Sarungnya berwarna eboni terbuat dari kayu yang nampaknya mahal serta kokoh, sekilas mirip Elder Tree atau Dedalu Kuno yang langka namun ini lebih baik lagi dari itu. Terhias lis metal sepanjang garis sudutnya yang tersepuh emas. Sebuah gulungan rantai membelit bagian hulu pedang dan menyilang pada hiasan sekaligus pelindung tangan lebar yang menyerupai sisik runcing dan sayap kelelawar di kedua ujungnya.
Rygar menahan nafasnya lalu dengan segenap keberanian, penasaran atau lebih tepatnya kenekatan, melakukan hal yang sama seperti tiga malam lalu, mencengkram erat gagang pedang tersebut.
Sensasi yang sama kembali ia rasakan seperti tempo hari, hawa panas yang menjalar di nadi dan menjelajah seluruh tubuhnya, hingga kemudian secara ajaib menghapus lelahnya seolah ia habis menenggak semacam ramuan stamina.
Lalu bisikan yang menyeru di dalam kepalanya dalam dialek asing yang belum pernah ia dengar sama sekali. Pedang itu seolah membujuk Rygar untuk mencabut bilahnya dari sarung, ia tidak memahami bahasa yang terucap namun mengerti maksud yang tersirat layaknya sang pedang berbicara langsung ke benaknya.
Namun, ketika ia mencoba mencabut pedang itu dari sarungnya, rantai yang mengikat pedang itu seketika memijar merah seperti lava atau besi yang sedang dilebur, menahan erat bilahnya dari upaya Rygar.
Rygar sendiri seolah sedang berdiri di hadapan tungku lebur raksasa atas hawa panas yang menyusupi pori-porinya. Meskipun secara bersamaan merasakan luapan energi yang besar dan menggugah adrenalin.
Sewaktu ia mengikuti bisikan dan mengayunkan pedang tersarungnya tiga malam yang lalu, aliran udara kasat yang terkibas menghempas segala yang terlewati dan seketika membakarnya dengan api gaib.
Rumah, bengkel dan isinya, serta para Magistrate, segalanya tak ubahnya seperti jerami yang telah tersiram minyak lalu disulut dengan obor. Terbakar tanpa ampun nyaris seketika.
Rygar syok berat kala itu mendapati kebakaran besar di matanya. Ia berpikir telah gelap mata karena terdesak dan menuruti bujukan iblis yang bersemayam dalam pedang.
Meskipun, Ia hanya akan merindukan rumah dan pekarangan tempatnya beranjak dewasa tentu saja, dan persetan dengan para Magistrate terkutuk itu.
Sekarang ia sudah memegang pedang misterius ini dua kali lebih lama sejak terakhir kali, ini percobaan ketiga. Namun, kali ini mentalnya lebih siap. Ia sudah membahas pedang aneh warisan ayah mereka ini dengan Auriel. Kalau pun ada orang yang bisa ia ajak diskusi mengenai topik pelik seperti ini, Auriel yang berwawasan dan gemar membaca lah orangnya.
Dalam kepala Rygar yang mempertimbangkan kondisi mereka dalam pelarian serta tidak punya perlindungan lain seperti sekarang, menguasai pedang ini adalah pilihan realistis. Bayangkan kesaktian pedang ini ketika berhasil terhunus, sementar dalam keadaan tersarung saja demikian mematikannya.
Terserah dari mana asal muasal pedang berkekuatan gaib ini ia tidak perduli, yang jelas Rygar merasa ini dapat melindungi mereka di kala terjepit. Ia mungkin saja bertarung melawan satu ada dua orang, namun lebih dari itu adalah hal yang mustahil. Ia bisa berpedang tetapi tetap saja ia bukan Ksatria tangguh dan terlatih. Para Magistrate bukanlah prajurit biasa.
Namun, tentu saja menguasai pedang ini bukanlah hal mudah. Bahkan seewaktu ia berusaha sekedar genggam dengan kedua tangan pun, seusainya tenaganya terasa sekali terkuras. Ini bahkan lebih menyiksa tubuhnya dibanding menempas ratusan perkakas di musim panen.
Bahkan ketika ia coba mengalihkan pikiran pun, korupsi mental yang ia rasakan semakin tidak tertawar. Sejalan dengan semakin besarnya energi terkumpul pada pedang -ia tidak yakin bagaimana caranya ia mampu mengukur hal itu- pada saat bersamaan beban psikis dan mental pun makin menyiksa.
Apapun yang bersemayam dalam pedang itu, tiap kali mereka melakukan kontak, Rygar merasa diracuni hasrat untuk bertarung dan enggan melepasnya.
Rygar yang merasa sudah tidak sanggup lagi akhirnya melangkah cepat ke tepian sungai dan mengayunkan vertikal pedang gaibnya. Aliran sungai terpotong oleh udara kasat mata lalu disusul letupan kecilnya seperti ketika api disulut dalam tungku.
Sebatang pohon diseberang aliran sungai seketika terbakar sekujur bebatangannya. Rumput dan dedaunan di tepi sungai hangus dalam garis guratan hitam.
Rygar menjatuhkan pedangnya lalu terduduk kelelahan. Kini suara hutan kembali di telinganya. Bisikan di dalam benaknya sirna. Sesuai dugaan, ia merasa energinya terkuras.
Auriel menggeleng pelan melihat kelakuan kakaknya itu, sebelum kembali merebahkan diri dan melanjutkan tidur.
*
Ketika Auriel terbangun, matahari sudah sedikit tergelincir ke timur namun hari masih terang. Bau ikan bakar yang terhidu tak ayal memancing protes dari perut kosongnya. Tiga hari ini hanya mereka makan roti dan keju yang Owen lebihkan ketika Rygar nekat mengetuk kedainya di pagi buta sebelum mereka pergi.
Ia takjub melihat ikan yang kakaknya bakar tidak jauh dari tepian sungai. Pohon di seberang aliran sungai sudah padam berjelaga. Rygar sendiri nampak berlatih gerakan pedang dengan sebatang kayu. Gerakannya semakin luwes dan percaya diri.
Ayah mereka mengajari Rygar beberapa teknik berpedang untuk membela diri, cukupnya aneh sebetulnya mengingat mereka adalah anak pandai besi, mereka yang diajari berpedang dan membaca kebanyakan adalah anak bangsawan ningrat.
Siapa yang kira kalau seorang pandai besi di desa terpencil ternyata diam-diam mahir berpedang, dan membaca buku-buku. Siapa yang duga pula kalau kini hal tersebut adalah modal mereka untuk bertahan hidup.
'Ah, betapa malangnya Rygar' pikir Auriel yang masih mengamati Rygar menari dengan tongkat kayunya, sekarang ia harus bertanggung jawab melindungi keselamatan mereka berdua. Kakaknya memang jarang mengeluh, namun raut wajah lelahnya tidak bisa disembunyikan.
Namun. Tidak perduli betapa pun malangnya Rygar, perut kosongnya juga perlu dikasihani. Ia akan melanjutkan mengasihani nasib mereka selepas kenyang, demikian keputusan Auriel.
Auriel tanpa sungkan duduk mencuil daging ikan yang sudah mulai matang di perapian. Manis dan gurih, roti keras dan keju yang mereka makan selama tiga hari membuat ikan bakar ini terasa lebih enak dari semestinya.
Rygar menyelesaikan 'tarian' pedangnya lalu mengatur nafas, ia merasa mengalami peningkatan pesat selama tiga hari ini. Ritmenya makin teratur dan ayunannya makin luwes.
Apakah ini hanya perasaannya saja, atau memang nyata?
Namun, bagaimana bisa dalam tiga hari seseorang mengalami peningkatan pesat?
Atau jangan-jangan?
Pandangannya kemudian terpaku pada batang pohon yang hangus di seberang sungai. Kini menghitam dengan asap tipis. Sedangkan, pedang warisan ayahnya itu kini telah terbungkus kembali oleh kain marun seperti ketika mereka menemukannya tempo hari.
Rasa penasaran yang Rygar alami terkait pedang aneh itu tak ubahnya macam tenung pemikat hati. Orang yang waras berpikir kebanyakan akan menjauhkan diri dari godaan untuk tertarik lebih jauh.
Padahal tak kurang-kurang ia pernah mendengar hikayat tentang barang-barang gaib yang membuat penggunanya sinting, gila kuasa, bahkan hilang akal sebagai bayaran atas kesaktian yang mereka peroleh.
Pedang ini pun telah membuatnya melakukan kejahatan yang tanpa ampun pastinya berakhir dengan vonis mati. Entah digantung, barangkali juga dipancung, yang jelas manapun itu ia akan tetap dipertontonkan di alun-alun.
Sudah sadar demikian pun egonya tetap ngotot ingin mengakali logikanya, ia ingin tahu lebih banyak soal pedang keramat itu. Otaknya bersikukuh akan sebuah pembenaran.
"Kuasa pedang ini pastinya dapat membantuku melindungi, Auriel. Aku menginginkannya, sekalipun harus berjudi dengan nyawa!"