagendra segera mengalihkan pembicaraan ketika mendapat tatapan tajam dari keempat pemuda lainnya yang ada di sana. "Kalo lu, Ngit, ada rekomendasi main apa?"

Langit mengambil pose berpikir. "Emm, hari Kamis, malam Jumat. Gimana kalo main yang– Charlie, Charlie?"

"W-wah Ngit. Lu tau ni sekolah katanya bekas rumah sakit, jangan main-main lu." Kagendra merapatkan dirinya ke Dave yang ada di sampingnya.

"Ya elah, Gen. Semua sekolah juga ada rumor bekas rumah sakit lah, kuburan lah. Masa lu gitu aja takut sih? Macarin cewe aja lo berani," sindir Babas.

"Ih, tapi kan– Ok, ok. Cepet mana kertas sama pensil."

Mereka mulai mengambil kursi masing-masing untuk duduk mengitari satu meja yang di atasnya terdapat kertas dan dua pensil. Lampu kelas pun sudah dimatikan. Mereka hanya mengandalkan cahaya matahari yang masuk melalui jendela sekarang.

"Kita mainnya yang bener ya. Setelah ini selesai, mau berhasil apa ngga, kertasnya dibakar, pensilnya patahin." Keenam muda-mudi itu mengangguk mendengar ucapan Langit.

"Charlie, Charlie, are you there?" pertanyaan pembuka mulai dilontarkan pemuda itu.

Dua menit berlalu. Namun, pensil yang disusun di atas kertas itu tidak menunjukkan gerakan apapun. Michaella terkekeh kecil melihat Kagendra yang ada di seberangnya terlihat ketakutan dengan keringat yang turun dari dahinya. Tak seperti Kagendra yang biasanya.

"Charlie, Charlie, are you there?"

Hingga percobaan ketiga pun masih sama. Tidak ada pergerakkan.

"Charlie, Charlie, are you there?" Kini Ziel yang bertanya. Sepertinya ia mulai tertarik dengan permainan ini.

Dave mengusap wajahnya. "Charlie, Charlie, are you there?"

Kagendra mulai bosan. Sekitar 15 menit telah berlalu dan belum ada pergerakkan juga. Pemuda itu menundukkan kepalanya di bawah meja ketika melihat seekor nyamuk yang sedang mengisap darah di kaki kanannya. Tangannya berancang-ancang untuk menepuk nyamuk itu.

Plak!

Brak!

"ADUH!" Teriakan Kagendra ketika kepalanya terjedut meja memecah keheningan. Semua orang di tempat itu terlonjak kaget kecuali Michaella yang membeku dengan mata melotot.

"W-woi.." Gadis itu menunjuk ke arah pensil.

Mereka mengamati pensil di atas kertas itu yang mulai bergerak perlahan dan berhenti di atas tulisan.. 'YES'

"AAAAAAAAAAA!"