Chereads / Amerta / Chapter 17 - Anggota band

Chapter 17 - Anggota band

Dua hari telah berlalu semenjak dimulainya ujian akhir semester pertama. Kegiatan para murid yang semula banyak berkutat dengan hafalannya pun perlahan melonggar karena sudah mulai terbiasa dengan ketegangan ruang ujian. Kebiasaan yang sering mereka lakukan seperti bermain futsal atau basket setelah pulang sekolah dan nongkrong di kantin mulai diterapkan lagi. Padahal sudah menjadi peraturan bagi para siswa dan siswi ketika jadwal ujian berlangsung untuk segera pulang ketika bel berbunyi.

Contohnya dengan beberapa gerombolan siswi yang anteng di depan pintu bewarna abu-abu. Ada yang duduk di atas meja, ada juga yang duduk bersila di lantai. 45 menit mereka habiskan dengan memandangi pintu itu. Padahal mereka tau, tak ada yang dapat mereka dengar ataupun lihat menembus ruangan kedap suara itu.

Ruang musik.

~~~

"Ayo, ikut!" Allya mengulurkan tangannya pada gadis yang sedang duduk bermain dengan ponselnya.

"Kemana?"

"Dari kemarin kan kamu nanyain mereka kemana aja abis pulang sekolah, sini aku kasih tau. Ayo!"

Gadis itu menganggukkan kepalanya. Ia menyambar uluran tangan Allya lalu mulai berjalan mengikutinya. Michaella menyipitkan matanya ketika terik matahari terasa sangat menyengat saat mereka melewati parkiran sekolah untuk menuju gedung putih.

Samar-samar kedua gadis itu dapat mendengar suara beberapa alat musik yang dibunyikan ketika mereka menerobos kerumunan di depan satu ruangan.

"Ruang musik?" Michaella membaca plat besi yang tertempel di pintu. Allya mengangguk. Ia mengetuk pintu itu beberapa kali lalu mendorong bahu Michaella untuk masuk ke dalam bersamanya.

Kedua gadis itu mengamati kelima pemuda yang sedang memainkan alat musiknya masing-masing dengan asal namun tetap menghasilkan melodi yang enak didengar. Sepertinya para pemuda itu belum menyadari adanya orang lain selain mereka di ruangan itu. Tentu saja karena pintu masuk berada di samping tempat mereka berdiri, juga kondisi cahaya yang tak memadai. Sorotan lampu bewarna-warni seperti lampu disko. Jika ada guru yang masuk untuk mengawasi, sudah pasti mereka akan diceramahi.

"Mereka anak band?" bisik Michaella.

Allya mengangguk. "Waktu itu ada pengambilan nilai musik. Ternyata pengambilan nilai itu untuk seleksi anggota band. Permainan mereka bagus dan akhirnya terpilih." Ia memberikan selembar kertas kepada Michaella.

DAFTAR KEANGGOTAN BAND SMA GARUDA SAKTI

Saffa Langit Pramuda: keyboard, rhythm guitar

Sebastian Ardhinatha: bass, backing vocal

Kagendra Raharja: drum, backing vocal

Fabian Aziel Keenan: lead guitar, rhythm guitar

David Geovano Wijaya: lead vocal

Allya melipat kedua tangannya di depan dada memperhatikan. "Sebenernya ada dua anggota lagi. Tapi mereka keluar karena sekarang kelas 12."

Michaella mengangguk-anggukan kepalanya. Murid kelas 12 memang dibebaskan dari segala macam kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu belajar mereka untuk masuk ke perguruan tinggi, contohnya ditiadakannya ekstakurikuler.

"Dave? Nyanyi?" kekeh gadis itu tak percaya ketika selesai membaca kalimat terakhir di kertas yang Allya berikan.

"Dengerin aja," ucap Allya bersamaan dengan kedua stick kayu di tangan Kagendra yang membentur snare drum dan hi-hat cymbal di bagian kiri tubuhnya dengan tempo teratur.

_And all I am is a man_

Suara merdu itu mulai mengalun diikuti permainan para gitaris dan basis.

_I want the world in my hands_

_I hate the beach_

_But I stand in California with my toes in the sand_

Petikan gitar Ziel sebagai lead guitar yang terdengar rumit ini memberikan nilai tambah untuk penampilan mereka.

_Use the sleeves of my sweater_

_Let's have an adventure_

_Head in the clouds but my gravity centered_

_Touch my neck and I'll touch yours_

_You in those little high waisted shorts, oh_

Kagendra menambah tempo gerakan tangannya ketika lagu sudah mendekati pre-chorus. Langit pun mendekatkan wajahnya ke standing mic di samping Dave berdiri dengan jari yang masih senantiasa menggenjreng gitarnya dan mulai mengeluarkan suara halusnya. Ow, ternyata Langit yang menjadi backing vokalis kali ini.

_Oh, she knows what I think about_

_And what I think about_

_One love, two mouths_

_One love, one house_

_No shirt, no blouse_

_Just us, you find out_

_Nothing that I wouldn't wanna tell you about, no_

Permainan gitar mulai memelan dengan tempo lambat saat mencapai chorus. Inilah bait yang paling mudah dihafal pendengarnya.

_'Cause it's too cold_

_For you here_

_And now, so let me hold_

_Both your hands in the holes of my sweater_

Dave mengangkat jari telunjuknya ke atas memberi tanda untuk mengulang bagian chorus ini sekali lagi.

_Yeah it's too cold_

_For you here_

_And now, so let me hold_

_Both your hands in the holes of my sweater_

Lagu Sweater Weather milik The Neighbourhood ini diakhiri dengan aksi Kagendra yang melakukan freestyle dengan permainan drumnya.

Prok! Prok! Prok!

Kelima pemuda itu memutar tubuhnya ketika mendengar tepukan tangan dari arah samping. Sejak kapan mereka di sini?

"Itu bagus. Kalian jadinya bawain lagu itu nanti?" tanya Allya. Ia menarik dua kursi lipat untuk dirinya dan Michaella.

Kagendra melemparkan tatapannya pada Langit. Pemuda yang sedang meneguk air mineral itu menghentikan kegiatannya ketika merasakan banyak pasang mata yang mengarah padanya.

"Gak tau," jawabnya.

Kedua gadis itu mengerutkan keningnya. "Selama dua hari kemarin kalian masi belum nentuin mau bawain lagu apa?" Pertanyaan Michaella disambut gelengan kompak dari para pemuda di hadapannya.

"Kita disuruh bawain dua lagu. Satu Indo satu barat," ucap Babas.

Langit memberikan ponselnya pada Allya. "Nih, beberapa lagu Indo yang sempet gua record pas coba kemarin. Pilihin yang menurut lu cocok."

Michaella mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Sebuah gitar listrik bewarna putih gading menyita perhatiannya. Ia menoleh ke arah Allya yang sedang sibuk memilih lagu bersama Langit dan Dave. Yang lain pun sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Michaella melangkahkan kakinya ke pojok ruangan tempat gitar itu bersandar.

Ia mengangkat gitar itu. Memutar sesuatu di badan gitar itu, mengecilkan volume. Dengan ragu ia memetik senar gitar itu sambil mengingat-ingat tutorial yang pernah ia tonton di youtube. Michaella tersenyum senang ketika petikan gitarnya tepat. 4 not yang sangat familiar.

"Arctic Monkeys?" tanya Babas yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.

Gadis itu mengangguk antusias. "Kamu bisa?"

Tanpa menjawab, Babas mengambil alih gitar di dekapan Michaella. "El, gua pinjem bentar!"

Mata Michaella melebar. Ia menoleh ke arah Ziel dimana pemuda itu sudah menatapnya dengan tatapan mata yang tajam. Pantas saja ia merasa ada yang memperhatikannya. Hubungan mereka sedang tidak baik. Apalagi setelah percakapan terakhir mereka.

Ya, tentang Ziel yang tiba-tiba menyindir gadis itu, yang katanya terlalu dekat dengan Dave. Hal itu membuatnya bingung. Di satu sisi ia senang karena Ziel sedikit 'terlihat cemburu'. Tapi di satu sisi, pemuda itu menolaknya. Dasar Ziel, memang pemuda labil dengan sejuta pesonanya.

Babas mulai memainkan gitar di dekapannya. Michaella sedikit menunduk ketika Babas terlihat sangat-sangat attractive. Jemari kurusnya memetik senar gitar dengan lihai. Jangan lupakan cincin silver yang tersemat di jari manisnya membuat pemuda itu tampak..

Ugh.

Michaella yakin jika para gadis yang berada di balik pintu itu melihat Babas sekarang pasti mereka akan menjerit kesenangan.

"Lu dengerin Arctic Monkeys juga?" tanya Babas menyudahi petikan gitarnya.

"Yes. Aku punya album sama kaset vinylnya di rumah."

Babas tertegun sesaat ketika mendengar jawaban Michaella. Jarang sekali ia temukan perempuan yang mengidolakan band asal Amerika itu. Bahkan beberapa orang mengatakan 'they have a good taste at music' ketika menemukan lagu Arctic Monkeys dalam playlist mereka. Pasalnya lagu-lagu mereka sangat kental dengan permainan drum dan gitarnya, sangat berkelas dan easy listening. Buktinya beberapa lagu mereka sudah mencapai 1B lebih pendengar. Kebanyakan orang yang Babas temui hanya sekedar mendengarkan beberapa lagu mereka, bukan memiliki albumnya seperti Michaella.

"Selamat sore anak-anak!" Mereka semua menolehkan kepalanya ke arah pintu. Pak Bams berdiri di sana dengan senyuman lebarnya. Di belakang pria itu terlihat beberapa siswi yang berusaha melihat ke dalam ruangan.

"Tutup pintu," ucap Ziel tanpa menghiraukan sapaan Pak Bams. Pria itu berdecak kesal namun tetap menutup pintu.

"Itu lampu apaan itu? Matiin! Kalian ini, emang mau dugem?"

"Iya," jawab Kagendra pelan sambil mematikan lampu bulat bewarna-warni.

"Kita harus nyanyi lagu Indo beneran, pak?" tanya Langit dengan nada mengeluh.

"Iya lah. Emang kamu tinggal dimana, Langit? Kita itu harus mencintai bangsa kita ini. Mana pengamalan pelajaran PPKN kamu?"

"Masalahnya kita belum nemu lagu yang pas."

Pak Bams menaikkan kacamatanya yang sedikit melorot. "Emang kalian belum coba? Sama sekali?"

"Udah sih. Sini coba dengerin." Langit mengibaskan tangannya dengan ringan seperti mengajak teman untuk bermain. Pak Bams tak ambil pusing. Ia sudah terbiasa dengan tingkah mereka yang kadang seenaknya. Karena ia tau mereka sangat bisa diandalkan.

Pak Bams mulai mendengarkan beberapa lagu rekaman mereka di ponsel Langit.

"Yang ini bagus nih. Suara Dave juga cocok di sini."

Dave mengambil kursi dan duduk di samping Pak Bams berdiri. "Emang gak aneh, pak? Itu kan lagu tentang kota lain."

"Nggak kok, biasa aja." Pria itu melirik jam tangannya.

"Ya ampun udah jam 4!" Pak Bams bergegas menuju pintu. "Ini jangan lupa dikunci."

Babas mengerutkan keningnya. "Mau ngapain sih, pak? Buru-buru banget. Biasanya juga di sekolah sampe jam 6."

"Oh iya dong, bapak kan harus siap-siap biar keliatan ganteng. Bapak kan mau nge– Eh, udah cepet beresin, terus pulang!"

"Hayo mau ngapain hayo.." goda Allya.

"Mau ngedate ya?" Michaella menggerlingkan matanya.

"H-hah nggak-nggak! Udah, cepet keluar! Biar bapak yang kunci."

"Ah, bapak mah. Main rahasia-rahasiaan." Allya menoleh ke arah Michaella. "Ella, ayo kita tunggu di parkiran aja."

"Sore pak," ucap kedua gadis itu sebelum meninggalkan ruangan.

"Apa?!" bentak Pak Bams ketika lima pemuda itu masih menatapnya.

Babas maju menghampiri pria itu. "Tenang pak. Kita selalu ada kapanpun bapak perlu bantuan," ucapnya sebelum beranjak keluar diikuti yang lainnya.

"Jangan lupa PJ ya pak." Kagendra mengangkat ibu jarinya sambil tersenyum lebar.

Suara riuh mulai tercipta ketika kelima pemuda itu keluar dari ruang musik. Keriuhan itu semakin bertambah ketika–

"GUYS, PAK BAMS MAU NGEDATE!!"

Sontak Pak Bams menolehkan kepalanya. Ia tau suara siapa itu.

"KAGENDRAAA, SINI KAMU!"