Malam yang dingin rasanya sampai menembus ke tulang-tulang di dalam tubuh. Kedua insan tetap berada di dalam mobil dengan suasana sunyi dan gelap.
Rina tidak bisa tidur, sementara Eza juga menepuk-nepuki nyamuk yang lewat di depannya.
Malam yang sunyi, mobil berada di bawah dataran tinggi dengan pepohonan yang rimbun, suara ombak semakin menggelegar di malam yang sepi. Suaranya mengerikan, karena lautan dalam.
Saling diam tanpa kata, keadaan cangung dirasa keduanya. Mereka di temani tape yang menyala dengan lantunan Ayat Al-Qur'an dengan suara merdu sang Qori'.
"Aku merasa ada hantu lientera di sini," ucap Eza yang tiba-tiba merinding dan terdengar takut.
"Iya ada," tutur Rina santai.
"Di mana?" tanya Eza sontak dengan merunduk lalu menoleh ke Rina. Rina tertawa remeh. Eza duduk miring ke arah kanan.
"Kau makin dekat dengan Asep? Aku kasian sebenarnya, dia dan Andara bertahan diwaktu yang sangat lama. Cinta terhalang restu," ujar Eza tiba-tiba, Rina duduk tegap dan diam sejenak.
"O, tunggu! Kok tau Andara? Kenal dari mana?" tanya Rina yang awalnya acuh tapi kemudian penasaran.
"Andara itu keponakan almarhum Bapakku, masih sepupuan sama aku. Sebenarnya aku salut sih sama Asep, perjuangannya itu lho, sangat keras dan tidak pantang menyerah. Membuktian jika dia pria yang baik, hanya saja kami memang dari dulu tidak akrab. Cinta tak direstui, mungkin juga Andara akan menikah dengan orang lain, karena sudah di atur perjodohannya," terang singkat Eza, Rina membuang nafas ia mulai merasa kasihan pada Asep.
"Kasian. Apa masalah keuangan dari keluarga Kak Asep?" Rina mulai mengorek.
"Status, harga diri, tahta semua itu di butuhkan dari keluarga Andara, apalagi Papi dan Mami ya. Begitulah, ketika uang begitu penting! Kalau Asep sudah tidak punya Bapak dan harus mencukupi kedua adiknya dan Ibu yang sudah sakit-sakitan. Huft ... MasyaAllah sangat berat ujian hidupnya. Andara sangat berharap kedua orang tuanya mau merestui hubungan mereka, sampai Andara juga harus banting tulang di Jakarta, kekuatan cinta yang membangkitkan semangat! Kamu sendiri hal positif apa darimu? Sepertinya kamu tidak bisa apa-apa dan semakin konyol!" ucapan Eza yang meremehkan Rina, mata Riana membulat dan memandangnya dengan sangat kesal.
"Terserah! Apa fikiranmu kepadaku, aku sih tidak menyombongkan kemampuanku, aku juga tidak perlu memamerkan apapun, kepadamu! Tidak penting penilaian manusia, yang penting bagaimana cara mendapatkan ridho Allah SWT." Rina berkata sangat ketus dan tegas, benar saja di hatinya sangat kesal karena omongan Eza.
"Aku tidak nyangka, kata-katamu itu keren. Ternyata kamu bisa berkata seperti itu!" pujian mendadak dari Eza, Rina memutar mata malas.
"Jangan suka meremehkan orang! Karena belum tentu kamu lebih baik dari dia. Itu hanya kritikanku," jelas Rina selanjutnya. Eza tertawa remeh.
"Soalnya aku kira kamu masih ada rasa, aku jadi ilfil. Ngomong-ngomong kamu harus siap dengan watak dan sikap Dirga," tutur Eza karena faham betul dengan kelakuan dari adiknya.
"Berarti orang tua Andara sama seperti Bundaku! Matre!" ucap Rina pelan mamun Eza mendengar.
"Aku belum ingin menikah, apalagi dengan Dirga, tapi aku harus bagaimana lagi! Aku yakin kamu tidak akan membantuku untuk kabur," ujar Rina asal ceplos.
"Apa? Kabur, jelaslah aku tidak akan membantumu, karena aku tidak mau Ibuku terkena serangan jantung. Belajarlah jatuh cinta sama si receh itu, kamu tidak tau betapa sulitnya perjuanganku. Aku yakin kamu bisa cinta kepada Dirga. Seperti aku yang sangat mencintainya, aku di bodohkan oleh cintanya Intan, namun pada akhirnya aku bisa mendapatkannya. Intinya semua adalah proses," ujar Eza menceritakan sedikit perjuangan cintanya untuk mendapatkan pacar impian.
"Huah ...." Rina menguap malas mendengarkan.
"Tidak usah curhat! Tidak penting, tidak ada hubungannya denganku!" Rina berbicara ketus.
"Aku menasehati, agar kamu tidak berharap lagi akan cintaku. Sakit jika cinta tak terbalas, jadi berhentilah. Aku tau kamu tidak bisa move on dengan pesonaku. Iya kan?" tanya Eza yang kepedean.
"Pede amat! Siapa yang jatuh cinta sama Anda! Itu hanya cinta monyet jaman SMP dan SMA, aku sudah move on. Aku tidak mau menerima perjodohan karena aku mengenal Dirga," ucap Rina jelas mengelak.
"Syukurlah kalau begitu, aku minta tolong sebagai calon kakak iparmu, tolong bantu merubah tingkah laku Dirga. Aku yakin pelan-pelan kamu bisa membantunya menjadi laki-laki baik, dan bertanggung jawab. Kamu gadis baik dari lingkungan pesantren, aku minta maaf atas kelakuanku, atas perkataanku yang merendahkanmu. Tolong bantu ya?" bujuk Eza, ia melihat Rina dari kaca spion.
"Yah ... tidur dia ... MasyaAllah berarti dari tadi aku ngomong sendiri!l?" keluh Eza sejenak memperhatikan Rina walau tidak langsung. Dia melihat ke arah di depannya sangat gelap. Semilir angin menerpanya dan datanglah rasa merinding.
"Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah, kenapa aku merinding, dan jalanan sepi, biasanya walau malam rame, tapi ini ...." Eza memejamkan mata.
"Lebih baik tidur di kamar mayat, dari pada di sini ini sangat menyeramkan," gumamnya sambil menggosok-gosok lengannya.
Rina membuka mata, ia sangat terkejut, dalam mimpinya Eza tidur di sebelahnya."Heh ...ternyata hanya mimpi, Alhamdulillah ...." Dia merasa lega.
'Apa dia benar tidur? Sampai kapan pun aku tidak bisa meng offkan perasaanku, dia semakin membuat aku jatuh cinta, benar katanya sangat menyakitkan jika bertahan dan tidak terbalas. Kasiah kamu Ri ... malangnya nasib cintamu, semoga saja aku bisa jatuh cinta pada Dirga. Ya Allah hatiku sangat sakit rasanya. Aku hampa ... hatiku berserakan ketika dia bilang, dia di bodohkan dengan cintanya. Aku juga pasti seperti itu ... ini sangat tragis. Ya Allah Engkau Maha Kuasa, Engkau yang membolak-balikkan hati manusia.' bicaranya dalam hati, matanya terus memandang Eza dari belakang.
'Memandang mu dari belakang sama halnya selalu mengejarmu, kamu pun berlari dan tidak menoleh, huft ...." Rina membuang nafas, ia membuka ponselnya.
Melihat ponsel tapi bingung mau di gunakan untuk apa, apalagi di tempatnya yang berada di bawah bukit susah sinyal.
"Ternyata kamu tidak tidur?" tanya Eza tiba-tiba, Rina sangat terkejut.
"Aduh ... copot jantungku, aku sudah tidur, tapi bangun," jawaban singkat dari Rina.
"Cepet banget bangunnya, aku mengenal Rio, keren lo ... dia," ujar Eza mencari topik pembicaraan, agar tidak semakin hampa.
"Kenal dari mana?" tanya Rina sambil menaik-nurunkan layar ponselnya.
"Saat dia urus kartu keluarga di Makassar, wah sangat cerdas. Aku juga lihat perlombaannya, suaranya juga merdu. Jadi dia sepupu atau adik kandungmu? Kamu berapa saudara?" pertanyaan Eza sangat normal.
"Ingin kenal banget, atau ingin kenal saja?" Rina bersikap acuh karena ia tidak ingin Eza tau kalau dia masih menyimpan rasa.
"Jujur saja, aku tidur tidak bisa tidur, jadi aku mencari-cari alasan agar kita bisa ngobrol," jelas Eza sambil mengetuk pahanya dengan jari telunjuk.
"Aku dan Rio memang sepupu. Tapi kami sangat dekat, dia jarang pulang ke rumahnya. Dia anak mandiri, sama sekali tidak pernah merepotkan kedua orang tuanya. Dia kerja paruh waktu setelah sekolah, kalau sore jadi guru ngaji," jelas Rina sambil memandang keluar kaca. Dia terlihat lesu.
"Aku faham soal Bundamu. Ayahmu juga sangat menyesalkan porjodohanmu yang sangat tiba-tiba. Tidak mudah memang jadi kamu, makanya ...."
"Apa?" Riana tercengang.
"Tidak perlu berlebihan! Aku tidak membelamu tadi," ujar cepat Eza, Rina merasa aneh dengan perkataan Eza yadi ditutupinya.
Ada cahaya yang tersorot, Eza menoleh ia segera turun, melambaikan tangan dan trek itu berhenti, ia minta bantuan pada supir trek itu, supir pun berhenti, akhirnya trek itu menderek mobil Eza. Dia dengan Rina naik di bak trek tersebut.
Bersambung.