Chereads / Amerta / Chapter 10 - Ya, mereka berbeda

Chapter 10 - Ya, mereka berbeda

• Previous part

"Charlie, Charlie, are you there?" Kini Ziel yang bertanya. Sepertinya ia mulai tertarik dengan permainan ini.

Dave mengusap wajahnya. "Charlie, Charlie, are you there?"

Kagendra mulai bosan. Sekitar 15 menit telah berlalu dan belum ada pergerakkan juga. Pemuda itu menundukkan kepalanya di bawah meja ketika melihat seekor nyamuk yang sedang mengisap darah di kaki kanannya. Tangannya berancang-ancang untuk menepuk nyamuk itu.

Plak!

Brak!

"ADUH!" Teriakan Kagendra ketika kepalanya terjedut meja memecah keheningan. Semua orang di tempat itu terlonjak kaget kecuali Michaella yang membeku dengan mata melotot.

"W-woi.." Gadis itu menunjuk ke arah pensil.

Mereka mengamati pensil di atas kertas itu yang mulai bergerak perlahan dan berhenti di atas tulisan.. 'YES'

"AAAAAAAAAAA!"

~~~

Tanpa aba-aba, mereka segera beranjak dari duduknya dan berlari menuju pintu.

Brak!

"AAAAA MAMA!"

Suara bangku besi yang jatuh tersenggol kaki salah satu dari mereka menambah kepanikan. Mereka berlari meninggalkan kelas dengan jantung yang berdetak kencang hingga akhirnya berhenti tepat di depan tangga. Mereka berusaha mengatur napasnya yang memburu.

"Waduh, gak bakal gua main ginian lagi," ucap Kagendra sambil menyender di tembok.

"Iya, kapok gu–"

"Michaella mana?" tanya Babas memotong kalimat Dave ketika menyadari mereka hanya berenam.

"...LONG! TOLONG! KAKI AKU DITARIK SETAN AAAAAA!"

"ELLA!"

"MICHAELLA!"

Mereka segera berlari kembali ke ruang kelas dan berhenti di depan pintu ketika melihat apa yang terjadi. Michaella terduduk di lantai kelas dengan kondisi meja dan kursi yang berantakan. Gadis itu terus berteriak serta menangis sambil menutup matanya.

Suara derap langkah yang mendekat berhasil membuat gadis itu membuka matanya. Keringat membasahi anak rambut yang membingkai wajah pucatnya.

"Kaki aku.." lirih gadis itu.

Dave segera berlari menghampirinya yang disambut pelukan dari gadis itu ketika ia berlutut di sebelahnya. Michaella memeluknya erat dan menenggelamkan kepalanya di dada Dave. Pemuda itu dapat merasakan jantung Michaella yang berdetak tak beraturan serta tubuh yang gemetar. Dave mengusap pucuk kepala gadis itu dengan lembut, berusaha menenangkannya.

Michaella dapat merasakan sesuatu menyentuh kakinya dan berusaha melepaskannya dari sesuatu. Ia sudah tak peduli lagi apakah 'setan' itu masih menariknya atau tidak. Yang pasti ia sedang mencari ketenangan dalam dekapan Dave.

Setelah dirasa tenang dan dapat mengontrol dirinya, Michaella menjauh dari tubuh Dave. Ia meraih botol air yang disodorkan Allya dan meneguknya hingga tersisa setengah.

Buk!

Kagendra sedikit terhuyung ke belakang ketika Ziel melempar tas ransel bewarna abu-abu. Tas milik Kagendra.

"Hah?" Pemuda itu mengerutkan dahinya. Ia melempar pandangan ke arah Langit.

"HAH?" ulang pemuda itu dengan volume lebih keras ketika mendapat jawaban di otaknya.

"Ok, wait. Jadi 'setan' yang narik kaki Ella itu tas gua? Pas mau lari kakinya kelilit di.. ransel tas?"

Langit langsung menolehkan kepalanya ke arah Kagendra. "What the hell.."

"WTF DEMI APA? HAHAHAHHAH! JADI YANG LU TERIAK-TERIAKIN DARI TADI SETAN ITU TAS GUA?"

Babas mengurut dahinya tak habis pikir. "GILA YA, JANTUNG GUA SAMPE MAU COPOT PAS DENGER ELLA TERIAK MINTA TOLONG!"

"AHAHAHAHHAH GUA GAK KUAT!"

"Jangan ketawain!" Terdengar nada merajuk dalam seruan Michaella. Mukanya memerah. Ia kembali menenggelamkan kepalanya ke dekapan Dave. Tawa dari mereka masih terdengar yang mau tidak mau membuat gadis itu terkekeh kecil ketika menyadari kepanikannya yang luar biasa sampai mengira ransel tas yang melilit kakinya adalah setan.

~~~

"Tolong.. kaki aku ditarik setan.." ledek Kagendra.

Michaella menggeram kesal, ia meletakkan sumpit kayu di tangannya di atas meja yang sudah ditataki tissue. "Diem!"

"Udah, Gen. Lagi ini gara-gara kamu juga. Kalo kepala kamu gak kejedot meja, pensilnya gak bakal gerak dan buat kita lari-lari kayak tadi." Allya menatap pemuda itu sengit.

"Ih, kejedot meja kan juga bukan mau gua."

"Tapi kalo kamu lebih hati-hati, gak bakal kejedot." Michaella mengangguk mendengarkan ucapan Allya.

"Ya bukan salah gua do–"

Michaella menunjukkan telapak tangan kanannya tepat di depan wajah Kagendra yang membuat pemuda itu berhenti bicara. "Ga! Cowo selalu salah. Valid, no debat."

"Ah, kok gi–"

"Berisik. Lagi makan." Seketika itu pula Kagendra mengatupkan mulutnya. Apalagi ketika melihat Ziel menatap lurus ke arah mie ayam di depannya dengan rahang yang mengeras.

15 menit berlalu..

"Abis ini mau kemana?" tanya Langit ketika semua telah menghabiskan makanan mereka.

Tanpa menghiraukan pertanyaan Langit, Ziel membereskan barang bawaannya lalu melampirkan tas ranselnya di bahu kanannya. "Gua langsung pulang. Banyak tugas."

"Oh iya, kita ada tugas kliping pelajarannya Aher," ucap Babas.

"Emm, masalahnya gini nih, El. Printer di rumah gua lagi rusak. Lu tau kan, Dave." Pemuda itu menyenggol kaki Dave agar mengiyakan. "Jadi–"

"Jam 4 belom sampe, gak gua bukain pintu." Ziel mulai berjalan menjauhi meja diikuti Allya di belakangnya. Beberapa langkah sebelum keluar kantin, pemuda itu menghentikan langkahnya dan berbalik badan. Menatap lurus ke arah satu-satunya anak hawa yang sedang memakai tasnya.

Pandangan mereka bertemu. Pemuda itu menatap tajam ke arahnya, berbanding terbalik dengan gadis itu yang menatapnya ramah dengan senyuman di bibirnya. Michaella menghentikan gerakannya ketika menyadari sesuatu.

"Ah, aku ga ikut, ya. Sorry.." ucapnya sembari menurunkan kembali tasnya.

Dave yang ada di sampingnya memberikan tatapan bertanya. "Kenapa?"

"Gapapa. Mau langsung pulang aja. Nanti aku pesen ojek online."

"Gua anter."

"Ha? Gausa, ngerepotin jadinya."

"Udah mau ujan." Dave menunjuk dengan dagunya ke arah luar. Memang mendung, berbeda sekali dengan cuaca setengah jam yang lalu. "Ok?"

Gadis itu berpikir sejenak. Sepertinya bukan ide buruk untuk mengiyakan tawaran Dave apalagi setelah melihat respon Ziel yang terlihat jengah dengan perdebatan mereka berdua. Michaella mengangguk lalu tersenyum. "Sure.."

Mereka bertujuh jalan bersama menuju parkiran sekolah. Langit memang mendung. Angin berhembus dengan kencang membuat beberapa manusia itu merapatkan mantel yang mereka pakai.

"Bye Ella, hati-hati." Allya melambaikan tangannya. Mobil bewarna putih yang ditumpanginya dengan Ziel itu melaju meninggalkan parkiran sekolah sesaat setelah Michaella mengangguk menanggapi ucapan Allya, diikuti yang lainnya hingga tersisa Dave dan Michaella di sana.

"Udah?" tanya Dave. Pemuda itu melirik ke arah spion dimana Michaella mengangguk mengiyakan.

Jalanan ibukota di sore ini cukup lenggang, membuat beberapa pengemudi dengan leluasa berkendara dengan kecepatan tinggi. Rintik hujan mulai jatuh menetesi bumi. Bau tanah tercampur air hujan membuatnya menjadi aroma yang khas.

Michaella menengadahkan kepalanya, menatap langit yang bewarna kelabu. Pikirannya menerawang pada percakapannya dengan Ziel minggu lalu. Ia harus merahasiakan tentang kenyataan bahwa Michaella adalah sahabat masa kecil Ziel, terutama dari Allya. Dan untuk hari ini, memang seharusnya ia tidak ikut ke rumah pemuda itu. Rosa dan Alister bisa membongkar itu semua, tanpa sepengetahuan mereka. Dan Ziel?

Akan semakin benci padanya.

~~~

"CHEL LO BENER-BENER YA! MASA GULA AJA GAK A–" Gadis berambut coklat itu terdiam dengan mulut terbuka ketika melihat sepasang laki-laki dan perempuan di pintu dengan keadaan cukup berantakan. Rambut lepek dengan baju seragam yang terlihat transparan di beberapa bagian karena basah.

"Kamu tunggu di sini, ya. Itu kamar tamu, ada kamar mandi di dalem, nanti aku bawain baju ganti." Michaella menunjuk satu pintu di samping tangga. Ia menghampiri sahabatnya yang masih terdiam dengan mulut terbuka dan menariknya menuju lantai atas.

"Itu temen lo? I-itu temen baru lo? GANTENG BANGET! KENAPA LO GA KENA–"

"Ssttt bacotnya Cindy.." Michaella memasuki kamarnya lalu segera melepaskan seragam sekolahnya satu persatu.

"Apa lo liat-liat?!" sewot Michaella ketika Cindy menatap lurus ke arahnya.

"Gak ada Ziel, Dave pun jadi Chel," ucap Cindy ketika sahabatnya itu telah berganti pakaian. Bagaimana Cindy bisa tau itu Dave? Tentu saja dengan nametag yang ada di seragam pemuda itu.

"Kalo lo gak mau Dave, buat gua juga boleh. Ikhlas lahir batin gua mah." Cindy terkikik kecil dengan ucapannya barusan.

"Bisa-bisanya lo." Michaella membuka lemarinya dan melihat-lihat isinya. Ia berbalik badan menghadap Cindy. "Eh, kasi baju ganti apa ya buat Dave?"

"Di rumah ini kan gak ada cowo, gimana kalo gak usah?" Cindy tersenyum aneh. "Dia anak basket sama kayak Ziel kan? Pasti sixpack. OMOO!" heboh gadis itu.

"Gausa mimpi! Nih kasih ke dia. Gua mau buat makan malem." Gadis itu menyerahkan pakaian yang langsung diterima dengan antusias oleh Cindy. Michaella menggelengkan kepalanya ketika melihat sahabatnya itu lari dengan semangat ke lantai bawah.

~~~

Suara pisau yang beradu dengan talenan menjadi irama yang menenangkan ketika pemuda jangkung itu memasuki area dapur yang didominasi warna beige. Ia menyenderkan badannya di pembatas antara ruang tamu dan dapur, memperhatikan interaksi dua gadis yang berada beberapa langkah darinya.

Kekehan kecil terdengar dari bibirnya ketika gadis -yang belum ia tau namanya- ditodong garpu di depan matanya oleh Michaella karena gadis itu tak henti menjahilinya. Tak disangka gadis itu malah balik menodong sahabatnya dengan pisau yang digunakannya untuk memotong sayur. Tak habis akal, Michaella mengangkat sebuah pisau untuk mencincang daging dengan senyuman di wajahnya. Setelah beberapa saat saling bertatapan, tawa keduanya pecah. Dan hal itupun mampu membuat Dave tersenyum, ikut merasakan chemistry antara mereka berdua.

•Allya memang cantik, sangat cantik. Tapi dia, Michaella Krystalin Aphrodite. Sesuai nama gadis itu, dengan pesona alami dari dalam dirinya, ia mampu menarik perhatian banyak orang dengan kepolosan dan ketulusannya•