Chereads / Amerta / Chapter 14 - Menggagalkannya

Chapter 14 - Menggagalkannya

"Terus?"

"YA GAGAL LAH HAHAHAHHAH! LAGI YA, JIJIK BANGET, PAKE BILANG GABOLEH DEKET-DEKET GUA. UGH.."

"BAGUS CHEL. KAN GUA BILANG APA, LO JUGA GAK BAKAL TERIMA! DAN BENER KAN, DENGAN SPONTAN LO KETOK LONCENG SEKOLAH BUAT HENTIIN MEREKA."

Gadis berambut hitam kecoklatan itu mengubah ekspresi wajahnya. Rasa semangat yang terpancar dari mimik wajahnya berubah menjadi lesu. "Tapi gua kasian deh. Kea jahat banget ga si gua? Dateng tiba-tiba langsung buat perubahan, mau rebut dia balik."

Seorang gadis yang sedang menatap dua kartu di tangannya mengerang tertahan. "Argh Chel.. C'mon. Ini bukan salah lo. Lo duluan yang kenal dia, ya istilahnya dia milik lo duluan. It's okay buat rebut dia balik, buat dia gak nyangkal lo lagi."

Ia melirik sahabatnya yang menatap ragu ke arahnya. Gadis itu tersenyum sinis. "Atau.. lo boleh tetep diem kayak gini. Sembunyiin semuanya. Tapi, gimana.. kalo suatu saat lo terlambat buat ngambil balik apa yang lo punya? Gimana kalo Ziel udah bisa berdamai dengan kepergian lo dulu? Saat itu, 'Bian' bukan lagi kelemahannya. Bukan lagi satu nama yang bisa lo gunain untuk buat dia inget tentang persahabatan kalian dulu. Dan lo.."

Gadis itu menggoyangkan dua kartu yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya. Ia menggerlingkan matanya. Dengan perlahan kartu itu ia letakkan di atas meja dan membukanya. Kartu As.

"Kalah."

~~~

Suara khas dari penyanyi asal Amerika, Billie Eilish, mendominasi suasana café bernuansa vintage ini. Wangi kopi yang menyerbu ketika pintu kaca itu terbuka mampu membuat pelanggan yang baru datang terdiam di sana hanya untuk menghirup aromanya. Para pelayan berlalu lalang tak ada hentinya membawa beberapa pesanan dari dapur ke meja pelanggan.

Café yang baru saja diresmikan ini memang cukup terkenal. Hanya dalam dua minggu, tempat ini sudah ramai diperbincangkan dan selalu ramai di tiap saatnya. Tak hanya indoor, tempat ini juga memiliki ruang outdoor sebagai smoking area. Café ini pun memiliki ruang VIP yang bisa di sewa untuk meeting ataupun para pelajar yang ingin belajar di sana. Tarif yang dibandrol pun cukup murah, sesuai dengan kantong pelajar. Dengan fasilitas seperti itu, tak heran kenapa cafè ini menjadi pilihan yang tepat bagi kaum milenial.

"2 carot cheese cake, 2 strawberries creme frappuccino, 1 matcha latte, 3 orange juice, dan 1 very berry milkshake. Itu pesanannya ada lagi yang mau ditambah?"

Pelayan itu mengangguk ketika pelanggan di depannya menggeleng. "Baik. Silahkan tunggu pesanannya sekitar 5 sampai 20 menit, ya, kak."

Setelah mengatakan itu, pelayan perempuan itu pergi menuju temannya di bagian berbeda untuk memberikan catatan pesanan di meja 3 ini.

"..i see, you with me. And you say– kok gini dha?" Pemuda yang sedang bersenandung itu menatap heran jawaban di kertasnya. "Nomor 32 apa sih?"

"B."

"C."

Pemuda itu tambah bingung ketika mendapat dua jawaban yang berbeda. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Hah? Yang bener yang mana?"

"C."

"B."

Kali ini kedua pemuda itu menjawab berkebalikan dari yang pertama mereka ucapkan.

Babas menutup pulpennya. "Apaan sih lo, Gen? Gak ada pendirian, ya?"

"Lo yang gak ada pendirian. Tadi jawab B, sekarang C. Maunya apa?" sahut Kagendra tak mau kalah.

"Lah, lu juga ikut-ikutan. Tadi C, sekarang B. Kalo suka sama gua bilang aja."

"Najis! Ya udah sama aja!"

"Ih, gua gak mau ya, disamain sama jamet ka–"

"Udah, berisik! 32 jawabannya A." Kedua pemuda itu terdiam. Allya mengangguk membenarkan jawaban Michaella.

"Nih, dapet jawaban dari kelas sebelah." Allya memberikan lembaran jawabannya kepada Langit. Langit mencocokkan jawaban itu lalu mulai membacakan jawabannya yang ternyata sama persis kepada sahabat-sahabatnya.

Tak sampai sepuluh menit, mereka telah menyelesaikan kisi-kisi PTS fisika yang akan dilaksanakan minggu depan. Bersamaan dengan itu, pesanan mereka datang.

"Cheese cakenya enak gak El?" tanya Kagendra membuat mereka mengernyit heran. El? Ziel tidak sedang memakan cheese cake, memesan pun tidak. Merasakan tatapan tanya yang ditujukan padanya, pemuda itu meluruskan. "Ella maksudnya."

Ziel berdehem. Ia kembali menyeruput orange juice di tangannya.

"Enak kok. Nih cobain." Michaella mengambil bagian cake yang belum tersentuh menggunakan garpu lalu menyuapi Kagendra.

"Iya, enak. Apalagi disuapin sama kamu." Dan mulailah gombalan Kagendra.

"Mau lagi dong," pinta pemuda itu manja.

Michaella memutar bola matanya. Ia kembali menyendok cheese cakenya. Namun, sebelum cake itu sampai di mulut Kagendra, Dave mengangkat tangannya, memberi kode pada pelayan café.

"Pesen sendiri. Jangan kayak orang miskin deh lu, minta-minta."

"Ah, elu Dave. Gak tau orang mau pdkt sama Ella." Kagendra menatap sinis Dave. Tak lama pelayan datang, ia pun mencatat pesanan pemuda itu.

"Udah, ya. Ini hari terakhir gua traktir kalian. Abis ini mau kemana lagi? Puas-puasin deh lo ngabisin duit gua," ucap Babas.

"Ya ampun, Abang Babas. Idaman deh." Kagendra mengedipkan sebelah matanya, membuat Babas merasa jijik.

"Muntah." Babas bergidik geli.

"Besok-besok belajarnya jangan di tempat kea gini, yuk. Kalo di sini yang ada malah pada makan, ngobrol, gak fokus belajar. Di sini rame juga," ujar Allya.

Babas mengangguk. "Iya, bener. Lu liat aja Ella, dari tadi gak berenti-berenti nyuapnya." Michaella yang merasa disebut-sebut menghentikan gerakan menyuapnya.

"Kenapa?" tanya gadis itu setelah menelan cake di mulutnya.

Alya terkikik kecil. "Hihi, Ella makan mulu."

"Kea biasa, di rumah Ziel aja," usul Dave.

"Ah, gak mau. Bosen." Geleng Kagendra.

Langit menjentikkan jarinya. "Gimana kalo ke rumah Ella? Dave, lu tau rumahnya kan?"

"Nah, boleh tuh. Lu open house kan El?" tanya Kagendra.

"Iya. Kalo mau dateng, dateng aja."

"Minggu mau?" tanya Allya.

Keempat pemuda itu mengangguk memberi jawaban positif. Hanya tersisa Ziel yang belum memberikan jawabannya.

"Nanti gua kabarin," ucap pemuda itu.

"Balik yuk. Udah sore." Langit memasukkan alat tulisnya ke dalam tas dan memakai jaketnya.

"Eh, tunggu! Cheese cake gua belom dateng."

"Udah, lo bawa pulang aja." Babas mengangkat tangannya. "Mas, minta billnya."

Pelayan itu datang memberikan secarik kertas kepada Babas. "Mau cash atau debit?"

"Debit." Pemuda itu mengambil dompetnya dan mengeluarkan kartu bewarna biru lalu memberikannya kepada pelayan itu.

"Masih ada pesanan yang belum datang. Carot cheese cakenya mau di take away aja, kak?"

"Iya," jawab Kagendra.

"Baik. Tunggu sebentar, ya, kak." Pelayan itu berjalan ke kasir untuk mengurus pembayaran. Tak lama ia kembali dengan sekotak cheese cake dan mesin EDC.

"Ini cheese cakenya, kak." Pelayan itu memberikan kotak di tangan kanannya, disusul mesin EDC kepada Babas. Pemuda itu mengetik pin kartunya dan tak lama struk pembayaran keluar. Pembayaran berhasil.

~~~

Suara hening mendominasi kamar bernuansa beige ini. Tak ada suara. Hanya deru napas teratur dari kedua gadis yang sedang duduk berhadap-hadapan. Salah satu gadis dengan rambut dicepol itu merebahkan dirinya di atas kasur dan bergerak gusar. Ia mengacak-mengacak rambutnya, membuat beberapa baby hair yang membingkai wajahnya terurai. Gadis itu menatap jengah sahabatnya yang sejak 5 menit lalu terpaku pada benda di hadapannya.

"SUMPAH, GABUT BANGET SI CIN, MAEN CATUR!"

"Sstt.. diem. Kalo berisik gak bisa konsentrasi."

"Kok gitu, sih. Itu jalannya lurus," komentar Michaella ketika Cindy menggerakkan satu bidak caturnya ke arah yang salah.

"Hah, bukannya letter L?"

"Letter L tu kuda, Cindyy." Michaella meremas bantal bulat di tangannya dengan gemas.

"Oh. Kalo ini? Bisa kemana aja kan?" Cindy mengangkat pion.

Michaella tersenyum terpaksa. Ia menarik napas, hembuskan. "Itu lurus maju satu dua langkah. Kalo mau makan bisanya serong."

"Hah? Kok gitu? Kemaren gua main bisa kemana aja. Udahlah, gua gak ngerti." Cindy menjadi kesal sendiri. Ia merapihkan bidak-bidak caturnya lalu menyimpannya di kotak di bawah kasur.

"Woi, Cin!" panggil Michaella.

"Hah?"

"Minggu jangan ke sini, mereka mau dateng."

"WHAT? NGAPAIN?" Tiba-tiba kepala Cindy muncul dari bawah kasur. Hal itu membuat Michaella terlonjak kaget.

"AH, CINDY! KEA SETAN." Gadis mengambil minum gelas berisi air di atas nakas lalu meminumnya. "Mereka mau belajar bareng. Keanya Bian ikut. Gua takut Bian gak enak ada lu."

"GAK! Gua males di rumah, Chel. Nanti gua di kamar aja deh. Ya? ya?" bujuknya.

"Ah, lu. Di kamar di kamar, nanti juga tiba-tiba udah ikut nimbrung di bawah. Emang kenapa sih di rumah? Bukannya rumah sendiri lebih enak? Damai."

"NO! NEVER! Tidak akan damai ketika si jablay itu terus telfonan 24 jam sama pacarnya. Alay lagi, mau muntah."

"Adek lu masih sama pacarnya yang itu emang, Cin?"

"Iyalah. Ugh, makanya malu gua tiap dia dateng ke rumah," dumel Cindy.

"Jangan-jangan bener lagi apa kata orang, dipelet adek lu, Cin."

Cindy menganggukkan kepalanya. "Iyakan. Gua juga ngerasa gitu. Mana dia sering ketawa sama senyum-senyum sendiri."

"C'mon Cin, sehari aja.." rengek Michaella kembali ke topik sebelumnya.

"Nanti gua beliin tiramisu." Cindy menggeleng

"Sama boba yang ukuran large. Oh, sama snack buat seminggu. Gimana?" Ia tetap menggeleng.

"Shopeepay 100 ri–"

"OK! Tiramisu, boba, snack, shopeepay? Bisa diatur itu. Aku pastikan di hari Minggu aku absen dari hidupmu, Ella. Menyebut namamu walau dalam hati pun tidak."

Michaella meredupkan lampu di atas nakas. Ia menarik selimut yang menutupi tubuhnya hingga kepala. "Okay."

Gadis itu mulai memejamkan matanya ketika ia mendengar suara lemari yang dibuka disusul dengan suara berisik lainnya. Merasa terganggu, Ia pun menyembulkan kepalanya dari balik selimut.

"Lo ngapain si?!" seru Michaella.

"Ayo beli!" Cindy membalikkan badannya. Masih menggunakan piyama, namun terlihat lebih rapi.

"GILA LO, YA BESOK LAH. SEKARANG JAM 10 MALEM, MAU DIBEGAL LO?"