Mereka memancung para tawanan berkulit gelap itu lebih dulu. Sementara anggota kafilah dan pengembara lain menonton dalam kepasrahan meratapi.
Sepuluh kepala menggelinding begitu saja dari leher mereka ke atas bulir pasir yang terang bermandi rembulan bulan Juli. Menyisakan genangan darah menganak sungai di jalur peziarah pada Gurun Hitam.
Para penjagal tidak nampak tergesa-gesa. Toh, pemukiman yang terdekat jaraknya pun memerlukan waktu dua jam bila ditempuh dengan berkuda. Tidak akan ada yang mampu menghentikan kebengisan mereka selarut ini di tengah Gurun Hitam yang sunyi.
Lantaran berpikir Kerajaan Elysium telah berdamai setelah Palagan Suci usai dan mengizinkan peziarah mengujungi ibukota Eden.
Rombongan Kafilah yang berisi beberapa pedagang Emirat dan Nubia dari Benua selatan, serta pengembara peransel dari Bohemia yang membarengi karena hendak pulang ke utara setelah berziarah itu memilih berjalan malam tanpa pengamanan ketat.
Janji Raja Elysian ketiga, Justin Elessar, atas keselamatan semua peziarah adalah satu-satunya pegangan mereka.
Sebuah keputusan yang naif sebetulnya, mengingat sudah jadi rahasia umum jika para Ksatria Bait Katedral Lukresia masih menyimpan dendam atas kekalahan di Palagan Suci sebelumnya.
Orang-orang pasar di Ibukota Eden dan Jafa pun kelak menyebut ini sebagai 'Kebodohan Larut Malam' ketika bergosip membahasnya, kalaupun bukan ancaman Ksatria Bait, masih ada kemungkin mereka bertemu perampok di jalan. Walaupun ada juga yang menyangsikan mereka hanya murni kafilah dagang yang sembrono mengambil keputusan.
Dua lusin rombongan Ksatria Bait berbalut lempengan zirah perak bertatah ukiran menyilang di dada dan punggung, bertunik kulit hitam menyelubungi, serta jubah putih bercorak bintang delapan sudut, berkuda di tengah malam dan menyongsong kafilah itu layaknya serigala mengitari ayam di pekarangan.
Mereka berderap dari balik bukit-bukit pasir di sisi jalur peziarah dengan pedang terhunus.
Rombongan kereta kafilah itu terkepung, mereka yang kedapatan membawa senjata atau berpedang adalah yang terlebih dulu dihabisi.
Sang pemimpin serigala berderap pelan mengitari kafilah, mengawasi kelompoknya agar berburu dengan baik. Sebelum bergabung dengan sosok tambun yang memimpin penyergapan.
Tidak butuh waktu lama untuk membuat rombongan kafilah itu tunduk menyerah, mereka diseret turun dari kuda dan kereta mereka, lalu dikumpulkan.
Sementara para Ksatria sebagian tampak merampok isi kereta, ada yang menumpahkan dengan kasar barang dagangan, sebagian lagi bahkan menyiram minyak dan membakarnya. Kuda-kuda dan keledai gelisah menyaksikan api yang menjulang.
"Komandan Barnabas, apa yang akan kita lakukan pada peziarah Bohemia dan pada perempuan?"
Seorang Ksatria bertanya pada sosok Barnabas yang mengamati dari atas pelana. Jubahnya terkibas angin Gurun yang dingin. Statusnya yang lebih tinggi dari Ksatria lain tergambar dalam pembawaan dan surcoat panjang yang melapisi balutan tunik dan lempeng zirahnya.
"Habisi semuanya!" jawab Barnabas dengan dingin.
Seringainya terlukis ketika mengamati api yang makin liar menjilat-jilat sementara para Ksatrianya mulai melemparkan mayat kedalamnya.
Kupingnya sudah terlalu tuli untuk mendengar suara jerit menghiba. Hatinya telah membatu oleh banyaknya dendam dan peperangan.
"Tapi beberapa dari mereka adalah penduduk Bohemia, wahai Tuanku?"
"Mereka semua kafir penganut Quds, darah mereka adalah bayaran untuk darah saudara-saudara kita yang terbunuh oleh tentara kafir!" imbuhnya.
"Tuhan Menghendaki!" teriak seorang Ksatria di sisi Barnabas.
"Tuhan Menghendaki!" mereka saling sahut.
Seruan pendek itu dijawab para Ksatria Bait dengan denting hunusan pedang.
Mata pedang mereka yang tajam adalah pandu bagi para penganut Quds untuk memohon pengampunan di alam baka pada Lukresia. Darah mereka halal ditumpahkan pada pasir yang berbisik lirih di tengah malam.
Para Ksatria percaya bahwa tiap tetes darah yang menyiprati jubah dan zirah mereka adalah bukti upaya memperoleh pengampunan dosa dari Lukresia sang Perawan.
Ini bukan Fanatisme, ini adalah bakti pada-Nya, demikian lah ucapan Yang Agung Benedictine sewaktu pemberkatan mereka sebelum berangkat ke Tanah Suci. Pengampunan dosa adalah ganjaran bagi Palagan Suci mereka melawan kebatilan.
Menegakan Ajaran Lukresia dan menghapus tuhan-tuhan palsu, simbol mistik, ajaran pagan dan dewa-dewa kafir adalah salah satu Kredo para Ksatria Bait Katedral Lukresia ketika mereka disumpah.
Kidung-kidung suci akan mereka tegakkan sebagai pembersihan atas sihir-sihir jahat dan ilmu hitam kaum terbelakang yang selama ini menjangkiti dunia. Jika ada yang penasaran terhadap isi benak mereka, maka jawaban-jawaban di atas adalah yang lazim orang dengar.
Ksatria Bait berbadan tambun berjanggut tebal merah yang sejak tadi khusyuk menikmati penjagalan, setelah puas melihat tontonan biadab itu, tiba-tiba ia berkuda mendekati Barnabas yang kembali bertengger di atas bukit pasir.
"Komandan Barnabas! Komandan, kami menemukan ini dalam salah pedati!" si tambun nampak membopong sebuah kitab besar bersampul hitam.
Ia segera menyerahkannya pada Barnabas yang seketika terkejut ketika menemukan ukiran huruf-huruf Magi kuno pada sampulnya. Kilasan kuning jingga lidah api bergeliat di sorot matanya yang menghitam.
"Buku Kematian." tukas Barnabas.
Si tambun yang memang pada dasarnya pandir hanya terbengong mengamati Barnabas dan buku di tanganya. Tertawa-tawa tolol mengharapkan penjelasan soal perihal yang komandannya utarakan barusan.
Barnabas mengacuhkan saja Ksatria-nya yang pandir dan masih menanti pujian itu. Ketamakan sudah menggelamkan akal sehatnya. Ia tertawa layaknya orang sinting dalam hati.
Keduanya tersentak tatkala salah seorang tawanan perempuan memekik lantang dengan lengkingan tinggi, persis seperti orang yang ditenung roh jahat, kudanya seperti kuda lainnya meringkik kaget dan gelisah.
Angin Gurun Hitam seolah menjadi lebih dingin dari biasanya.
Perempuan berpakaian panjang berlapis sutra biru-hitam itu tampak meronta dari pegangan dua Ksatria di kedua tangannya, mudah saja ia terbangkan mereka seolah sedang meniup daun kering
Matanya menghitam dan mulutnya meracau merapal jampi-jampi dalam bahasa asing. Mereka yang menonton merasakan bulu kuduk masing-masing meremang.
Si perempuan yang sepertinya memang sudah kerasukan, merangkak-rangkak seperti binatang dan meraupi darah menggenang dari dekat jasad anggota kafilah lain yang sudah mati ke wajahnya, lalu menghempaskan kedua tangannya ke pasir sekerasa mungkin.
Lingkaran sihir berwarna merah darah tergambar menjalar di permukaan pasir, lalu mengelilinginya, menjelmakan belasan sulur hitam yang seketika mulai membelit dan melahap si perempuan yang kini tertawa menyerengai kepada para Ksatria Bait dengan penuh dendam, tangannya seperti berusaha mencakar-cakar garang ke arah mereka.
Tawa bercekikikan yang membuat bergidik ngeri itu masih menggaung ketika sosoknya sudah tenggelam sepenuhnya.
"Sihir Darah? Dia merapal Sihir Hitam! Itu Sihir Hitam kaum Medjai, Tuanku Komandan!" Ksatria tambun di sisi Barnabas menyeru.
"Iblis! Iblis! Wanita Iblis!"
"Mundur jauhi perempuan itu!"
"Sundal Medjai!"
Para Ksatria bait yang lain juga sama hebohnya, mereka yang berzirah lengkap dengan symbol suci pun tetap ciut melihat ritus iblis tersebut, bergeser mundur lalu menutupi dengan teriak sumpah serapah.
"Tenangkan dirimu Kalian!" seru Barnabas, ia lalu melompat turun dari pelana dan menghunus pedangnya.
Nuansa Sihir Darah yang pekat seolah berhasil menembus tebalnya tunik dan zirah perak mereka. Membekukan tulang-belulang, menyebarkan gentar ke sekujur nadi.
"Per Spiritum Sanctum!"
Barnabas berteriak merapal sihir dan mengusap punggung sarung tangan besinya, bintang bersudut delapan kini tergambar dengan kemilau biru di sana.
Para Ksatria Bait yang lain juga nampak mengikuti, setelahnya bilah-bilah pedang mereka menjadi berhiaskan huruf-huruf kuno yang menyala kebiruan di tengah gelap.
"Kelilingi dia! Jangan gentar saudara-saudaraku, ingat sumpah suci kita! Adalah janji kita untuk menumpas kemusyrikan seperti ini, dalam nama Lukresia sang Perawan, ini kehendak-Nya!" Barnabas berteriak membakar semangat para Ksatria Bait, pedangnya teracung tinggi.
"Tuhan Menghendaki!"
"Demi Lukresia!"
"Demi Perawan Agung!"
Guy dan para Ksatria Bait membalas perang panggilan mereka, Ksatria yang masih di pelana berkendara menyongsong.
Mereka yang sudah turun lebih dulu segera mengelilingi lingkaran tadi, kini si perempuan sudah tenggelam dan sebagai gantinya sesosok manusia tinggi kekar dengan kepala kambing dan mata menyala bagaikan api neraka, merangkak keluar dari dalamnya.
Tingginya hampir tiga meter, sementara tubuh atasnya menyerupai manusia dewasa dengan otot kekar, mulai dari pinggul kebawah adalah pinggul kambing besar yang berdiri tegak dengan kedua kaki belakang.
Lengan kekarnya terhias belitan rantai yang merah membara, sebuah kapak besar dipanggulnya di bahu kiri. Sepasang tanduk terjulur melengkung dari kepala, terbelah oleh guratan bintang terbalik yang menyala pada kening.
"Itu seekor Baphomet!" seru seorang Ksatria Bait, menyebut mahkluk mengerikan di depan mereka.
Sang Baphomet kini melolong panjang. Suaranya lantang memecahkan sepinya Gurun Hitam. Setelah sejenak mengamati Ksatria Bait yang mengelilinginya, ia lalu melompat tinggi dan mengayunkan kapak besarnya.
Pertumpahan darah terjadi dua kali malam itu dengan Gurun Hitam menjadi saksi. Untuk pertama kalinya sejak beratus tahun, para Ksatria Bait menyaksikan Sihir Darah kembali digunakan untuk memanggil entitas jahat dengan menukar jiwa sang pemanggil.
Pekik perang mereka sayangnya hilang di telan malam kendati terbawa angin hingga ke perbatasan Kerajaan Elysium. Bahkan esok sorenya, sekelompok Musafir yang menemukan bangkai mereka yang berserak tercabik bercampur dengan jasad kafilah yang mereka bantai pun bingung bukan tanpa alasan.
Zirah kebanggaan mereka dan simbol suci pada kain pelapis yang mereka kenakan nyata tidak mampu melindungi dari brutalnya kampak yang membelah pinggang dan kepala mereka.
Burung-burung pemakan bangkai berpesta pora seharian itu, Kavaleri penjemput yang diutus Raja Justin dari Elysium mengikuti kawanan burung yang menggantung rendah bak awan hitam itu sebagai penunjuk arah.
Ketika mereka tiba, jasad para Ksatria bait yang mati itu sudah makin tidak karuan, zirah, pedang dan segala hal yang melekat pada mereka dan laku dijual sudah dijarah entah oleh siapa, kecuali cawat.
Sri Agung Benedictine konon sedemikian terpukulnya ketika mendengar berita mengenaskan ini, ia meminta para umat penganut Lukresianitas berkabung dan mendoakan yang mati sebagai martir.
Sedangkan kuli-kuli, pencoleng dan preman yang berjudi sambil mencekik arak murahan mereka di gang-gang sempit pasar becek di Eden, Ibukota Elysium hanya berkomentar.
"Biar mampus saja kumpulan bromocorah tengik itu!"