Setelah kejadian tak mengenakkan, Eza merasa lapar. Mobilnya berhenti di depan restoran sederhana yang terlihat bangunan dari susunan kayu di atas pantai.
Restoran dengan makan khas di sana, dengan menu ikan bakar, bakso ikan laut dan binte (jagung ketan yang di beri kuah dan di bumbui, jeruk nipis, ikan laut suwir dan kecap dan sambal).
Eza memarkirkan mobil di depan Restoran ia hanya memakai kaos dan sarung milik Ayahnya Rina, sarung yang tidak rapi namun cukup harum, ia segera turun, lalu menutup pintu mobil dan mengetuk kaca mobil di tempat Rina duduk
"Heh, ayo turun! Makan!" suruhnya cuek dan tak menghadap ke Rina. Rina berusaha cuek, ia menahan rasa laparnya.
'Aku lapar, tapi bagaimana lagi? Gengsi dong!' batinnya.
"Cheh," desahan enek keluar dari bibir Eza, "Ayo! Aku tidak mau di salahkan oleh Ibuku! Kalau kamu sakit, tidak jadi nikah nanti. Dan Ibuku kena serangan jantung, kamu dan Dirga harus nikah nanti. Please, tolong jangan buat malu," pinta Eza sedikit melas, pergi dan segera memesan makanan.
"Aku harus buktikan jika aku sudah menghempaskannya jauh-jauh," gumamnya gadis ayu itu. Rina turun dari mobil, lalu melangkah memasuki restoran.
Mereka duduk berjauhan seperti tak saling kenal.
"Maaf, kamu sama dia kan?" tanya pelanggan lain yang datang bersama keluarga besarnya.
"Iya," singkat Rina.
"Kamu hatusnya duduk sama dia," titah pelanggan itu, Rina merasa kesal dengan berat hati dia terpaksa duduk dengan Eza.
"Sini adik ipar," panggil Eza membuat Rina terpaku dan terbelalak. Rina menoleh ke Eza dengan pelan.
"Dia adik iparku, kami canggung, silahkan di nikmati," jelas Eza berdiri dan memainkan jari telunjuk menyuruh Rina datang kepadanya.
"Padahal kalian cocok lho ...." sela nenek dari belakang Rina.
"Semakin is death aku di sini, jantung ku lho, deg-deggannya, sumpah!' pikir Rina masih tercengan, tak lama ia menelan ludah dan berjalan ke arah Eza.
Mereka duduk saling ujung Rina melipat kedua tangannya ke atas meja lalu menumpangkan kepalanya hingga tak terlihat wajahnya.
"Menunggu adalah hal paling menyebalkan," gumamnya sambil menggerakan kaki.
"Aku kurang suka, jika kamu jadi adik iparku, tapi ini keputusan Ibuku, lagian Dirga juga kurang baik untukmu. Aku berharap kamu bisa merubah sifat buruknya, menjadi pribadi yang lebih baik namun tidak ceroboh sepertimu. Kau juga mengenal Dirga dari dulu, nakalnya di sekolahan, kamu pasti tahu. Sampai tidak naik kelas karena sibuk pacaran dan sok jadi bos, terima kasih kamu mau menerima apa adanya dia," kata panjang lebar dari Eza, makanan datang.
"Wah ... ikan bakar," suara Rina serak, terdengar baru bangun dari tidurnya dan seperti orang ngigo, Eza menatap aneh.
'Astagfirullah ... jadi tadi aku ngomong sendiri, dia tidur? Sungguh aneh! Untung jadi adik iparku. Dari dulu hi ....' batin Eza membuang wajah dengan raut tidak suka karena semua tindak laku Rina.
"Heh, sana cuci muka, jorok!" titah Eza sambil cuci tangan.
"Maaf kepalaku pusing," ujar Rina dengan suara lemas. Dia melangkah sambil berusaha membuka mata.
Dia pun tersandung kaki meja dan hampir jatuh, dia tersungkur dan berpegangan ke Eza. Sampai tidak sengaja tangannya menumpang ke paha Eza dan dekat dengan pusaka milik Eza. Eza menutup wajahnya. Rina syok ia segera kabur dengan menutup mulutnya yang bergumam, Eza lebih dari syok darinya.
"Astagfirullah ... gila tuh cewek, alatku! Kesucianku! Untung belum ke area, Ah ...." gumamnya yang merinding. "Bagaimana bisa makan enak jika begini," lanjutnya dengan menutupi alatnya.
Sementara Rina yang di dalam toilet tak ingin keluar, ia sangat malu, "Kenapa? kenapa, kenapa ...? Heh!" Rina melepas jilbabnya memasukkan wajahnya ke bak mandi dan ia berteriak.
"Aaaa, hah ... hah ...." Tiada yang mendengar teriakannya, setelah merasa lega, ia mengangkat kepalanya.
"Ini gila ....fikiranku ... kacau, bagaimana bisa gadis yang terkenal handal baca tartil, dengar suara merdu seempat kecamatan melakukan hal konyol di hadapan pria yang ia nanti selama ini. Ini keterlaluan! Kenapa tidak ada kebaikan yang terlihat dariku ... bagaimana fikiran dia tentangku? Sangat memprihatinkan deh. Rina jangan pedulikan. Hufft ...." Rina hendak memegang gagang pintu tapi tak jadi. Dia terus menggerakkan tubuhnya dan kebingungan. Semua rasa antara malu dan merasa bersalah menjadi satu dalam benaknya.
Ia terus mengelus pipinya karena telapak tangan yang mendadak dingin. Ia memang sering mendapatkan penghargaan dari ikut MTQ di daerah. Piala berjejeran di lemari ruang tamunya, tapi tiada ada yang peduli soal itu, yang terlihat hanya sifat anehnya.
Tok. Tok. Tok.
"Kau Rina?" tanya suara laki-laki, sudah jelas itu Eza.
"hmm ...."
"Aku udah selesai makan, kamu nggak kedinginan di situ satu jam. Aku ke mushola dulu," jelasnya Eza pergi. Rina mendengar langkahnya yang berlalu, ia mengenakan jilbabnya. Lalu keluar dengan mengendap-endap.
"Satu jam? He?" gumamnya cemas dan seperti orang ketakutan.
Setelah di meja makan ia pun tak tenang dan terus was-was. Takut bagaimana cara menghadapi Eza nantinya.
"Kak Rina?" panggil suara gadis, Rina sangat terkejut sampai terangkat kedua pundaknya.
"Maaf Kak ngagetin ya?" tanya gadis itu sok kenal, seperti biasa Rina mudah lupa dengan wajah seseorang.
"Ini aku Sita, yang belajar tartil sama Kakak di masjid, akhirnya ... bisa secara langsung juga, bertemunya. Sudah lama aku ingin banget ketemu Kakak, akhirnya ... aku seneng banget," kata gadis itu menggenggam erat tangan Rina. Rina hanya tersenyum.
'Toh, kan. Ada yang mengidolakan aku. Rina ... tidak perlu berharap lagi. Eza itu tidak akan buka hatinya, sia-sia,' pikir Rina.
"Maaf aku tidak mengenal, soalnya kan ada 40 santri, jadi aku susah ingat," jelas Rina sambil memandang gadis itu.
"Iya Kak tidak papa. Suara Kakak itu bagus banget, i love pokoknya," puji Sita tak henti-henti pada sosok guru tartil yang duduk di depannya.
"Katanya Kakak mau nikah? Kapan? Kalau nikah masih ngajar tartil tidak?" tanya gadis remaja itu banyak, bertanya sampai Rina tak jadi makan.
"Maaf, aku makan dulu tidak baik, makan sambil bicara, aku lapar karena habis mabuk dari perjalanan," jelas Rina agar tak menyakiti hati Sita, Sita tersenyum.
"Sini ponselmu, aku simpankan nomerku," saran dari Rina membuat Sita senang, ia segera memberikan ponselnya.
Rina menyimpankan nomer telponya, Sita langsung memiscol, dan terdengar lagu dari band Armada Awas jatuh cinta.
Sita tersenyum lebar, ia pun sudah di panggil oleh keluarganya, ia segera pergi. Dan meninggalkan senyum hangat untuk Rina. Rina asik makan sampai menjilati jari-jarinya, matanya memandang ke mushola takut Eza keluar tiba-tiba.
Sampai waktu Isya', Eza baru keluar dari mushola, Rina asik nonton tivi di restoran.
"Heh! Calon adik ipar, ayok!" panggilan dengan nada keras, Rina menoleh lalu tergesa-gesa. Sampai tidak benar ketika memakai sandalnya, ia sangat grogi.
Mereka masuk mobil, Eza melajukan mobil lalu memutar tip di mobilnya. Suara Ayat Al-Qur'an surah Muhammad menemani perjalanan mereka.
Perjalanan yang sunyi dan sepi tambah gerimis pula. Rina duduk di kursi kedua.
"Hufft dingin ..." keluh Eza dengan suara pelan, Rina membuka tasnya mengambil jas putih yang pernah di berikan Eza.
"Aku berniat mengembalikannya, ini sudah ku cuci, aku juga tidak mau mengingat kenangan yang tak berarti," ucap Rina berani dan seolah-olah ia tidak ada perasaan lagi untuk Eza. Ia mengodorkan jas itu, Eza menerima lalu mencium jasnya.
"Itu harum!" ujar Rina ketus.
"Baguslah!" seru Eza disusul dengan tawa singkat, ia senang karena Rina sudah tak ada rasa untuknya.
Dorrrrr!
Whussssss!
Suara mengagetkan. Angin dar ban mobil keluar, suara ban yang melesat dan mengerikan, mobil pun oleng, perjalanan tak setabil, Rina berpegangan erat di kursi di depanya.
"SubhanaAllah ... Allahu Akbar ...!" teriakan Rina membuat Eza yang langsung mengerem.
Ngiiiik!
Rina terjaduk.
Mobil berhenti, dahi Eza berdarah, mereka berhenti di jalanan yang sepi penuh gunung, jurang dan di bawahnya lautan dalam.
"Kak ...." Rina memastikan keadaan Eza. Eza mengangkat kepalanya dari setir.
"Ban meletus, di tempat seperti ini ...!" keluh Eza. Walau dahinya berdarah ia mengambil ponsel lalu keluar dan melihat keadaan mobilnya.
Dia menyalakan ponsel jadul yang cahayanya hanya dari layar ponsel sonyy, di tempat yang gelap sialnya bantre hpnya lobet. Riana memberi sinar dari senter hpnya.
"Terpaksa kita bermalam di sini, untung saja tidak nabrak gunung atau masuk jurang." ujar Reza yang kembali masuk ke mobil.
Di malam yang gelap dengan di derasnya suara ombak yang menyeramkan. Mereka menikmati malam di dalam mobil dengan lantunan tip yang menyala.
"Kau tau? Tadi fikiranku blong, saat kau teriak SubhanaAllah baru aku berfikir untuk menginjak rem, apa keturunan ghaib dari Lintera ada di sini?" Reza terlihat takut.
"Baca ayat kursi, mahluk ghaib itu ada dimana-mana." Riana santai ia tak menyangka jika Reza sedikit penakut, Reza mengencangkan tip nya, mereka tidur.
Bersambung.
Hai Readers terima kasih dukungannya. Terima kasih sudah setia. Boleh juga sambil nunggu punya ku up. Ada novel keren nih.
Gairah Nona by Lazuarrdi.
Di jamin suka.