Gadis berambut coklat panjang itu berulang kali membaca pesan yang tertera di layar ponselnya, memastikan apa yang ia baca tidak salah. Langkah kakinya terlihat ragu untuk mendekati seorang pemuda yang sedang memainkan benda pipih di tangannya.
"Bian.." panggil gadis itu pelan. Si empunya nama sama sekali tidak merespon. Tanpa menengok pun ia tahu siapa yang ada di sampingnya saat ini.
"Mama kamu minta aku ke rumah pulang sekolah nanti. Bareng, ya?" Gadis itu menautkan jemarinya, takut akan respon yang akan diberikan pemuda di depannya.
5 menit berlalu, jawaban yang ia tunggu tak kunjung juga ia dengar. Bisik-bisik dan tatapan mata dari beberapa siswi yang ada di koridor tertuju padanya. Michaella mendesah lelah, mau ditunggu sampai kapan pun juga pemuda itu tidak akan menjawabnya. Sudah jelas pemuda itu menyebutnya 'orang asing'.
"Emm, ga–"
"Jam 5, halte depan sekolah."
~~~
16.43
Michaella memasukkan buku tugasnya ke dalam tas. Tangannya bergerak merapikan cepolan rambutnya yang sedikit kendur. Sudah satu jam gadis itu menunggu di halte sendirian. Karena tak mau membuang waktu, alhasil ia memutuskan untuk mengerjakan tugas biologi yang akan dikumpulkan besok.
Di jam segini, area sekolah sudah mulai sepi. Matahari pun tampak malu-malu untuk mengeluarkan cahaya jingga kemerahannya. Angin sore berhembus kencang, membuat gadis itu merapatkan kardigan rajut yang ia pakai. Kakinya berayun mengikuti irama senandung yang ia ciptakan.
Suara deru motor yang semakin mendekat mengalihkan perhatian gadis itu. Ia melirik jam di ponselnya. Masih kurang dari waktu yang ditentukan. Sepertinya latihan basket Ziel hari ini usai lebih cepat. Terbukti dengan jersey hitam yang semula melekat di tubuhnya sudah terganti dengan kaos polos bewarna putih.
"Cepet!" seru pemuda itu membuat Michaella terkejut. Dengan cepat gadis itu memakai tas ranselnya lalu menaiki motor ninja hitam itu. Tangannya meremas pelan kaos putih Ziel saat motor itu melaju semakin cepat membelah jalanan ibukota.
Motor itu berhenti di depan rumah berpagar putih. Tak lama seorang wanita keluar dari dalam rumah membukakan pagar. Wanita itu tersenyum senang ketika apa yang ditunggunya sedari tadi telah sampai.
"Ayo, sini kesayangannya onty." Rosa langsung menggandeng tangan Michaella sesaat setelah gadis itu turun dari motor.
Ia membawa gadis itu ke dalam kamarnya dan menyuruh Michaella untuk menunggunya sebentar. Tak lama, Rosa datang dengan beberapa pasang pakaian di tangannya.
"Kamu ganti baju dulu, ya. Ini baju-baju onty dulu, pilih aja mana yang masih bagus sama yang kamu suka." Michaella mengangguk. Ia mengambil alih pakaian di tangan Rosa lalu membawanya masuk menuju walk in closet.
Gadis itu sempat tercengang ketika memasuki walk in closet milik Rosa. Koleksi mantan model memang tidak perlu diragukan lagi. Michaella menata pakaian di tangannya di atas meja marmer di tengah ruangan itu. Akhirnya ia menjatuhkan pilihannya pada rok bewarna coklat muda dan blouse bewarna putih gading.
Tok tok tok
"Onty masuk, ya?"
"Iya, onty."
Rosa memperhatikan Michaella yang sedang mematut dirinya di depan cermin. Wanita itu tersenyum senang melihat pakaiannya terlihat pas di tubuh ramping gadisnya. Sangat cantik.. tapi seperti ada yang kurang. Rosa membuka satu kotak di lemari sebelah meja rias lalu mengambil sesuatu di sana.
"Ella, sini." Michaella mengikuti instruksi Rosa. Ia duduk di kursi yang wanita itu tarikkan untuknya.
"Di kepang, ya." Rosa mulai menata rambut Michaella. Diakhir, ia menambahkan jepitan kecil bewarna putih -benda yang tadi ia ambil- untuk menyangga anak rambut dan poni Michaella. Wanita itu berdecak puas melihat hasil karyanya. Sempurna.
"Yuk, turun. Onty mau masak buat makan malem."
~~~
"EASTER CURANG!"
"Eee, ngalah Alister.." ucap suara dari dapur.
"Bodo, wlee."
"KALO MAU MENANG YANG SPORTIF! MASA MOBIL ELLA DITABRAK! CURANG ITU NAMANYA."
Dada gadis itu naik turun karena kesal. Bahkan ia sudah berdiri menghalangi layar tv berukuran besar itu, sedangkan Alister masih saja fokus menggerak-gerakkan controller playstation di tangannya sambil terkekeh kecil meledek Michaella.
"Bukan, cerdik itu namanya."
"AAAA ALISTER NYEBELIN!" Michaella berjalan menghentak-hentakkan kakinya menuju dapur.
"Pasti mau ngadu."
"DIAM!"
Beberapa saat kemudian, Rosa datang menghampiri Alister dengan sudip kayu di tangannya. Di belakang wanita itu, Michaella tersenyum girang melihat apa yang akan terjadi beberapa saat lagi.
Wanita itu merampas benda di tangan Alister lalu duduk di sebelahnya. Kakinya ia naikkan satu ke sofa. Salah satu tangannya dilingkarkan untuk merangkul anak sulungnya itu.
"Kamu apain Ella?" Michaella yang disebut namanya segera memasang wajah sendu. Alister menolehkan kepalanya ke samping. Menatap ngeri mamanya yang masih santai memandangi kuku-kuku jarinya yang lentik.
"Mama kan udah bilang, ngalah aja Alister." Pemuda itu meneguk salivanya kasar ketika rangkulan mamanya semakin mengerat.
"Kamu a–"
"Papa pulang.."
Rosa tersenyum menyambut kepulangan suaminya. Hal itu Alister jadikan kesempatan untuk kabur. Ia melepaskan rangkulan Rosa lalu segera berlari menaiki tangga menuju kamarnya.
"Kenapa si Al?" tanya Alvaro, kepala keluarga Keenan.
"Biasa, gangguin Ella."
"Ada Ella?"
"Hai, uncle!" sapa Michaella. Alvaro mengacak rambut gadis itu. Pria itu meneliti penampilan Michaella dari atas sampai bawah.
"Punya onty, ya?"
"Iya. Mirip aku pas masih muda kan?" tanya Rosa. Ia mengaitkan tangannya ke lengan suaminya.
"Iya. Tapi lebih cantik kamu, dong." Alvaro menjawil hidung mancung Rosa, membuat wanita itu tersipu malu.
Rosa melepaskan kaitan lengannya. "Udah sana mandi. Yuk, Ella, bantuin onty masak."
~~~
Bintang-bintang bertaburan menghiasi angkasa. Pesona semesta pun tambah sempurna dengan hadirnya bulan purnama. Petikan gitar dan suara merdu seorang pemuda terdengar mengisi keheningan taman belakang keluarga Keenan.
"Ma, mau biskuitnya lagi," pinta seorang pemuda berkaos biru muda. Ia menyodorkan piring yang berisi sisa remahan biskuit kepada seorang wanita yang sedang duduk bersandar di dada suaminya.
Wanita itu menerima piring yang disodorkan anaknya lalu beranjak menuju dapur. Pria yang ditinggal wanitanya berdecak kesal. "Ganggu aja."
"Bodo. Udah tua masih aja mesra-mesraan, manja sama mama. Al gak mau ya, punya adek lagi. Apalagi cewe, terus nyebelin kayak Michaella," ucap Alister. Ia memelankan suaranya ketika menyebut nama satu-satunya gadis di sana. Namun sepertinya telinga Michaella cukup tajam, apalagi dengan sesuatu yang menyangkut dirinya. Terbukti dengan gadis itu yang mengacungkan jari tengahnya pada Alister.
"Hehe, Ella mau request lagu apa?" tanya pemuda itu sambil meraih gitar yang tadi sempat ia sandarkan di kursi rotan.
"Gak ah. Suara Easter jelek, bagusan juga suara Bian. Iya kan, uncle?" Michaella menghadapkan tubuhnya ke arah Alvaro.
"Betul. Udah El, jangan ladenin si Al. Dia playboy gadungan di kampusnya."
"Kata siapa? Kata mama, papa dulu juga playboy waktu muda," sahut Alister.
"Papa playboy berkelas ya. Mantan papa cantik-cantik. Nih ya, Al, papa ajarin. Kamu macarin cewe yang cakepan dikit bisa kan?"
"Iya. Jangan kayak cewe yang terakhir kamu bawa ke rumah. Aduh, selera kamu ngga banget deh, Al," sambung Rosa yang baru datang dengan piring berisi biskuit dan segelas susu di tangannya.
"Ih, kenapa pada bully aku sih? Ok, stop bahas ini."
"Malu dia," celetuk Alvaro.
"Pa!" gerutu Alister. "Sudahlah, pasrah aku tuh. Emang selalu terbully di keluarga ini," sambung Alister. Ia memasang raut wajah sedih yang sedikit dilebih-lebihkan.
"Who cares?" sahut Rosa.
"Udah yuk, ma. Kita masuk aja. Nanti ketularan gaje nya Al." Alvaro merangkul Rosa untuk masuk ke dalam. Alister memelototkan matanya. Benar-benar, orangtua durhaka!
"Yuk, Easter, kita masuk juga. Di sini dingin," ajak Michaella.
Alister mengangguk. Ia mengambil gitarnya lalu mengikuti langkah Michaella.
"Kamar Bian masih sama, kan?" Michaella membalikkan badannya menghadap Alister yang sedang menutup pintu kaca transparan, pintu yang memisahkan taman belakang dengan ruang santai.
"Masih. Sana naik aja, jam segini masih melek dia."
Michaella mulai menaiki tangga lalu berbelok ke kiri. Di ujung lorong itu, kamar Ziel. Tidak ada lagi gambar-gambar yang dulu mereka buat tertempel di pintu bewarna putih itu, polos. Ia terdiam. Harus mengetuk dulu atau langsung masuk seperti yang dulu sering ia lakukan? Suara decitan pintu membuyarkan lamunannya.
"Langsung masuk aja, Ella." Rosa tersenyum padanya. Michaella mengangguk. Tapi, ia tetap mengetuk pintu itu dua kali sebelum masuk ke dalamnya. Ia tak mau dicap Ziel sebagai perempuan yang tidak memiliki etika.
Hawa dingin dari pendingin ruangan menerpa kulit Michaella. Bau harum mint menyapa indra penciumannya. Cahaya bulan masuk melalui sela-sela tirai yang terayun karena masuknya angin dari jendela.
"Bi–" Michaella menghentikan ucapannya ketika pemuda itu meliriknya tajam. Ziel sedang melakukan panggilan video dengan sahabat-sahabatnya. Ia bisa mendengar suara Kagendra yang terus berceloteh dan Allya yang memprotes suara Kagendra.
Michaella berjalan menuju meja hias di sudut ruangan. Banyak foto-foto si pemilik ruangan dan sahabatnya terpajang di sana. Satu foto yang membuat gadis itu terpaku. Foto yang ditaruh di tengah. Foto Ziel dan sahabat-sahabatnya di pantai. Namun bukan itu yang menjadi perhatian Michaella. Tapi pose Ziel yang merangkul Allya sambil tersenyum lebar.
Michaella melihat-melihat isi kamar Ziel. Tidak ada fotonya atau bahkan kenangan masa kecil mereka. Semua memang sudah berubah sejak 10 tahun yang lalu. Tidak ada lagi lilin aroma therapy vanilla, tidak ada lagi rangkaian bunga kering di nakas samping tempat tidur.
Gadis itu beranjak menuju balkon. Dinginnya angin malam terasa menusuk kulit. Rumah pohon itu bisa terlihat dari sini. Rumah yang dulu menjadi tempat favorit keduanya itu masih terlihat kokoh dan terawat. Pandangan Michaella jatuh ke kolam ikan di bawah. Mereka bergerak bebas dengan tetap menciptakan keindahan ketika siripnya meliuk-liuk.
Angin malam ini cukup kencang. Michaella menutup pintu balkon dan jendela di sampingnya. Ia berjalan menghampiri Ziel yang sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Sosok Allya yang tampil di layar menarik perhatian Michaella. Ia akui, Allya memang cantik, sangat cantik. Bahkan ia tidak bisa membandingkan dirinya dengan Allya.
Michaella merebahkan tubuhnya di area kasur yang tidak terlihat kamera dari laptop Ziel. Ia menyampingkan tubuhnya ke arah balkon. Jemarinya bergerak menulis abstrak di atas sprei bewarna putih.
"Bian suka Allya?" pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Michaella.
Terdengar suara laptop yang ditutup serta goncangan kecil di ranjang itu. Tiba-tiba tangannya di tarik dengan kencang, membuat tubuh itu bangun seketika. Raut keterkejutan terlihat begitu kentara di wajah Michaella.
"Keluar."
"Gamau." Gadis itu kembali merebahkan tubuhnya. Ia tak mengindahkan tatapan tajam yang Ziel berikan. "Ella nginep di sini, ya?"
"Pulang." Ziel kembali menarik tangan Michaella, membuat gadis itu terduduk.
"Ih, Bian. Ok, Ella pulang. Tapi anterin.." rengek gadis itu.
"Gak. Sana sama Al."
"Yaudah, Ella gamau."
Bian menghembuskan napasnya kasar. Ia mencengkram tangan Michaella lalu menariknya menuju pintu. "Lo maunya apa sih?!"
"Bian."
"Ella mau Bian."
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata gadis itu.
"Ella mau Bian yang dulu. Bian yang sayang sama Ella. Bian yang selalu perhatian dan ngertiin Ella."
"Bian yang dulu udah mati! Gua Ziel, dan lo! Hanya masa lalu!"
Akhirnya, air mata pertama jatuh membasahi pipi putih Michaella. Dengan cepat gadis itu mengusapnya dengan punggung tangan yang tak di cengkram Ziel.
"Ngga! Ella tau, Bian masih sayang sama Ella. Tapi Bian sembunyiin itu!"
Sebuah kepala muncul dari balik pintu disusul satu tubuh yang sebenarnya sedari tadi menguping pembicaraan mereka. Tangannya terulur melepaskan cengkraman Ziel pada pergelangan tangan Michaella.
"Lepas, El. Tangan Ella merah." Alister menatap tajam Ziel. Cengkraman itupun terlepas.
"Ayo, pulang Ella. Al anterin." Michaella menggelengkan kepalanya.
"Al tunggu di bawah," ucap pemuda itu sebelum keluar dan menutup pintu.
Gadis itu melirik takut-takut ke arah Ziel. "Sana pulang!" bentak pemuda itu.
"Apa Bian ga bisa coba untuk kayak dulu lagi ke Ella?"
"Salah lo yang pergi," ucap Ziel membelakangi Michaella.
"Kalo waktu itu Ella ga pergi, apa sikap Bian masih sama kayak dulu?"
Tidak ada jawaban.
Michaella menarik napas panjang. Ia membalikkan badannya. Tangannya terjulur memegang gagang pintu. "Malam Bian. Ella pulang. Maaf udah buat Bian marah."
Rasa itu kembali lagi. Rasa sesak di dada dan seperti ada sesuatu yang memaksa air matanya untuk keluar lebih deras. Isakan kecil keluar dari bibirnya.
"Ella sayang Bian."
Dan setelah itu, suara pintu terdengar. Menandakan hanya tersisa Ziel di dalam kamar. Pemuda itu tetap pada posisinya. Matanya menerawang ke arah langit malam melalui pintu kaca balkon.
Michaella menyenderkan tubuhnya di pintu. Air matanya mengalir deras. Ia membekap mulutnya, berusaha menghalangi suara isakan yang bisa keluar kapan saja. Hatinya sakit. Kenapa selalu penolakan? Kenapa selalu penolakan yang ia terima dari Ziel?
Tubuhnya tertarik ke depan. Rasa hangat menjalari tubuhnya. Usapan lembut di punggungnya setidaknya mampu sedikit menenangkannya.
"Al tau Ella kuat. 10 tahun bukan waktu yang lama, dan Ella bisa ngelewatin itu semua. Al janji. Al bakal selalu dukung Ella. Jangan nangis lagi."