Kring!
"Baik, bel sudah berbunyi waktunya istirahat. Sampai di sini dulu pelajaran kita. Selamat pagi."
Guru mata pelajaran Biologi melenggang keluar kelas disusul beberapa siswa-siswi yang menuju kantin sekolah untuk mengisi perut. Mayoritas kelas XI-IPA 1 lebih memilih untuk berdiam diri di kelas. Untuk apa? Menunggu mereka datang.
"Hai, aku Allya. Salam kenal." Gadis bermata coklat itu menjulurkan tangannya kepada murid baru di kelasnya.
"Michaella."
"Hai, cantik. Apa kabar?" Seperti biasa, Kagendra memulai gombalannya.
"Baik ..?"
"Kagendra. Kagendra Raharja. Cowo paling ganteng di SMA Garuda Sakti. Kalo mau daftar jadi nyonya Raharja boleh kok."
Michaella menyambut jabat tangan Kagendra. Mereka berjabat tangan cukup lama, menciptakan gurat tidak nyaman di wajah gadis itu. Ia mencoba menarik tangannya, namun ditahan.
"Ya ampun, halus banget tangannya. Jadi pingin di elus."
"Modus lo!"
Dave mencuil tangan Kagendra dari tangan Michaella. Setelah itu ia meneteskan hand sanitizer di telapak tangan Michaella.
"Kalo abis bersentuhan sama Gendra wajib cuci tangan atau pake hand sanitizer. Soalnya Gendra mengandung banyak kuman dan virus."
"Sialan lo, Dave! Calon pacar gua tuh. Ya kan, Al?"
"Udah-udah!" seru Allya ketika melihat Dave ingin membalas ucapan Kagendra. Jika dibiarkan bisa panjang urusannya. "Ziel mana, ya? Kok belom dateng."
Gerakan tangan Michaella yang sedang mengusap telapak tangganya terhenti ketika mendengar nama yang baru Allya sebutkan.
"Mereka dateng, mereka dateng!"
"Wih pawangnya Allya dateng, nih."
Suasana kelas menjadi hening, berbeda dengan suasana di luar kelas. Hanya suara derap langkah dua orang pemuda yang mendominasi. Mereka berjalan menghampiri sahabat-sahabatnya yang sedang mengelilingi satu meja.
"Skuy kantin!"
"Ziel mana? Kok gak ada?" tanya Allya.
"Rapat OSIS, buat event bulan depan." jawab Langit.
"Ooo. Kok Babas gak ikut?"
"Gua udah kemarin. Pembahasannya beda."
Langit memberi kode melalui tatapan matanya kepada Allya. Allya yang menangkap maksud Langit pun bangkit dari duduknya, mendorong sedikit tubuh Kagendra yang menutupi Michaella ke samping.
"Eh, siapa?" tanya Babas menyadari ada orang asing di antara mereka.
"Kenalin ini Michaella. Dia yang aku bilang murid pindahan kemarin itu." Langit dan Babas mengangguk mendengar penjelasan Allya.
"Hai. Kalian bisa panggil aku Chel atau Ella. Salam kenal."
"Ella?" Langit mengernyitkan dahinya. Seperti pernah mendengar nama itu.
"Gua Babas, ini Langit." Babas menepuk pundak Langit.
"Yuk, kantin! Ella gabung aja, gakpapa." Gadis itu mengangguk menjawab ajakan Dave.
Michaella mengambil kotak bekalnya lalu mulai berjalan bersama menuju kantin. Tempat mereka ada di pojok dekat taman. Selain cukup sepi, di sini juga memiliki pemandangan yang segar. Tapi tetap saja, susah sekali menambahkan kata tenang dalam kamus mereka, mengingat gelar most wanted yang mereka miliki.
"Selamat makan!" ucap Michaella sebelum menyuap nasi ke mulutnya. Merasa tidak ada yang menjawab, gadis itu menghentikan kunyahannya.
"Selamat makan!" balas Allya.
"Ella membawa positif, ya. Cocok nih buat Gendra. Biar stop kobam sama biar gak makin jamet."
"Enak aja lo. Ngaca, Bas!"
"Ngaca-ngaca! Nih liat!" Babas menunjuk luka gores di pipinya. "Ni luka gak bakal ada kalo lo gak banyak tingkah di atas motor! Mabok ditanyain nomor rumah malah ngasih nomor gua, Langit kek sekali-sekali."
"Gak sudi. Masih dendam gua. Lo liat nih rambut gua. Udah macam rambut singa, jadi kasar lagi."
"Itukan– Ih, yang lain kan juga ikut ngecat rambut lo, Ngit. Kenapa cuma gua yang disalahin?"
"Pencetus pertamanya siapa, ya?" sindir Dave.
"Ah, kenapa sih pada gak bisa diajak kerja sama?"
"Ok stop! Liat tuh, udah lewat hampir 20 menit cuma buat berdebat. Udah, sekarang makan."
Keempat pemuda itu terdiam mendengar ucapan Allya. Mereka pun mulai memakan makanan mereka hingga kandas, namun satu pemuda yang katanya sedang rapat OSIS itu belum datang juga.
Gadis berambut hitam kecoklatan itu menutup kotak bekalnya. Ia membuka resleting di sisi tas makan yang ia bawa. Tangannya mengenggam erat benda di dalamnya lalu dengan cepat memasukkan benda itu ke saku rok abu-abu yang ia pakai.
"Aku mau ke toilet." Michaella bangkit dari duduknya.
"Mau dianter?" tanya Allya ramah.
"Um, gak usah."
"Ok. Nanti keluar kantin belok kiri aja disitu ada tulisannya, kok."
Michaella mengangguk lalu mulai beranjak menuju pintu keluar kantin. Di sepanjang perjalanan indra pendengarannya menangkap suara bisik-bisik dari siswi yang ia lewati. Gadis itu membalas senyum kepada beberapa siswi yang terang-terangan menunjuk dirinya dan mengeluarkan cibiran.
"Itu tuh, liat. Itu anak baru yang makan bareng Dave sama temen-temennya yang lain."
"Najis, gua kira cakep. Ternyata b aja. Anaknya caper pasti."
Dan masih banyak lagi kalimat yang mereka lontarkan membuat Michaella mempercepat langkahnya. Kepalanya menunduk. Ia menggigit bibir bawahnya. Hingga tiba-tiba ia berhenti lalu mundur beberapa langkah ke belakang. Hampir saja ia menabrak seseorang.
"Liat-liat! Baru aja gua bilang. Sekarang dia sengaja mau nabrak Ziel dong. Jijik banget gua!"
Ziel?
Senyum terbentuk dengan sendirinya di bibir Michaella yang sedikit pucat. Secara perlahan ia mengangkat wajahnya. Iris hitamnya menatap penuh rasa rindu kepada sosok di hadapannya. Pandangan Michaella sedikit mengabur akibat air mata yang berkumpul di pelupuk matanya.
Dia benar-benar di sini, di hadapannya.
"Bi–"
"Ziel!"
Dengan cepat Michaella mengusap matanya. Ia berbalik badan dan menemukan Allya yang sedang berlari ke arah mereka. Ia berusaha untuk bersikap biasa saja.
"El, lama banget sih rapatnya. Kita nungguin dari tadi."
Pemuda itu berdiri di hadapan Allya membelakangi Michaella. "Sekarang udah di sini kan? Ayo, kantin. Aku laper."
"Siapa suruh lama-lama." celetuk Allya.
Ziel menunjukkan senyumnya lalu mengusap pelan pucuk kepala gadis di hadapannya. Tangannya meraih tangan gadis itu, berjalan bergandeng tangan menuju kantin. Allya tersipu, hatinya menghangat. Berbanding terbalik dengan keadaan hati gadis yang diam tak berkutik di tempatnya. Hatinya sesak.
Rasanya Michaella ingin berlari lalu memeluk pemuda itu. Menyesap kehangatan yang dulu senantiasa pemuda itu berikan. Ia ingin mengutarakan rasa rindunya yang tak tertampung lagi. Ia rindu. Sangat rindu.
Tetesan sebening kristal itu mulai jatuh membasahi pipi Michaella. Tangannya mencengkram bagian dadanya yang terasa sangat sesak. Nafasnya menjadi tak teratur.
Kenapa? Kenapa Bian?
Bahkan pemuda itu sama sekali tidak menengok ke belakang. Apa ia sudah menjadi orang asing sekarang? Apa Bian tidak ingat dengannya? Apa Bian sudah tidak peduli lagi dengannya?
Kemana perginya senyum hangat yang selalu ia berikan? Kemana usapan lembut yang selalu bisa menenangkan hati Michaella? Ella butuh itu sekarang, Bian.
Michaella berharap akan diberikan pelukan hangat pemuda itu. Mencercanya dengan berbagai pertanyaan yang sarat akan kerinduan. Tapi apa? Penolakan halus yang ia terima.
"Ella kangen Bian."