Bengkel pandai besi itu terbakar hebat beserta isinya, namun itu bukan sepenuhnya salah Rygar Ewing. Ia berusaha mempertahankan warisan ayah angkatnya yang baru saja mangkat, bengkel itu serta rumah dan tanah mereka, dari perampasan Katedral dan Magistrate yang berusaha menyita atas nama 'dosa' yang ayahnya perbuat.
Rygar Ewing, yang oleh penduduk kampung biasa dipanggil Rey, melawan dengan sengit para Magistrate yang berjumlah tiga orang tersebut. Sebelum melarikan diri dengan berkuda membawa adik angkatnya Auriel pergi dari jauh Cercy, tanah kelahiran mereka.
Hampir setiap orang yang tinggal di desa ramai penduduk itu setuju jika tindakan perampasan itu sudah kelewat semena-mena, bahkan tanah makam ayah kakak beradik itu masih belum mengering ketika Marquis Auguste Bourbon merilis dekrit akuisisi atas tanah dan kepemilikan mereka, agar disumbangkan untuk Katedral Lukresia di Navarue.
Maka diutuslah ketiga Magistrate dan Pendeta dari Navarue. Magistrate di Orlesia berbeda dengan prajurit biasa di bawah para bangsawan yang menjaga desa. Mereka organisasi khusus dibawah Marquis yang kasta politiknya lebih tinggi.
Pasca kejadian kebakaran di malam tragedi itu, ketiga Magistrate ditemukan terpanggang mengenaskan di bawah reruntuhan bengkel pandai besi keluarga Ewing. Baju zirah hitam mereka yang angker pun lumer bersama tubuh pemakainya.
Satu tengkorak lagi temukan meringkuk gosong di pekarangan rumah, hanya itu yang tersisa dari Pendeta Tucson. Marquis Bourboun murka, Kekatedralan Orlesia berang, kakak beradik yatim piatu itu adalah buronan kerajaan.
Kesalahan mereka, karena mereka tidak menyerah pasrah seperti kebanyakan rakyat jelata. Hidup memang kadang seperti komedi, dan hukum manusia ibarat suplemen leluconnya yang tidak lucu.
Orang-orang Cercy yang selama sepekan membicarakan ini di Kedai Minum Hogslair pada persimpangan jalan bercerita soal bagaimana Rey, dengan mengejutkan mampu berpedang meladeni ketiganya, kendati pun rumah dan bengkel mereka berakhir hangus terbakar.
Sambil mencekik gelas Bir Putih seseorang bahkan menuturkan soal pedang gaib yang Rey gunakan malam itu, mereka bersumpah bahwa adik sepupu dari sahabat kenalannya menyaksikan dari persembunyian mereka di kebun sayur jika bilah pedang yang besar itu berpijar merah ketika diayunkan.
Ia bahkan berani bersumpah untuk 100 Gil, demi Lukresia sang Perawan, jika api yang membakar bengkel dan ketiga jasad tersebut, justu berasal dari ujung pedang, bukan karena tumpahan minyak yang tersulut akibat pengeroyokan seperti yang orang kampung duga.
Owen, si pemilik Kedai yang sudah entah berapa ratus kali mendengar ini selama seminggu, mencoba untuk tidak menyela seperti tempo hari, ia biakan saja langganannya itu membual selama siapapun yang berminat mendengar omong kosong itu rela membayar minuman mereka.
Kedainya sedang ramai karena Jalur Oranye sedang padat oleh lalu lintas, tidak hanya karena ini sudah memasuki bulan Juli, yang artinya banyak pedagang dari Jazirah benua selatan berkelanan membawa barang eksotis, namun juga oleh mobilisasi bangsawan dan pasukan mereka menuju Tanah Suci.
Rey, sejauh yang ia kenal hanyalah pemuda sederhana yang setiap hari bekerja di bengkel ayahnya, mereka bahkan beberapa menerima pesanan pisau dari Kedai.
Rey yang ia tahu adalah pemuda tekun yang tidak banyak bicara, banyak waktunya dihabiskan untuk menempa, terlihat dari kulitnya yang gelap dibandingkan warna kulit keturunan Orlesian akibat terpapar panas dan tubuhnya yang sedikit bungkuk meski berotot.
Kalaupun Rey nampak berkeliling desa, umumnya terlihat bersama adiknya Auriel, seringkali sekedar berbelanja. Kakak beradik itu selalu akur kendati sejatinya tidak sedarah. Auriel berkulit putih bersih dan berambut emas layaknya darah Orlesia murni yang lain.
Ayah mereka, Jethro, juga dikenal sebagai pendatang lama yang aktif bermasyarakat. Kendati kemudian Katedral menuduhnya berbuat Bidaah, mempraktikan sihir terlarang, kematiannya tetap diratapi banyak tetua desa.
Mereka juga dalam hati mencerca perbuatan Magistrate dan oknum Katedral yang tamak, menyita kepemilikan tanah tersebut praktis akan membuat kakak beradik itu menggelandang.
Serombongan prajurit kemudian masuk ke dalam kedai, Owen berhenti membereskan gelas dan segera membersihkan meja di depan Bar ketika mereka mendekat.
"Selamat bersinggah di Hogslair, ada yang bisa saya hidangkan Tuanku?" sambutnya.
*
Rygar meraupkan wajah dan membasuh seluruh tangan serta lehernya dengan air sungai yang dingin, membersihkan dirinya sebisa mungkin. Auriel kini telah selesai mengisi penuh botol minum mereka. Sementara tak jauh di arah hilir, kuda-kuda mereka yang tertambat juga sedang minum dari aliran sungai.
Fajar kian menyingsing tinggi, keduanya sudah berkuda selama tiga malam. Mereka sengaja menghindari jalan utama dan hanya bergerak ketika gelap. Ketika pagi mulai berganti siang, mereka biasanya beristirahat dan memberi makan kuda mereka, lalu mulai bergerak lagi menjelang senja.
Berkuda sewaktu malam hari bukan tanpa resiko, bisa saja mereka berjumpa bandit di jalanan. Namun, ada pengejaran dari Magistrate yang harus mereka elakkan. Kakak beradik itu memilih berkelahi dengan bandit ketimbang terkejar para Magistrate.
Untung saja tiga malam terakhir rembulan bersinar terang, memudahkan mereka menempuh perjalanan. Seperti tunggangan mereka yang kelelahan, Rygar dan Auriel juga memutuskan untuk bergantian istirahat.
"Tidur lah lebih dulu Auriel, biar aku saja yang berjaga. Aku bermaksud memancing dan rasanya masih belum terlalu lelah," ujar Rygar kepada Auriel yang sibuk mengisi sadel mereka dengan botol air yang terbuat dari kulit disasak.
Auriel menurunkan alas tidur mereka, dan mempersiapkannya dengan membentangkan beralas daun kering. Kemudian di lepasnya mantel tudung yang ia kenakan.
"Apa kau yakin kak? Istirahatmu terlalu sedikit selama tiga hari ini," jawab Auriel yang kini terduduk pada bentangan kain alasnya.
Rygar mengangguk, Auriel yang teryakinkan pun akhirnya membaringkan tubuh lelahnya dan berupaya memejamkan mata. Tentu saja Rygar berbohong apabila mengaku tubuhnya tidak lelah, mereka hampir tidak berhenti berkuda kecuali terang.
Akan tetapi, nalurinya sebagai kakak mengalahkan penat yang menyiksa. Auriel pun seolah mengerti kesulitan mereka, ia tidak lagi cengeng seperti ketika memakamkan sang ayah. Dalam tiga hari terakhir Rygar merasa adiknya tumbuh dewasa dengan pesat.
Selain itu, ada hal lain yang mengganduli benak Rygar sejak tiga malam lalu. Ia melangkah mendekati kuda mereka yang tertambat beristirahat. Tangannya kemudian meraih gulungan panjang yang menjuntai dari sadel.
Rygar merasakan atmosfer janggal ketika mengupas salah satu ujung gulungan itu, tersibak gagang pedang bermotif hitam-merah terpilin bertatah separuh rubi merah-darah pada ujung bawahnya.
Cicit dan kepak sayap burung-burung seperti sirna begitu saja tertelan dalam kebisuan misterius. Rygar yang terdorong rasa penasaran kini sudah melucuti seluruh selubung pedang itu, hingga nampak sebilah pedang panjang dengan desain yang bahkan sangat asing bagi murid pandai besi sepertinya.
Terngiang bisikan-bisikan samar beraura mistis di benaknya yang semakin jernih gemanya ketika sarung pedang itu tergenggam erat.