Rygar melompat menyergap John, melayangkan tinju sekerasnya ke rahang si Bongsor, ajaibnya John tegar bergeming. Tinju Rygar seperti menghantam seonggok daging yang alot. Sia-sia.
Ia lepaskan tinju yang sama untuk kedua kali dan kejadian yang sama pun terulang, reaksi lawannya hanya sekedar mengurut rahang. Maksudnya untuk segera menumbangkan John pupus.
Perkelahian sebenarnya dimulai ketika John mengayunkan tongkatnya ke selangkangan Rygar, mereka bergulat berusaha saling menenggelamkan ke aliran sungai. Meskipun, lebih terlihat komedik ketimbang berbahaya.
Tapi bukan berarti Rygar tidak setengah mati menahan belitan bisep raksasa John di lehernya, serasa tubuhnya diganduli bantu besar lalu diceburkan ke danau. Ia menyikut-nyikut bahkan mencolok kedua lubang hidung John dan menariknya, tapi si Bongsor tetap bertahan.
"Menyerahlah bocah! Berikan kudanya atau kau akan kutenggelamkan!" teriak John
"Tidak…Tidak!" Rygar meronta menyemburkan air.
Mencengkram sekerasnya selangkangan John, ia mungkin kalah postur tapi kesehariannya dihabiskan dengan menempa. Orang yang bijak tidak akan pernah meremehkan kekuatan cengkraman seorang pandai besi, apalagi di bagian situ.
John menjerit lantang. Ia setengah mati menahan siksaan diantara kedua pahanya, pun dengan segenap upaya menyeret mereka berdua ke badan sungai yang lebih dalam, berusaha menenggelamkan Rygar.
Semua yang menonton bisa melihat kalau tidak sedikitpun ada niat saling bunuh di antara mereka. John hanya ingin membuat Rygar menyerah, tapi Rygar tidak gampang mengaku kalah.
"Tidak-Tidak-Tidak….Gulp!"
Suara Rygar berubah jadi gelembung air. Ketiga Bandit Jenaka bersorak-sorai di pinggir sungai. Rygar mengerahkan segenap kekuatan di otot jarinya.
John berteriak kembali dan kali ini belitannya kendur, Rygar memanfaatkan celah untuk melepaskan diri dan menyikut Johaan di hidungnya.
"Uhhh…." Para pemirsa serempak bereaksi. John terjengkang, keduanya terpisah ke arah berlawanan.
Rygar menyeret tubuhnya ke bebatuan di air yang dangkal, terbatuk-batuk ia bersandar, tak ubahnya seperti baru selesai bergulat dengan seekor beruang di air.
"Jadi bagaiman tuan Bandit, aku akan membagi kalian ini?" Auriel sudah memegang Baguette dan sepotong keju di tangannya, ia lambaikan itu kepada John dan kelompoknya.
"Terkutuk lah…si Bocah terkutuk ini melukai hidungku…" John menggerutu dan mengelap hidungnya yang mimisan. "Simpan rotimu Nona. Kami butuh kuda kalian!"
Rygar bangkit lagi melihat John yang datang mendekat, bersiap untuk ronde kedua.
"Kau yakin tidak ingin roti dan keju ini?" tawar Auriel membujuk.
"Tidak!"
"Ya!" ketiga penonton di seberang serempak menjawab.
"Apa?!" John tak mempercayai yang ia dengar.
"Kita belum makan sejak pagi Bos…" jawab Ian takut-takut.
"Aku tidak butuh roti! Kita butuh kuda mereka."
"Aku mau makan roti!"
Anggota kelima dari kelompok itu yang sejak tadi mengawasi kini keluar dari persembunyiannya dan berlari dengan ranselnya ke tepian sungai. Langkahnya ringan dan kakinya ramping, rambutnya berwarna coklat tercukur mirip kepala jamur, tingginya hanya sepinggang Auriel.
"William jangan masuk ke air! Kau bisa hanyut…" John menghardik kepada bocah mungil berwajah dekil itu, mengacungkan tongkatnya, mencegahnya ikut menceburkan diri.
"Terima saja kejunya Ayah, aku lapar dan aku bosan makan rebusan jamur terus…" rengek William dari pinggir sungai. Wajahnya memelas. John nampak mendengkus kesal dan frustasi, lalu bimbang menimbang.
"Hah…Oke. Baiklah, roti dan keju sebagai tebusan kalian!"
'Sudah kuduga' gumam Auriel dalam hati, ia lalu mengacungkan jempol pada kakaknya yang sudah terkulai kembali berlaskan bebatuan sungai. Rygar membalas sekenanya, ia hanya ingin khusyuk beristirahat.
'Demi Janggut Tetua…" umpatnya pelan.
*
Kedua bersaudara itu kemudian berbagi roti dan keju yang mereka miliki kepada John dan kelompoknya. Rygar mengeringkan dirinya dengan api yang mereka sulut untuk membakar ikan tadi. Ia memilih untuk tidak bergabung dan mendengarkan Auriel asyik mengobrol dengan mereka.
William kecil memakan dengan lahap roti yang mereka bagi, tersirat jelas bahwa mereka kurang sekali makan. John membelah potongan rotinya dan memberikan porsi yang besar untuk William.
"Ayah masih kenyang…Lihat lemak yang menggunung ini, sampai minggu depan pun masih kenyang." John memamerkan perut buncitnya pada William ketika putranya itu bertanya.
"Bagaimana mungkin, memangnya perut Ayah ini perutnya Sapi?" celetuk William dengan polosnya.
"Sapi katamu? Tentu saja bukan, Ayahmu ini Beruang!" John mengankat kedua tangannya seolah-olah menirukan seeokir Beruang.
"Pelukan Beruang!" William melompat ke pelukan John. Ayah dan anak itu bergemul bercanda-ria.
Rygar yang tidak tega mengambil sepotong Baguette lagi dari kantung bekalnya dan memberikan pada mereka tanpa banyak bicara. Rasa jengkelnya terhadap kehadiran mereka tetap saja kalah oleh perlakuan John kepada putranya.
'Seorang ayah akan melakukan segalanya yang ia mampu demi anak-anaknya. Namun, anak adalah nakhoda takdir mereka sendiri. Ayah pada akhirnya hanyalah sebatas nadir keteladanan'
Dalam retrospektif, ayahnya Jethro hidup dan memegang teguh nasihat yang pernah dituturkan kepadanya itu hingga akhir hayat. Tanpa penyesalan hingga ia meregang nyawa di pelukan Rygar.
"Jadilah seorang Ksatria dan lindungi adikmu."
Adalah wasiat terakhir yang Jethro berikan kepada Rygar. Jethro tidak meninggalkan harta melimpah kecuali rumah dan bengkel yang kini hangus rata dengan tanah, akan tetapi ia pergi meninggalkan panduan. Sesuatu yang bahkan orang tua kaum bangsawan belum tentu bisa berikan.
Rentetan kejadian seminggu ini memberinya waktu untuk berkabung, bertemu John dan si kecil William mengingatkan banyak kenangan masa kecilnya bersama Jethro. Memberinya jeda untuk mengingat mendiang ayahnya. Hatinya sedikit tenteram.
"Hahahaha! Apa kau sedang bercanda Nona, dia kakakmu?!" Gelak tawa John meledak. Deru aliran sungai pun terkalahkan oleh lantang suaranya. Ketiga Bandit serempak berserapah dalam keterkejutan.
"Kupikir dia memang pelayanmu, ey? Lihat saja parasmu Nona, Orlesian murni. Ketimbang Kakak dan Adik, semua orang pasti mengira kalian ini Bangsawan dan Babu! Hahaha…" John terkekeh memukul-mukul tanah. Gerombolannya sama tergelak, bahkan Auriel juga.
Tersisa penyesalan di dalam benak Rygar, kenapa tadi tidak ia potong saja rotinya setengah sebelum diberikan kepada William, dan membiarkan si John kelaparan.
*
Beberapa jam lagi gelap akan datang. Kakak beradik ini harus segera beranjak dan melanjutkan perjalanan kembali, dan mereka pun berkemas-kemas. Matahari kian rendah, ditandai dengan langit yang kian merona keemasan dan cuaca yang semakin teduh.
"Apa kalian berniat untuk bermalam di hutan?" tanya Rygar kepada John dan kelompoknya sembari merapikan tali pelana dan kekang kedua kuda.
"Kenapa, kau khawatir? Hutan ini di pinggir desa kami. Kami akan baik-baik saja, kami akan pulang setelah mengecek perangkap buruan kami." John menyerahkan alas tidur Auriel yang ia bantu gulung.
"Buruan, Kelinci atau Rusa maksudmu?" tanya Auriel yang sedang memeriksa sepasang pedang pendek peranti mereka membela diri di pelana kudanya.
"Bukan Rusa, eh tapi mirip. Seekor Rednose, kau tahu? Tinggi sebesar rumah, badannya besar seperti Manusia biasa berotot namun juga Rusa, bersurai hitam kadang coklat, tanduk lebar, wajah seram hidung merah, begitulah."
"Lord De Joy menjanjikan hadiah untuk siapa saja yang dapat menangkap Rednose hidup atau mati. Mahkluk ini sudah lama menganggu dan licin untuk di buru," timpal Ian.
"Tapi, aku kemudian mengetahui persembunyiannya!" Marcus menepuk dada, Bangga.
"Maksudmu, si Looney-Jenny melihatnya lenyap di sekitar sini dan bercerita padamu sewaktu kalian bercinta di kandang kambing bukan?" celetuk Ian.
"Bicara sekali lagi, maka kupatahkan burungmu…" Marcus dan Ian kembali bergulat.
"Bercinta itu apa sih?" celetuk William, John buru-buru menutup telingannya.
"Rednose? Seperti manusia, berhidung merah, surai...?" Auriel nampak berpikir, mencoba mengingat sesuatu. "Seekor Sylvan? Apa kalian bercanda, kalian mau apa dengan seekor Sylvan? Ini terlalu berbahaya jika itu memang yang kalian buru!"