Satu lagi fakta soal pedang aneh tersebut yang membuat Rygar dan Auriel menggaruk kepala mereka, pada malam kejadian itu, salah seorang Magistrate terbakar telapaknya seketika mencoba merampas itu dari Auriel lalu meraih gagangnya.
Rygar sendiri mengalami tekanan fisik dan mental ketika mencoba mencabutnya namun ia tidak terbakar, ajaibnya. Auriel membakar ujung telunjuknya ketika menyentuh gagang pedang sekedar untuk mengetes teori apakah pedang itu memang memilik kehendak. Namun, sama seperti Rygar, ia tidak kesulitan ketika berusaha membungkus dan membawa pedang itu bersamanya dalam perjalanan.
Tidak ada bisikan-bisikan atau seruan gaib seperti yang kakaknya tuturkan.
Kesimpulan Auriel, pedang warisan ayah mereka itu sepertinya hidup, atau mungkin dirasuki sesuatu. Persis seperti kejadian pada hikayat-hikayat kuno di zaman Dewa-Dewa Lampau, yang ia baca dari buku-buku usang yang kini dianggap bidaah oleh Katredal Agung Lukresian.
Era dimana para Aion dan Eidolon memberkati para pahlawan-pahlawan dengan kesaktian dan hadiah senjata-senjata mistis mereka untuk melawan iblis atau monster.
'Mungkin kah demikian?' ia lirik kembali pedang wasiat tersebut.
Rygar jelas tidak sepintar adik perempuannya, meski jika memang pedang yang mereka bawa itu memiliki kehendak dan kesaktian seperti dalam dongeng, ia berharap semoga saja berkenan untuk melindungi mereka.
Sekarang, ada kegentingan lain yang menyongsong di depan matanya untuk dihadapi. Menghentikan Auriel dan nafsu makan besarnya sebelum makan siang mereka ludes. Untuk tujuan tersebut, satu sentilan kerikil di kening agaknya cukup.
"Ah…!" Auriel meringis ketika kerikil mendarat telak.
"Ikan sungainya besar-besar ya Kak Rey? Hehe…" Auriel tertawa malu dengan mulut penuh sembari mengusap-usap pelipisnya. "Ayo Kak, kita makan siang dulu."
*
Tanpa Rygar dan Auriel sadari, ada lima orang yang bersembunyi di balik semak dan pohon di seberang aliran sungai yang sejak tadi mengawasi mereka menyantap makan siang.
Satu yang paling bongsor posturnya diantara kelima penguntit itu bangkit dari balik persembunyian dengan menenteng tongkat kayu besar. Lengan besarnya memberi kode kepada ketiga orang rekan yang kurus-kurus itu untuk melepaskan panah mereka ke arah Rygar dan Auriel.
"Peringatkan mereka." Si Bongsor memerintahkan seraya menghentakan tongkatnya ke tanah.
Rygar dan Auriel yang mendengar berisik di seberang sungai menoleh kaget, mendapati sesosok raksasa berdiri tegak menatap balik. Dari balik punggung lebarnya, muncul tiga orang berpakaian lusuh yang melepaskan anak panahnya ke arah mereka.
Keduanya terkesiap dan sigap mengelak sebisanya untuk menghindari. Ketiga anak panah itu meluncur nyaris serempak lalu melengkung turun. Lalu terjun menghujam ketengah sungai yang luas namun dangkal itu dengan bunyi 'plop', lalu hanyut begitu saja terbawa aliran air.
"Sudah kubilang kita harus membidik lebih tinggi, Marcus!" seru pemanah ceking yang bersyal dekil di paling kanan, mengomeli rekannya.
"Oh. Kau mau mengajariku, Ian? Mungkin lain kali ey? Sewaktu tangan lembekmu bisa menarik senar lebih kencang, eh?" Marcus yang tonggos dan sama cekingnya tidak terima, ia menarik kerah Ian dan segera saja keduanya berkelahi sendiri.
"Dasar kau muka Tupai! Tanganku baik-baik saja, aku hanya lahir dengan tulang kecil…"
"Oh tulang kecil katamu, tulang kecil ey? Apa itu yang istrimu bilang tiap kalian selesai bergumul, eh?"
Si Bonsor yang sebelumnya berdiri garang di seberang sungai kini melongo melihat kawannya bergulat satu sama lain. Ia mengendikkan bahu kepada pemanah terakhir yang paling muda diantara ketiganya.
Bahasa tubuhnya seperti mengisyaratkan rasa tidak percaya, ia memang tidak bersuara namun raut wajahnya seolah berteriak 'Apa yang sedang kalian lakukan, Bodoh?' dengan bumbu frustasi juga tentu.
"Hentikan-henti…Demi Tuhan, kalau kalian tidak berhenti, John akan membunuh kalian!" si pemuda berusaha melerai tanpa hasil, tidak mengejutkan sebetulnya, melerai dua orang pandir berkelahi memang perbuatan yang sia-sia.
"Acuhkan kami Jo! Lanjutkan-yang kau, kita rencanakan tadi, aku akan memisahakan mereka…Mungkin,"
Si Bongsor John pun sadar akan hal itu, ia menghela napas panjangnya. Sebelum berbalik kembali kepada Rygar dan Auriel yang sudah berkacak pinggang di seberang. Gagal sudah segala muslihat yang sebelumnya mereka susun.
"Siapa mereka?" tanya Rygar yang penasaran.
"Logatnya Britton kampung dan bukan Orlessi, yang jelas mereka idiot. Kita akan baik-baik saja," sahut Auriel dengan cueknya.
John yang merasa tindakan mereka sudah kepalang tanggung, akhirnya memutuskan untuk menceburkan diri sekalian ke air sungai. Batas air yang hampir merendam keseluruhan betis Rygar, hanya sedikit di atas mata kaki bagi John.
Tubuh bonsornya perlahan menyebrang dengan menyandang tongkat besarnya, Rygar menghadangnya di sisi yang lain.
"Hei, siapa kalian dan apa niat kalian mengusik kami?" Auriel berseru dari tepian sungai, John berhenti tepat di tengah.
"Kami adalah Bandit penguasa hutan ini. Nona muda, anda dan pelayanmu harus membayar ongkos karena sudah memancing dan beristirahat di hutan ini, juga untuk pohon yang kalian bakar itu…" sahut John.
"Pelayan katanya?" Rygar menoleh kepada Auriel yang nampak menahan tawa. Ia meminta di lemparkan pedangnya, tapi Auriel menggeleng pelan. Rygar mengangkat bahu.
"Wahai tuan Bandit, aku dan pelayanku tidak punya cukup uang kecuali untuk bekal perjalanan kami yang jauh. Sudikah jika sedikit roti dan keju kami bagikan sebagai ucapan terima kasih?"
Auriel dapat melihat kalau gerombolan ini jelas sama sekali bukan Bandit hutan seperti yang si Bongsor akui. Mereka hanya orang kampung yang miskin kalau dilihat dari lusuhnya pakaian yang mereka kenakan, celana dari kedua pemanah yang berkelahi sendiri bahkan terbuat dari kulit yang buruk.
Auriel berpikir desa mereka mungkin tidak jauh dari sini, dan mereka mungkin hanya lapar sehingga nekat merampok.
"Apa, roti dan keju katamu! Kau pikir kami ini apa, sumbangan Katedral? Jika tidak ada uang, maka serahkan kuda kalian, atau aku akan merebutnya sendiri!" John menunjuk kuda mereka yang tertambat.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Rygar.
"Aku John Kontet, mereka Ian, Marcus dan Tim."
"Dan kami adalah Bandit Jenaka…" sambung Ian dengan bangga.
Rygar kebingungan apakah John ini sedang berusaha pura-pura melucu atau bagaimana, selain fakta bahwa kelakuan mereka lebih mirip badut ketimbang bandit, John ini tingginya lebih dari dua meter dan besar hampir tiga kali Rygar besarnya. Sama sekali tidak kontet.
Badan yang menggunung itu dilengkapi dengan kepala plontos dan wajah lebar yang sama sekali tidak seram. Sosok John yang perlahan-lahan menyebrang sungai akan mengingatkan semua orang pada gambaran seekor Sapi besar berkubang di genangan. Tambun belepotan lumpur.
'Ahh…Seharusnya aku tidur dan tidak meladeni sirkus ini' Rygar menggerutu dalam hati, terlebih kepada Auriel yang menikmati kejadian ini. Mereka bisa saja segera melompat ke kuda dan berpindah tempat, atau mengusir orang-orang udik ini tanpa kesulitan.
"Terserah lah…" gumam Rygar. Ia bermaksud menuntaskan ini seketika dan lanjut pergi tidur.